41

684 71 1
                                    

• I am Sorry •

"Harry Potter is dead!"

Napasku tercekat ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Voldemort. Mereka sudah di sini, Voldemort dan para Pelahap Mautnya. Mereka datang kembali ketika aku dan Draco baru saja menuruni tangga untuk pergi ke Aula Besar.

Halaman kastil kini penuh, dengan para Pelahap Maut juga murid dan staf Hogwarts. Tidak ada yang lebih buruk dari mendengar kabar bahwa Harry sudah kalah. Kami kalah, dan Voldemort menang.

Ku dengar Ginny berteriak, dia bahkan hampir saja berlari menghampiri Hagrid yang menggendong tubuh Harry. Untungnya Mr. Weasley dapat menahan gadis itu dengan cepat.

Hermione menggenggam tanganku. Dia memang berdiri di sebelahku, sudah sejak keluar dari kastil tadi. Wajahnya menahan tangis, jelas sekali. Kabar itu benar-benar mengguncang kami. Itu sebabnya aku tidak ingin Harry pergi ke hutan.

"Sudah ku bilang untuk tidak pergi..." ucapku berbisik.

"Bergabunglah dengan kami, atau mati!" Voldemort kembali berseru menatap kami dengan air wajah yang menyeramkan. Aku menatap Draco yang memfokuskan pandangannya ke depan. Menatap kedua orang tuanya di barisan Pelahap Maut.

Oh, tidak, tolong jangan. Aku harap dia tidak kemana-mana. Aku harap dia tetap berada di sampingku. Tapi, dia tidak mungkin memilih antara aku dan orang tuanya, kan? Maksudku, aku hanya kekasihnya. Orang tuanya lebih berharga untuknya. Jadi...

Aku tidak ingin berpikiran negatif. Tapi mendengar nama Draco di panggil oleh ayahnya, sepertinya aku harus benar-benar merelakan dia pergi. Mungkin setelah hampir kehilangan yang ku hadapi sampai detik ini, aku benar-benar harus merasakan kehilangan itu.

"Draco!" Lucius Malfoy kembali memanggil anaknya. Aku menatap Draco, menggenggam tangannya.

Mata abu-abu itu menatapku. Draco menatapku dengan pandangan bersalahnya. Seakan meminta maaf. Aku menggeleng, kemudian tanpa di komando, air mataku jatuh dengan sendirinya.

"Draco, come," kini giliran ibunya yang memanggil. Kalian tahu, kelemahan terbesar laki-laki ini adalah ibunya, Narcissa Malfoy. Aku tahu, dia juga pernah bilang padaku bahwa dia amat menyayangi ibunya.

Aku menyerah. Siapa aku sampai harus menahannya untuk berkumpul bersama keluarganya? Walau aku tidak rela, tapi aku harus.

"Draco..." lirihku pelan. Baru saja aku senang karena bertemu dengannya. Bisa sedikit menghabiskan waktu di tengah kekacauan ini. Tapi pada akhirnya aku kembali di tinggalkan. Mungkin memang kami tidak sejalan. Hanya saja, aku terlalu memaksa untuk berada dalam garis takdir yang sama dengannya.

"I'm sorry..." Draco menggerakkan bibirnya, mengucapkan kata yang hanya akan menyakitiku.

Perlahan ku lepaskan genggamanku pada tangannya, membiarkan dia pergi bersama orang tuanya. Aku berusaha menahan air mataku, tapi usapan Hermione di punggungku membuatku makin sesak.

"Well done, Draco. Well done," Voldemort menyambut dia. Memeluk Draco dengan kebanggaan tersendiri.

Aku memalingkan wajah, tidak ingin melihat. Hermione memelukku, membuatku mengembunyikan wajahku di cekungan lehernya. Aku tahu ini bukan saatnya untuk menangis. Tapi, aku benar-benar tidak sanggup.

Mungkin perkataannya tadi memang harus ku lakukan. Mungkin aku memang harus melupakan dia. Karena nyatanya, kami tidak pernah berada dalam jalan yang sama. Merlin! Kenapa aku harus bertemu dengan dia kalau ujung-ujungnya kami berpisah? Kenapa aku harus mencintai dia kalau pada akhirnya akan begini? Aku memang harus mengutuk hari ini, harus.

REDAMANCY || Draco MalfoyWhere stories live. Discover now