Ombak menerima kedatangan mandor baru di kantornya. Lelaki itu berumur awal empat puluh tahun, tapi sebagian rambutnya mulai kelabu. Uniknya, hal itu tak membuatnya terlihat tua, melainkan bertambah gagah.
Namanya Pak Badai. Dia orang asli daerah itu dan merupakan kepercayaan Pak Irfan sebelum Yasri mengambil alih dan memecatnya. Kini, Ombak memanggilnya kembali karena tahu lelaki itulah yang memahami ladang dan karakteristik pekerjanya.
Pabrik gula ini sudah berdiri sejak zaman kemerdekaan. Dimiliki oleh salah seorang terkaya di daerah itu yang dulunya memiliki hubungan baik dengan para Belanda. Peralatannyanya pun menggunakan tekhnologi jaman dulu, sebelum diambil alih oleh ayah Ombak dan dimoderenisasi.
Pabrik itu dimiliki secara turun temurun tiga generasi. Namun, ketidakcakapan generasi ketiga membuat pabrik gulung tikar. Ladang-ladang tebu sempat diubah menjadi ladang jangung yang dinilai lebih produktif dan mudah diolah.
Pak Irfan yang baru saja kehilangan istrinya menganggap itu sebagai peluang bisinis atau tempat melarikan diri yang sempurna.
Mesin-mesin lama dijual untuk menambah dana pembelian mesin-mesin baru. Ladang-ladang jagung secara bertahap kembali diubah menjadi ladang tebu. Para pekerja yang dulunya banyak diberhentikan, mulai diperkerjakan lagi.
Selama kepemimpinannya yang tak terlalu lama, Pak Irfan berhasil memulihkan pabrik itu sekaligus merebut hati masyarakat di daerah sana. Cara memimpin dan kedermawanannya membuat Pak Irfan manjadi salah satu tokoh masyarakat yang paling disegani.
Namun, sepeninggal Pak Irfan, Yasir hampir membuat pabrik itu kembali gulung tikar. Dia sangat payah dalam manajemen. Dan kebiasaanya berselingkuh dengan pekerja perempuan membuat Yasir dibenci oleh sebagian besar pegawai pabrik.
Ombak telah mempelajari soal pabrik itu. Meski di depan ayahnya tak tampak peduli, tapi saat menikahi Safira, Ombak tahu bahwa tanggung jawab untuk mencari nafkah membuatnya harus memanfaatkan sumber daya apapun yang ada.
Karena itu Badai ada di sini. Seseorang yang akan membantu Ombak menjalani pabrik ini.
"Anomali cuaca," terang Badai saat Ombak mempertanyakan kenapa hasil panen terakhir ladang tebu tak memuaskan. "Pak Yasir tak mampu membaca itu dan sayangnya tak juga mau menerima saran."
"Kenapa saya tidak terkejut."
Pak Badai mengulum senyum mendengar ucapan bosnya. "Tahun lalu adalah tahun yang cukup buruk. Musim hujan dan kemarau seolah bertabrakan. Saya sudah memebri saran pada Pak Yasir agar menunda musim tanam, tapi beliau menolak.
"Tanaman tebu yang masih muda membutuhkan air yang banyak. Pak Yasir memang memutuskan untuk menanam saat musim penghujan memang datang, tapi sekali lagi anomali cuaca terjadi, awal musim hujan, justru panasnya tidak main-main.
"Saya sudah mengusulkan sejak awal agar dipersiapkan aliran untuk pengairan ladang jika Pak Yasir tetap kukuh menanam."
"Saya menebak beliau menolak?"
Badai mengangguk. "Alasannya masih sama. Musim hujan sudah datang, padahal Pak Yasir tahu sendiri bahwa hanya di awal saja tanaman tebu membutuhkan air yang banyak. Karena pada kenyataannya, tebu harus tumbuh di tanah yang kering. Iklim yang kering dan lembab dibutuhkan agar bisa tumbuh dengan optimal."
"Intinya dia mengacaukan segalanya dan sukses."
"Maafkan saya."
"Untuk dipecat?"
"Maaf?"
"Anda minta maaf untuk apa, Pak Badai? Anda minta maaf karena berusaha menjalankan tugas Anda dengan baik, tapi berakhir dipecat?"
YOU ARE READING
Mengejar Ombak
Romance(DALAM PROSES PENERBITAN) Ombak tak bisa dikejar, sama seperti tak dapat digenggam. Kakeknya mengatakan itu pada Safira. Namun, perasaanya yang terlalu besar membuatnya bebal. Hingga di suatu hari Safira dihantam kenyataan, Ombak memang selalu data...