Si Mata Tajam

1 0 0
                                    

Omong-omong saat ini Kaluna sudah duduk di kelas 12. Hitungan bulan dia akan mengakhiri masa putih abu-abunya. Dan selama hampir tiga tahun, Kaluna itu tidak pernah serius belajar. Pertanyaannya, kenapa dia bisa menjadi populer dan orang lain dengan dengan gadis itu?

Jawabannya adalah, Kaluna sebenarnya seorang murid pertukaran pelajar. Sejak kecil, Kaluna besar di San Fransisco. Namun, saat menginjak lima belas tahun, Kaluna meminta untuk ke Indonesia bersama orang tuanya. Karena selama ini dia hanya tinggal dengan kakak laki-lakinya yang umurnya lebih tua dua belas tahun dari umur Kaluna. Saat ini sang kakak—Jayke Verinski— sudah berstatus menikah dengan seorang gadis keturunan Jepang-Amerika.

Sayangnya, permintaan Kaluna ditolak mentah-mentah oleh orang tuanya. Tapi dia adalah Kaluna Amara. Sosok yang memiliki jiwa ambisius terpendam. Dan akan tampak untuk hal yang menurutnya patut diperjuangkan.

Akhirnya, dengan segala cara yang dia bisa, Kaluna memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai calon siswa pergantian pelajar dengan SMA Capricorn yang ada di Indonesia.

Awalnya hanya enam bulan, tapi Kaluna menolak untuk kembali dan orang tuanya sudah lelah dengan sikap keras kepala sang putri, akhirnya Kaluna bisa melanjutkan sekolah di SMA Capricorn. Namanya yang kala itu banyak dikenal siswa dan juga keterampilan dalam seni dan bahasanya yang indah dan unik, nama Kaluna Amara terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Dia dikenal juga karena keahliannya bukan harta orang tua. Itu satu-satunya pin penghargaan yang Kaluna punya.

Kaluna masih ingat sekali saat itu dia benar-benar bekerja keras dan rajin untuk mencapai tujuannya. Dan itu adalah usaha terakhir Kaluna sebagai seorang murid. Setelahnya, dia benar-benar tidak peduli dengan har yang menyangkut soal belajar.

Kemampuannya yang mudah paham, mampu menopang nilainya walau tetap saja, masuk kanan keluar kiri.
Tidak disangka-sangka, kini dia harus melakukan hal membosankan sekaligus mematikan itu lagi. Dan fakta memalukannya adalah, karena Nuka.

Selama satu bulan setelah kejadian di mana Nuka tiba-tiba mengantarnya pulang, sejak itu Kaluna sering berdiam diri di kamar hanya untuk menyelesaikan soal-soal.

“Kepala gue botak, gue penggal kepala si Tembok!” gerutu Kaluna saat merasakan kepalanya yang sakit.

Kini dia sedang berada di kamar. Seharusnya dia menyambut Jayke dan Caster Watanabe yang tiba-tiba datang ke Indonesia. Sayangnya, wajah sang kakak sudah cukup membuatnya bosan. Akhirnya Kaluna memilih belajar kembali.

“Woi sombong nih ceritanya.” Kaluna diam sejenak. Ternyata itu suara Jayke.

Kalina memberhentikan kegiatannya untuk menunggu ucapan yang dulu sering kakaknya katakan saat Kaluna lama membuka pintu kamar.

“Amara. Ada hadiah nih!” Nah, itu yang Kaluna maksud.

Sontak Kaluna langsung beranjak dari kursinya dan mengikat pintu kamar untuk Jayke.

Saat pintu terbuka, Kaluna langsung menopang tangannya untuk meminta apa yang Jayke katakan tadi. “Mana?” tanya Kaluna dengan mata berbinar.

“Tapi boong!” semprot Jayke yang membuat Kaluna jengkel bukan kepalang.

Kini sang kakak benar-benar dihadapannya. Tampak lebih tinggi, dewasa, dan tampan. Sang kakak menggunakan kaus lengan pendek bewarna hitam dengan bawahan cokleat khaki. Terakhir Kaluna lihat, Jayke memanjangkan sedikit rambutnya.

Namun kali ini rambut Jayke dipotong dengan gaya potongan two block haircut dengan gaya rambut bagian depan dibiarkan berponi yang sudah dirapihkan hingga menampakkan dahi Jayke yang sudah cukup membuat perempuan jatuh hati.

Untung sudah menikah.

“Fuck you, Verinski!” pekik Kaluna.

“Watch your mouth, Kak!” pekik sang bunda dari lantai dasar.

“Oh jadi selama di Indonesia lo dipanggil ‘Kakak’ ya?” tanya Jayke dengan tangan yang bersilanh di atas dada seraya menampilkan wajah usil pada sang adik.

“Banyak bacot lo!” Kaluna hendak menutup pintu kembali tapi Jayke sudah menahannya lebih dulu.

“Makan yuk, lagi kaya nih, gue mau teraktir kaum bokek,” ucap Jayke. Dia tahu dari bundanya kalau Kaluna sehari-hari hanya di dalam kamar saja setelah pulang dari sekolah. Dan belum mengisi perutnya.

Namun, pada dasarnya Jayke juga gengsi menampakkan perhatiannya. Ya ... Mereka memang sama saja.

“Kemana?” tanya Kaluna. Dia memang sedikit pemilih untuk soal makanan.

“Terserah gue lah! Kan, pake uang gue!”

“Dih songong! Lo kira gue engga ada duit?!” Jeyke tertawa melihat wajah ketus Kaluna yang sudah lama tidak dia lihat.

Tersirat sedikit kelegaan jika Kaluna baik-baik saja di sini. Sejujurnya, karena sejak kecil bersama dan selalu berpikir jika Kaluna adalah orang yang harus dia lindungi, Jayke jadi sedikit resah jika sosok gadis kecil itu jauh dari jangkauannya. Bahkan Jayke diam-diam menangis saat Kaluna menangis. Terlebih saat Jayke mengadakan resepsi pernikahan. Sangat tampak wajah Kaluna yang tidak ikhlas jika kakak yang selama ini bersamanya, harus hidup dengan orang baru.

“Makan di emperan yuk! Lo pasti belom pernah, kan?” Kaluna menoleh ke arah sang kakak. Menatap heran sosok yang sok asik ini.

Setelah meminta izin dengan orang tua dan juga Caster, akhirnya mereka memilih pergi berdua. Ini menjadi kesempatan Jayke dan Kaluna kembali dekat seperti dulu lagi.

“Emang lo udah pernah?” tanya Kaluna.

“Belum hehehe.”

“Engga mau gue. Di Armuz Gourmet aja,” pinta Kaluna. Mana mau dia di emperan jalan. Ingat, dia manusia gengsi yang mungkin harus dibasmi.

“Dih! Sok kaya lo! Engga ada! Engga ada! Gue mau makan cilok. Di Armuz engga ada. Gembel!” Jayke memang tidak tumbuh besar di Indonesia. Tapi terkadang kehidupannya di San Fransisco yang serba cukup, membuat Jayke jadi sedikit jengah dan kosong. Terkadang dia juga ingin hidup seperti orang biasa.

Tidak perlu mengejar tuntutan yang makin menggila.

“Ih ogah! Pergi aja sana sendiri! Mendingan gue balik!”

“Yaudah sana balik sendiri. Jalan kaki!” Kaluna jadi semakin kesal dengan pria dua puluh sembilan tahun itu.

“Makin tua, makin ngeselin lo!” Jayke sudah tidak lagi memperdulikan adiknya itu. Dia keluar dari mobil dan membiarkan Kaluna mendumal di dalam mobil.

Tanpa peduli dengan Kaluna lagi, Jayke sudah memesan satu piring cilok dengan saus kacang dan tentu saja tanpa sentuhan sambal dan kecap, manalah arti cilok itu.

Oke, itu terlalu berlebihan.

Dari balik kaca mobil, Kaluna bisa melihat betapa menikmatinya pria itu menyantap satu piring yang sudah Kaluna yakini isinya adalah cilok.

Awalnya Kaluna biasa saja. Dia memilih untuk menunggu Jayke selesai makan saja. Ketimbang dia keluar, lalu ada teman yang mengenalinya. Habislah Kaluna.

Kini gadis itu merasa bosan. Dia hanya memainkan ponselnya sebagai pereda bosan. “Gue baru inget engga ada foto dia,” gumam Kaluna saat melihat isi galeri di ponsel, ternyata tidak ada satu pun foto Nuka Arthala.

Sebenarnya banyak kesempatan gadis itu memiliki satu potret Nuka, hanya saja gengsinya yang berlebih, dia hanya ingin menyimpan foto Nuka saat lelaki itu sendiri yang meminta untuk berfoto bersama.

Mustahil dan gila.

Kalina kini kembali melihat ke arah Jayke yang ternyata bisa makan selama itu. Makan berapa piring dia? Itulah yang Kaluna pikirkan.

Namun, Kaluna kalah dengan rasa laparnya. Perutnya sejak pulang sekolah belum terisi apa pun. Kalina mendengus sebalbhingga akhirnya keluar dari mobil lalu menghampiri Jayke.

Diam-diam Jayke yang melihat siluet Kaluna tersenyum puas. Dia sengaja memperlama gerak makannya agar adiknya itu keluar.

“Bang satu piring lagi, bang. Adek saya udah mau mati ini!”

“Jayke sialan. Bang, dibungkus aja,” ucap Kaluna yang memilih untuk makan di dalam mobil saja nanti.

Saat hendak kembali menuju mobil, matanya tidak sengaja melihat sosok yang sudah lama memenuhi isi kepalanya. Lelaki yang sudah mengambil hampir seluruh kewarasannya. Lelaki yang membuatnya mau melakukan sesuatu yang membuat kepalanya berdenyut sakit tak tertahan.

Nuka Arthala.

Nuka menggunakan kaus hitam lengan pendek dengan celana jeans panjang. Duduk di tepi trotoar sambil memainkan gitar. Bukan itu yang membuat kaki Kaluna tidak bergerak. Tapi, tatapan itu. Tatapan yang tidak pernah Kaluna lihat keindahannya selama ini.

Saat ini Kaluna bertemu dengan Nuka yang berbeda. Dia tampak tersenyum tulus, dan tatapan hangatnya pada sosok anak-anak kecil yang ikut bernyanyi bersamanya, sudah sanggup membuat Kaluna terperangah tidak percaya.

“Bahkan ini pertama kalinya gue liat deretan gigi dia,” gumam Kaluna pelan.

Hatinya masih bimbang jika yang dilihatnya saat ini adalah Nuka. Tapi daripada memikirkan hal itu, Kaluna kini merasa hatinya menghangat. Ternyata Nuka itu bukanlah sosok yang selama ini ia bayangkan. Bukan sosok yang tidak peduli dengan apapun, dan tega pada semua orang. Nyatanya Nuka menutupi sesuatu yang Kaluna rasa membuat jantungnya kian tidak baik-baik saja.

“Perdana mata tajemnya, jadi tumpul,” ucap Kaluna spontan diiringi dengan kekehan kecil.

“Lo sehat, kan Na?” Seketika Kaluna terkesiap. Dia langsung memasang wajah sangarnya dan berbalik untuk melihat wajah bingung Jayke yang menggemaskan. Kalina juga heran, sudah tua tapi masih saja menggemaskan.

“Gak jadi pergi, lo Nyonya Besar?” sindir Jayke saat Kaluna malah duduk di sampingnya.

“Berisik!” Niat utama Kaluna memilih duduk di emperan ini karena dia ingin melihat Nuka lebih lama. Tidak ada niat untuk menyapa atau bergabung di sana, karena Kaluna yakin jika dia melakukan hal itu, Nuka akan kembali berubah menjadi tembok beton.

Kaluna sadar kini sosok yang ia sukai memiliki hak yang disembunyikan.
Apakah Kaluna akan mencoba  mencari tahu hal itu?

***

Hari kembali menyapa hari senin. Seperti biasanya, Kaluna akan tampak lebih malas dari biasanya—walau masih tampak malas— karena upacara. Tapi hari ini, bebannya sedikit bertambah.

Jika biasanya alasan Kaluna tampak malas dan mengantuk dikarenakan sepanjang malam dia menghabiskan stok novelnya atau menonton series Netflix, drama Korea, bahkan sampai ke dunia dua dimensi.

Lain halnya kali ini. Semalam dia bertekad untuk mempelajari berbagai soal fisika dari level-levelnuabg berbeda. Walau dia tidak sepintar itu untuk mengingat semua cara dan rumus, Kaluna cukup sedikit kiranya sepuluh persen dari seratus persen.
Kaluna mematahkan perspektif orang-orang jika siswa di luar negeri akan jauh lebih pintar dan handal. Mungkin benar, tapi tidak untuk Kaluna Amara. Gadis itu juga mengakuinya.

“Lemes banget lo! Puasa Senin-kamis?” tanya Sarah. Teman sekelas Kaluna.

Kaluna yang sudah menidurkan kepalanya di meja, kini menoleh ke arah Sarah yang jaraknya cukup jauh. Sarah duduk di depan. Satu barisan dengan Nuka. Sedangkan Kaluna itu salah satu dari kaum penunggu bangku barisan paling belakang.

“Plis, Sar. Gue Kristen,” ujar Kaluna dengan nada lemah dengan mata yang tidak sama sekali bersemangat.
Tiba-tiba saja mata Kaluna tertuju pada Nuka yang baru saja masuk ke dalam kelas. Mata mereka saling bertabrakan, tapi Nuka langsung memutuskan tatapan itu dengan acuh.

Kalina masih memerhatikan lelaki itu yang berjalan menuju mejanya. Dengan tangan kanannya yang dimasukkan ke dalam kantung celana, tatapan yang masih sama dinginnya. Serta topi sekolah yang berada di kantung celana sebelah kiri.

Masih sama. Masih tampan dan menawan.

“Luna! Sawan lo?” Kaluna mengerjap saat teman sebangkunya.

“Engga kok,” elak Kaluna yang langsung menidurkan kepalanya lagi di meja.

Sebagai catatan kecil, tidak ada seorang pun  teman kelasnya yang mengetahui isi hati Kaluna pada Nuka.

Berselang sepuluh menit, tidak ada tanda-tanda jika guru akan masuk ke kelas mereka. Kelas masih riuh dengan kebisingan yang tercipta. Tentu bukan dari kelas Kaluna. IPA 1 lebih memilih berpikir bagaimana caranya meningkatkan nilai mereka ketimbang ribut tidak jelas.

Kaluna juga sedari tadi hanya diam. Dia tidak mau banyak bicara. Lagipula, tidak ada yang mengajaknya berbicara. Mungkin hanya sebatas basa-basi saja.

Tiba-tiba saja Nuka yang tadi keluar kelas, karena dipanggil ke kantor, kini sudah berdiri di depan meja guru. Tidak perlu banyak bicara untuk membuat perhatian tertuju padanya, kini seisi kelas sudah menatap ke arahnya.

“Bakal ada olimpiade antar kelas. Gue diminta dari kelas ini rekrut tiga orang untuk tiga cabang olimpiade berbeda.” Nuka langsung kembali duduk ke tempatnya.

Di sinilah kekacauan kelas tercipta. Semua orang langsung heboh dengan pengumuman dari Nuka. Bagaimana tidak? Biasanya, kelas mereka mendapatkan banyak perwakilan untuk berbagai macam bidang lomba. Tapi kali ini, hanya tiga.

Semua heboh antara senang, cemas, atau memang semakin bersemangat. Biasanya, Kaluna memilih diam dan tidur. Tapi tidak untuk kali ini. Inilah panggungnya untuk membuktikan jika dia bisa mengalahkan Nuka Arthala.

“Nuka!” panggil Kaluna.

Nuka pun menoleh ke belakang dengan tatapan bertanya. “Gue perwakilan fisika!”

Sontak semua orang langsung terdiam. Menatap Kaluna tidak percaya.

“Gak! Gue ambil fisika!” teriak Falen. Kaluna langsung menatap Falen tidak terima.

“Enak aja! Lo remehin gue? Lo kira gue dongo hah!” Kaluna sudah muak selalu dianggap remeh dengan orang lain.

“Emang kenyataannya begitu.” Kaluna tidak mengerti lagi. Sewaktu-waktu temannya akan tampak akrab, sewaktu-waktu juga bisa menusuk. Ingin sakit hati, tapi bukan hari ini waktunya.

Dunia memang keras bukan?

“Dih belagu amat! Mau nyari muka!” pekik Kaluna yang sudah berdiri dari duduknya.

“Diem!” Sontak semua terdiam saat Nuka sudah mengeluarkan suaranya.

“Engga guna adu bacot di sini. Lo berdua.” Nuka menunujuk Kaluna dan Falen bergantian. “Lusa, lawan gue,” sambung Nuka.

“Oke! Fine! Ini yang gue tunggu!” Falen tidak akan berani mengatakan itu. Jelas Kalunalah yang mengatakannya.

Diam-diam Nuka tersenyum kecil. Ternyata tekad gadis itu boleh juga.

“Gue engga butuh ngelawan nih bocil! Nuka, gue tunggu!” tantang Kaluna. Darahnya sudah mendidih dan memang tidak ada yang perlu dia takutkan lagi.

Kaluna sudah berniat mengalahkan Nuka sejak lelaki itu tahu Kaluna menyukainya. Kini Kaluna akan buktikan dia pantas mempertahankan perasaannya tanpa harus merasa rendah di bawah Nuka.

Nuka mendengus pelan dan tenang. “See you in arena,” ucap Nuka sebelum kembali fokus pada bukunya lagi.

Falen Octavia, si anak ambisius yang hampir merenggut banyak penghargaan. Kaluna Amara, si anak terlampau santai dari San Fransisco yang bergelut di bidang seni. Dan Nuka Arthala, si anak misterius yang ditakuti walau tanpa bicara, pemegang juara unggul dalam bidang fisika.

Mereka akan beradu di dalam satu arena.

TBC

Udah siap liat arena nya? Siap kepalanya ikutan puyeng liat soal?

See you next time!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fight Me! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang