Dia seharusnya lebih peka...

6 0 0
                                    

Cukup dua hari penantian, meski ku harap satu minggu akan jauh lebih ideal untuk aku menikmati waktu menganggur. Dewasa ini, semesta makin jarang menuruti ku, mungkin tahu aku adalah orang dewasa yang semakin pandai berdalih. Tak apalah, ku harap ini pertanda baik untuk memulai karier baru di kota pelajar yang ku harap gajiku bisa setara ibu kota. Haha, teringat guyonan lawas dengan sahabat ku, Kintan. Ia melarangku untuk bekerja di Jogja karena sebutan tersebut akan berefek juga dengan penghasilan. Ah, sunggu lucu nya dia itu, meski kami harus berpisah karena Kintan memutuskan untuk meneruskan s2 nya di Melbourne.

Aku masih sibuk menata kosku, ku buat senyaman mungkin sesuai dengan gairah pribadi. Persetan orang menyuruhku jangan terlalu gelap, berwarnalah katanya. Tapi tahukah kalian mengapa aku rasa hidup ini sebenarnya cukup hitam, abu-abu, dan putih? Ya, kita bisa saja ada dalam zona hitam yang melelahkan, memaksa berjuang, membangkitkan diri agar tak hanya rebahan saja, namun juga berkarya. Lalu, ketika putih datang, kita harus apresiasi diri bahwa kemampuan kita layak dihargai, kita layak berterima kasih dengan diri sendiri, dan yang paling utama, kita layak bahagia. Namun, jangan sedih kala terjebak dalam zona abu-abu. Walau nampaknya seperti buah simalakama, zona ini adalah yang paling menantang. Pertarungan antara keyakinan, ketakutan, hingga munculah sebuah keragu-raguan. Fase inilah yang paling menakutkan, jika benar langkah, maka bahagialah. Namun jika keliru langkah, jangan patah, karena itu bukan gagal, tapi sebuah keberanian karena tak semua orang nekat mengambil resiko, yang mana kebanyakan manusia lebih memilih di zona aman.

"Atas nama, Rose. Thai-tea Boba less sugarnya kak"

Aku terbangun dari aktivitas dengan smartphoneku, ku ambil minuman favoritku baru-baru ini, rasanya sungguh membuatku rindu Jogja, karena thai-tea di Klaten tak seenak di sini.

"Terima kasih, mbak"

"Kembali kasih, kak. Selamat menikmati"

Senyumku masih tersemat sambil mengambil pesananku, sungguh aku kagum dengan pelayanan di sini, si mbak sangat ramah dan senyumnya seperti tak mampu untuk pudar karena ku tahu shift kerja nya kurang lebih 8 jam, dan selama itu pasti selalu ramai pelanggan, dan pastinya si mbak selalu tersenyum karena tiap ku amati bibrnya selalu ramah membusur, ah... aku lumayan iri.

Ku cari bangku kosong yang agak longgar, sepertinya hari ini cukup lenggang karena hari Senin dan masih pukul 10 pagi, belum saatnya para karyawan menyerbu untuk makan siang.

Ku temukan area sesuai dengan keinginan hatiku, dekat jendela dan matahari agak menyorot di bangkunya. Aku tak takut sinar itu, karena banyak perempuan hari ini yang amat posesif dengan kulit mereka hingga sangat menghindari meski hangat cahaya pagi cukup berdampak positif.

Ku coba nikmati sisa-sisa jam sebelum memulai hiruk pikuk dunia kerja kembali. Wah, rasanya sungguh luar biasa, andai hidup tak perlu uang, aku selalu ingin bersantai dan minum thai-tea ku setiap pagi seperti ini.

"Tuhan sungguh luar biasa dengan membuat ketenangan pagi seindah ini... wah MasyaAllah... Alhamdulillah", ucap syukurku pagi ini.

"Ehm, permisi", sapa seseorang berdehem dengan nada ringan namun datar dari belakangku.

"Ah, iya. Ada apa ya?", jawabku agak kaget dan setengah berdiri dari kursiku. Wah, ku lihat seorang lelaki jenjang berkemeja rapi dan makin sempuurna dengan dasi biru dongkernya. Namun, sepertinya cukup familiar dengan wajahnya... ah, iya... dia adalah lelaki yang berpapasan dengan ku dua hari lalu di pintu kafe ini juga selepas aku selesai wawancara. Sungguh luar biasa, ku kira hanya kemarin aku bisa menemukan pemandangan seperti ini di Jogja yang agaknya cukup langka.

"Maaf, di sini reservasi bangku saya sebelumnya. Lalu saya hanya tinggal sebentar di kamar mandi. Saya ada meeting di sini", Jelasnya dengan tenang dan masih tetap datar.

"Aah, benarkah? Saya kira kosong karena tidak ada orang maupun pesanan ada di sini".

Dia hanya diam dengan jawabanku. Aku hanya mengatakan dengan sebenarnya. Matanya makin dan terus menatapku, menggantikan sebuah kata yang mengisyaratkanku untuk segera beranjak dari bangku ini. Makin tajam, hingga ku bisa merasakan jika aku hanyut ke dalam mata abu-abunya yang indah namun nampaknya aku benar-benar tenggelam. Aku merinding, ku sadarkan lamunanku, tak mau bermasalah hanya karena hal sepele, takut merusak mood pagi yang hampir sempurna, aku beranjak dan mencari tempat lain.

"Oh, iya. Silakan. Dan maaf, saya tidak tahu".

Namun, sekali lagi, ia tak menjawab aku, apalagi maafku. Ah, sudahlah... ia memang terlihat tak cukup ramah dengan manusia. Namun, bayangan matanya yang ku lihat tadi seperti menghipnotis dan sulit hilang dari pikiranku.

"Hishh, ngapain malah mikir orang yang enggak dikenalin sih.", Umpat ku pada diri sendiri. Namun, di sudut kursiku bisa ku lihat jelas lelaki itu, ia memang nampak sedang menunggu seseorang namun tak kunjung datang. Gabutnya aku adalah tetap mengawasi dia, entah kenapa aku merasa gumun, orang jawa bilangnya. Itu adalah sebuah kosa kata Bahasa Jawa yang menyatakan suatu kekaguman atau keheranan terhadap suatu hal yang amat berbeda dengan suatu hal pada umumnya. Begitu juga lelaki itu, sebagai seorang perempuan Jawa yang setiap harinya terbiasa dengan pemandangan pria lokal, di depannya disuguhi sosok berwajah bule nan tampan yang memiliki aura cukup luar biasa.

Namun, kurang lebih lima belas menit pria itu menunggu dan aku masih memandangnya, dia beranjak dari kusi, lalu berbalik.

"Astaga... Astagfirullah", pekikku terkaget tiba-tiba ia menatapku dengan tajam. Aku seperti tertangkap basah sedang menguntit dan memandangi orang secara diam-diam. Malu, canggung, dan agak merasa bersalah bercampur. Namun aku pura-pura sibuk mengalihkan pandangan ke ponselku, ku buka instagram dan scroll berbagai feed dari atas ke bawah untuk menylamatkan diri. Bisa ku rasakan ia masih memandangku, ah... aku merasa panas dan agak gerah. Dia lalu pergi, bisa ku rasakan kelegaan dalam napasku saat pria itu sudah keluar dari pintu kafe.

"Ah... Alhamdulillah, dasar... haha, untung engga kenal dan gak mungkin bakalan ketemu lagi", aku menertawai kebodohanku ini.

***

To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Apr 15, 2022 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

Yogyakarta MurdererOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz