Jadwal Piket

1 0 0
                                    

Hari ini tepat hari kamis. Jadwal Kaluna piket di kelas. Itu mengharuskan Kaluna untuk datang lebih lambat karena harus membersihkan kelas. Tapi ini adalah hari siap untuk Kaluna. Pertama, dia harus piket bersama Nuka yang sampai saat ini Kaluna belum meminta maaf. Dan yang kedua adalah dia lupa membawa kendaraan sendiri karena supirnya harus pergi bersama orang tuanya ke luar kota.
“Jangan lupa piket ya, Na.” Kaluna yang sedang memasukkan buku dan alat tulis, menoleh ke arah Olia, lalu mengangguk paham.

Kaluna sangat fokus merapihkan mejanya hingga tidak sadar jika kelas hanya tinggal dirinya dan Nuka.
“Gue nyapu ya,” ujar Kaluna dengan suara yang pelan.

Tidak ada respon dari Nuka. Lelaki itu yang awalnya masih duduk di bangku sambil membaca, kini beranjak dan mulai menaikkan bangku ke atas meja.

Kaluna hanya diam. Dia terus memperhatikan pergerakan Nuka yang cekatan. Padahal, dalam kepala Kaluna saat ini yang terpatri hanyalah bagaimana caranya untuk minta maaf pada Nuka. Sesuai yang temannya inginkan.

Kurang dari sepuluh menit, Nuka sudah menyelesaikan tugasnya. Lalu dia mengambil tas dan segera akan meninggalkan kelas. Itu membuat Kaluna sontak terkejut. Tidak biasanya Nuka meninggalkannya sendirian. Walau tetap irit bicara, biasanya Nuka masih mau menunggu Kaluna.

“Ka! Lo mau kemana?” tanya Kaluna spontan.

Tungkai kaki Nuka berhenti. Tanpa menoleh ke belakang, Nuka menjawab, “Pulang.”

Karena rasa takutnya, akhirnya Kaluna berjalan dengan sedikit cepat ke arah Nuka. Tepatnya ke hadapan lelaki itu. Kaluna memasang wajah seperti hampir menangis. Sedangkan tatapan Nuka masih sedingin biasanya.

“Jangan pulang dulu. Tungguin gue. Gue takut.”

Apa mungkin Kaluna harus menjelaskan seberapa penakutnya dia pada Nuka?

Kaluna tidak mendapatkan balasan apapun dari Nuka. Ranum merahnya masih tertutup rapat seperti di lem. Karena tidak mendapatkan jawaban apa pun, kini Kaluna memberanikan diri menatap wajah Nuka.

Tidak sadar Kaluna menelan salivanya. Ternyata Nuka sedang menatapnya dengan tatapan ... astaga Kaluna tidak tahu tatapan macam apa itu. Dingin, dalam, dan begitu misterius.

Jika dilihat-lihat, Buka sangat keren jika menggunakan kacamata. Entah sejak kapan lelaki itu sudah sering menggunakan kacamata. Mata sipitnya membuat orang semakin tidak berani menatap mata itu. Termasuk Kaluna yang spontan langsung mengalihkan tatapannya ke segala arah. Mulai dari langit-langit kelas, kanan-kiri, bahkan menatap lantai. Tidak lupa dengan kebiasaan Kaluna jika sedang gugup. Dia sering menegang batang hidungnya tanpa alasan yang pasti.

Kini pemikirannya soal meminta maaf pada Nuka kembali bergelanyut di akal sehatnya. Pikir Kaluna inilah waktu yang tepat. Tidak ada orang. Hanya mereka berdua.

Berdua.

Kaluna langsung merasakan jantungnya berdetak tidak karuan. Apa Tuhan sejak berbaik hati kali ini? Kaluna sampai lupa jika dia menyukai lelaki di hadapannya saat ini karena rasa bersalah serta gengsi yang membuat isi kepalanya kacau.
“Nuka. Pardon me,” lirih Kaluna seraya tertunduk.

Kening Nuka berkerut tipis. Untuk apa Kaluna minta maaf padanya? “I don’t get it,” ujar Nuka.

“I screwed up to you. The day after yesterday.” Kini Nuka tahu ke mana arah bicara Kaluna. Nuka sedikit tertarik dengan ini. Tentu siapa yang tidak tahu jika Kaluna itu sangat sulit menurunkan gengsinya. Tapi kini sosok itu dengan sepenuh hati meminta maaf padanya.

“Hm. Minggir.” Itulah respon yang harus Kaluna terima. Sedikit kecewa. Dia kira Nuka akan mengatakan sepatah dua kata saja. Tentu dia akan senang bukan kepalang. Nyatanya itu hanya angan.

“Lo maafin gue, kan?” tanya Kaluna.

“Ya.” Nuka pun mengambil langkah untuk segera pergi. Entah keberanian dari mana, Kaluna menahan tangan Nuka agar tetap menunggu di sini.
Nuka berhenti kembali. Dia hanya menatap tajam ke arah tangan Kaluna yang memegang tangannya. Sontak Kaluna langsung melepaskan tangannya dengan gerakan gugup. Dia lupa. Nuka memanglah manusia yang sulit tersentuh. Entah apapun itu.

“M-maaf. Plis, Ka tungguin, ya."

“I should to go.” Tanpa empati, Kaluna ditinggal begitu saja.

Meninggalkan Kaluna dengan rasa kesal yang tidak bisa dia utarakan.

***

Kaki Kaluna menghentak-hentak ke tanah. “Ni orang pada kemana sih! Ditelfonin engga ada! Dompet pake ketinggalan segala!” Kaluna terus mendumal saat kedua temannya tidak bisa dihubungi. Disempurnakan dengan dompet Kaluna yang ketinggalan di rumah.

Dia baru sadar, saat ke kantin dia membeli makanan menggunakan uang Gema.

Sekarang, bagaimana cara Kaluna pulang sedangkan satu per satu siswa mulai meninggalkan sekolah. Kaluna hanya bisa terdiam di gerbang sekolah.

“Oh, iya. Anak basket!” Kaluna langsung berlari masuk ke dalam perkarangan sekolah. Tepatnya ke lapangan belakang sekolah.

Jaraknya cukup jauh, tapi saat mengingat Gema adalah anak basket, besar kemungkinan lelaki itu ada di sana. Tapi seketika langkahnya kehilangan tenaga. Matanya mulai mencari keberadaan yang dia cari.

“Nyari Gema?” Kaluna menoleh ke arah seorang lelaki yang menggunakan jersey. Sepertinya dia bermain basket juga. Tingginya hampir sama dengan Gema yang juga tunjang. 187 cm.

Lelaki itu mendekat. Membuat Kaluna semakin melihat jelas postur wajah dari lelaki itu. Ternyata benar ya, anak basket semuanya tampan-tampan. Tapi jujur saja, kalau dilihat dari ketampanan, Kaluna suka Taka.

Lelaki itu memiliki alir yang cukup tebal, bibir yang kecil, dan mata yang lebih bulat. Dia lebih putih ketimbang Gema. Bisa, ya setiap hari berjemur di terik matahari, tapi wajah itu masih tampak tampan dan putih.

“Eh, iya.” Kaluna menjawab seadanya saja karena dia tidak kenal dengan pria ini.

“Lo pasti engga kenal gue,” tebak lelaki itu. Kaluna hanya tertawa pelan sebagai sahutan. Itu memang kebenarannya.

“Ini gue yang nolep, atau gimana, sih?” Pikir Kaluna.

“I’m Gevran Alaskar.”

“Ah Gev. I know, I know.” Kini dia tahu siapa yang diajak bicara. Gevran Alaskar. Nama itu hampir setiap hari mengunjungi telinganya. Tapi baru kali ini Kaluna melihat sosok Gevran itu.

Tidak salah jika lelaki itu menjadi perbincangan.

“Hai. I’m Kaluna. By the way, you see Gema?” tanya Kaluna to the point. Tidak tidak mau berlama-lama. Hari mulai sore sedangkan dia harus melakukan banyak hal di rumah. Contohnya menonton serial Netflix.

“Hari ini Gema Cuma sebentar. Katanya mau jalan sama Viony,” jawab Gevran.

Kaluna berdecak pelan. “Bucin. Yaudha deh, gue duluan yang Gev.” Gevran hanya mengangguk pelan.
Gadis itu langsung berlari kembali menuju gerbang sekolah. Ternyata cukup lelah.

Saat hendak sampai, Kaluna memilih berjalan dengan mata yang menatap heran ke arah motor hitam dengan body motor yang sering digunakan kebanyakan geng motor. Kaluna tidak tahu mengerti tipe apa yang orang ini gunakan.

Kaluna hanya berdiri di gerbang sekolah tanpa memperdulikan ornag itu. Dia hanya membuka ponselnya untuk menelepon seseorang. Jujur saja, Kaluna takut karena dia berdiri tepat di samping orang tersebut. Dia juga sulit mengenal orang itu karena menggunakan helm full face hitam. Auranya semakin menyeramkan.

“Naik.” Kaluna langsung menoleh ke arah pengemudi motor misterius itu.

“H-hah? Who are you?” tanya Kaluna yang mencoba memberanikan diri.

Tiba-tiba saja orang misterius itu membuka kaca pada helm yang menutupi matanya. Lalu Kaluna melihat mata sipit nan tajam itu. Dari matanya saja dia sudah tau itu siapa.

“Oh.” Hanya itu respon yang bisa Kaluna berikan. Tatapan itu jelas membuatnya lebih takut ketimbang sebelum mengetahui orang itu.

Dia tidak berekspektasi kalau Nuka itu ternyata lebih keren dari dugaannya. “Gue kira lo nolep, bangsat,” gerutu Kaluna dalam hati.

“Engga ada waktu nunggu,” ujar Nuka tiba-tiba. Membuat Kaluna spontan menoleh ke arah Nuka.

Kaluna sangat ingin menolak tawaran yang terdengar ... entahlah. Keikhlasan menolong itu hanya urusan hati Nuka dan Tuhan. Anggap saja itu bantuan. Tapi jika dipikir kembali, dia benar-benar tidak ada pembelaan untuk menolak. Rasanya tidak mungkin dia kembali berlari lagi ke lapangan basket, lalu mencari Gevran atau Taka agar bisa mengantarnya pulang. Itu terdengar lebih memalukan.

“Thanks,” ucap Kaluna yang akhirnya naik ke atas motor Nuka.

“Boleh pinjem bahu ko? Motor lo tinggi banget, ” ucap Kaluna. Memang iya kakinya cukup tunjang untuk naik ke motor Nuka. Hanya saja, dia menggunakan rok yang cukup pendek. Sekalian hitung-hitung bisa menyentuh Nuka dan mencari bahan untuk geer dengan sosok Nuka.

Kaluna harus banyak geer agar dia semakin semangat dan menyukai Nuka. Hal biasa, dibuat seolah sangat luar biasa. Menyedihkan.

Nuka tidak mengatakan apapun. Pinta Kaluna seperti latihan matematika yang membutuhkan waktu dan keseriusan tingkat tinggi untuk menjawab setiap soal.

“Hm.” Suaranya tidak begitu kuat, tapi masih bisa Kaluna dengar.

“Boleh?” tanya Kaluna memastikan. Lalu Nuka mengangguk sekali. Itu cukup meyakinkan jika Kaluna boleh meminjam baju lelaki itu.

Dengan senyum yang terukir senang, Kaluna langsung memegang bahu Nukabyabg berharga. Kaluna tidak menyangka jika bahu Nuka selebar itu. Dia pun naik, lalu Nuka langsung mengambil ancang-ancang untuk menjalankan motornya.

Ingin rasanya Kaluna mengaitkan tangannya di pinggang Nuka seperti pasangan kebanyak. Tapi Kaluna sadar, mereka bukanlah pasangan yang harus melakukan itu. Kaluna tidak masalah asalkan Nuka tetap menjalankan motor dengan kecepatan normal. Itu sudah cukup menenangkan.

Setidaknya Nuka membawa nyawanya selamat sampai tujuan.

***

Selama perjalanan, tidak ada perbincangan di antara mereka. Sejauh ini, tidak ada yang aneh. Nuka masih menjalankan motornya dengan baik tanpa membuat Kaluna merasanya nyawanya melayang.
Tapi, saat melihat sekitar, Kaluna merasa jalan ini bukanlah jalan yang biasa dilewati untuk menunju rumahnya.

“Eh, Ka, lo tau rumah, kan?” tanya Kaluna sekedar memastikan. Dan Nuka hanya menggeleng singkat.

“Jadi, ini lo mau bawa gue kemana?” Kini isi kepala Kaluna keruh. Apakah ini cara Nuka balas dendam dengannya karena membuat lelaki itu kesal? Apa dia akan jadi tawanan Nuka Arthala, lalu lelaki itu mengancam orang tuanya?

“Nuka, turunin gue.” Sayangnya Nuka tidak mau memberhentikan laju motornya.

“Gue loncat nih ya! Nuka! Lo mau bawa gue mana sih!” Kaluna sudah tidak bisa menutupi kepanikannya.

“Diem.” Suara berat khas Nuka sukses membuat otot-otot persendian Kaluna lemas tak berdaya. Dia juga tidak berbau untuk loncat karena laju motornya sedikit cepat.

“Mau hujan. Pegangan.” Kaluna spontan mengaitkan tangannya pada pinggang Nuka.

Sayangnya, Nuka kalah cepat dengan hujan. Hujan turun lebih dulu dan membuat mereka sedikit basah. Untungnya tujuan Nuka sudah hampir dekat.

“Mau kemana?” tanya Kaluna. Tapi dihiraukan oleh Nuka.

Kini mereka berhenti di sebuah restoran. Kaluna sedikit melihat dengan tatapan bingung. Kenapa mereka ke depan restoran.

“Ceoet turun,” ucap Nuka yang membuat Kaluna terkesiap. Dia langsung melepaskan pelukannya pada Nuka dan berlari ke teras restoran.

“Lo ngajak gue makan?” tebak Kaluna.

“Karena hujan.” Tanpa memperdulikan Kaluna lagi, Nuka langsung masuk ke restoran.

Sedangkan Kaluna yang ditinggalkan sudah susah oayah menahan senyumnya. Ia baru bisa melepaskan senyum itu saat Nuka pergi. Kaluna memegang pipinya yang memanas serta menghentak-hentakan kaki, juga tidak lupa menutup mulutnya agar tidak berteriak di tengah umum.
Ini adalah sejarah dalam hidup Kaluna. Nuka benar-benar sukses membuat Kaluna salah tingkah.
“Ck,” decih Nuka yang sedari tadi memperhatikan tingkah Kaluna diam-diam.

***

Setelah hujan reda, dengan perut kenyang Kaluna diantar pulang oleh Nuka. Dia baru sadar restoran itu menyediakan banyak jenis sup dan juga daging. Mereka bisa memesan grill daging, tak lupa juga dengan kuah miso yang menghangatkan. Kaluna tidak tahu jika Nuka bisa selaoyal itu.

“Makasih ya,” ucap Kalian seraya tersenyum manis ke arah Nuka.

“Hm.” Nuka pun menyalahkan motornya, bersiap untuk pergi dari perkarangan rumah Kaluna yang tampak sepi. Padahal hari sudah sore menjelang malam.

“Tunggu,” ucap Kaluna seraya menarik pelan baju sekolah yang Nuka kenakan tanpa menyentuh lengan lelaki itu.

Nuka hanya menoleh, menatap dengan tatapan bertanya. “Cepetan,” ujar Nuka.

Tanpa menurunkan tangannya yang masih menarik lengan kemeja sekolah Nuka, Kaluna menunduk. Dia kembali bertikai dengan egonya. Entah kenapa, setelah menghabiskan setengah harinya bersama Nuka, itu membuat Kaluna jadi takut kehilangan. Parahnya, takut Nuka dimiliki orang lain.

Tidak sampai disitu, Kaluna jugavharus memandang dirinya sendiri. Dia tidak sepintar, serahin, bahkan sebaik Nuka. Kaluna sadar, selama ini dia hanya mempertahankan gengsi agar dirinya tampak menjadi yang terbaik. Padahal, Kaluna akui dia itu tidak bisa apa-apa.

“Cepet,” ulang Nuka. Kaluna yang terkesiap, spontan menoleh ke arah Nuka.

“Can I like you?”

Nuka terdiam. Membalas tatapan Kaluna yang penuh harap dan juga grogi, bahkan masih tampak Kalian mencoba mempertahankan egonya.
Nuka menyadari itu dari cara bicara Kaluna yang seakan itu hanya gurauan belaka.

“Udah tau,” ujar Nuka.

“Maksudnya?” tanya Kaluna.

“I know you like me,” jawab Nuka.

“So, you just shut up?”

“Pengen dibales?” Pertanyaan Nuka sukses membuat Kaluna terdiam. Rasa malu itu kini sudah menjalar ke seluruh tubuh Kaluna karena baru saja mengetahui Nuka sudah tahu perasaan yang sudah ia pendam lama.

Nuka melepaskan tangan Kaluna dari lengan kemejanya. “Kalo mau, kalahin nilai fisika gue.” Setelah mengatakan hal itu, Nuka langsung pergi dari perkarangan rumah Kaluna dengan motornya.

Sedangkan saat itu, Kaluna merasakan jantungnya sudah berada di bawah mata kaki. Mana mungkin dia bisa mengalahkan Nuka yang notabenenya pemenang olimpiade fisika nasional.

“GILA YA TUH ORANG! ARRGGH NUKA BRENGSEK!”

TBC

Kalian kalo jadi Kaluna pasti tertekan. Mengingat kita pada tuntutan orng tua :)

Semoga kalian suka yaa

Goog night (?) Or morning 😂

Fight Me! Where stories live. Discover now