Dampak

2 1 0
                                    

Tidak ada pergerakan aneh yang Nuka tampakkan setelah kejadian di lorong kelas. Berbeda dengan Kaluna yang tiba-tiba saja menjadi pendiam. Bahkan saat dihukum, Kaluna hanya mengangguk dan keluar dari kelas untuk membersihkan kamar mandi perempuan. Tidak seperti biasanya, Kaluna yang selalu keras dan menjunjung tinggi martabat harga diri. Terdengar berlebihan. Tapi sungguh, Kaluna itu punya sifat gengsi akut.

Saat bel istirahat berbunyi, Kaluna masuk ke dalam kelas dengan wajah lemas dan mata yang memancarkan tatapan hampa. Membuat kedua temannya menghampiri sosok yang sudah menidurkan kepalanya di meja. Mereka bertiga berada di kelas yang berbeda. Tapi saat keluar kelas, mereka melihat Kaluna keluar dari kamar mandi perempuan. Hingga akhirnya berinisiatif untuk mengikuti langkah Kaluna.

“Are you sick, Kak?” tanya Gema yang duduk di hadapan Kaluna. Selain teman dekat, lelaki itu juga sepupu dekat Kaluna. Wajar jika dia memanggil kakak. Walau hanya berbeda beberapa bulan saja.
Kode etik keluarga katanya.

“No,” jawab Kaluna sekenanya saja.
“Jadi lo kenapa Luna?” Kini Bianca yang bertanya. Bianca yang awalnya sedang merapikan rambutnya yang kusutz kini lebih tertarik melihat ke arah sebelahnya. Di mana ada Kaluna yang tampak gusar dan terdengar beberapa kali merengek pelan.

“Kena mental."

“Hah?” tanya Gema dan Bianca hampir bersamaan. Mana mungkin Kaluna si paling percaya diri ini mengaku kena mental? Mungkin malaikat di atas sana tertawa dengan lawakan Kaluna yang terlampau mengada-ngada. Kini Gema dan Bianca semakin menatap Kaluna heran.

Bianca tertawa pelan. “Gara-gara Nuka? You so into him until lemah, letih, lesu. Kasian banget. Malah masih muda,” ujar Bianca yang kembali fokus dengan rambutnya. Bagi Bianca tidak masalah menyukai manusia sekeras tembok beton seperti Nuka Arthala. Hanya saja dia muak dengan sikap Kaluna yang masih saja meninggikann ego. Memang benar, perempuan tidak perlu mengejar. Tapi masalahnya, yangbsuka di sini hanya Kaluna seorang. Dengan sikap cuek di luar nalar, dan Kaluna yang menjunjung tinggi nilai-nilai gensisme, apa ada kemungkinan mereka bersama?
Bahkan untuk saling bertegur sapa saja sudah hampir nol persen kemungkinannya. Beruntung Tuhan masih baik membiarkan mereka berada di kelas yang sama.

“Nih anak hiding something,” ujar Gema yang memang tingkat kepekaannya sudah mendarah daging. Sayangnya kemampuan itu dijadikan bahan untuk menggoda perempuan. Pakar buaya darat, Gema Varenaldy orangnya. Kini Gema hanya menatap Kaluna yang spontan menatap Gema juga.

Kaluna hanya terkejut. Usahanya menutupi dari Gema dan Bianca ternyata gagal. Bukan bermaksud untuk menutupi apapun dari mereka. Hanya saja Kaluna sudah terlanjur malu hingga tidak sanggup membayangkan jika ada orang lain yang mengetahuinya. Dia tidak suka dipojokkan seperti saat Nuka berbicara dengannya. Di lain sisi juga dia merasa bersalah. Itu membuat Kaluna enggan membuka mulut.

“Engga kok! Sotoy lo, om pedo!” pekik Kaluna.

“Dari cara lo jawab aja udah kentara, markonah!”

Di sini lain Bianca hanya melihat kedua manusia yang tidak bosan bosan ngibarkan bendera perang. “Apa perlu gue jedotin kepala lo berdua baru akur hah?” Kaluna menatap keduanya dengan tatapan jengah.

“Lo! Luna! Even sama kita aja lo masih gengsi? Seriously?” Bianca tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Terkadang Kaluna juga harus diingatkan kalau dia begitu berlebihan.

Bianca Cecilia, sosok yang lebih tua di antara mereka. Bukan hanya faktor umur, dia memang tumbuh di lingkungan yang membuatnya begitu mandiri dan bijaksana.

Kini Kaluna merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan. Dia terlalu takut dan malu jika hal yang menurutnya tidak baik dari dirinya, diketahui orang lain. “Sorry,” lirih Kaluna pada akhirnya.

Fight Me! Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin