Part 13

7.3K 1.7K 97
                                    

Akhirnya kambek wkwkkwkw.
Yang follow Inak di Ig baru pasti tau nala Inak ilang wkwkkw.

🌊🌊🌊🌊

"Mereka sudah tidur," terang Ombak. Dia menutup pintu kamar anaknya dan menghampiri Safira yang menunggu di ruang tamu. Wanita itu duduk tegak bak papan, wajahnya terlihat luar biasa tegang.

Seusai makan siang, anak-anaknya minta ditemani. Mereka melarang sang ayah pulang. Tentu saja Ombak dengan senang hati menuruti permintaan anak-anaknya.  Ombak bermain bersama si kembar sekitar dua puluh menit, sebelum kedua bocah itu diperintahkan sang ibu untuk masuk ke kamar. Waktunya tidur siang.

Hayi--si bungsu manja, meminta ditemani sang ayah. Sekali lagi, dengan senang hati Ombalk memenuhi keinginan anaknya. Dia menidurkan si kembar. Hanya butuh lima belas menit hingga kedua bocah itu terlelap. Ombak sangat suka melihat anak-anaknya tertidur pulas. Hayi dengan boneka kelincinya dan Ettan dengan boneka buku dalam dekapannya. Pemandangan yang langka dan indah. Suara dengkuran mereka halus membelai telinga.

Andai saja tak mengingat ada hal yang harus dibicarakan dengan Safira,  sudah pasti Ombak akan memilih tidur bersama anak-anaknya. Dia juga kelelahan dan sudah lama sekali dirinya tak pernah tidur siang. Dengan sangat terpaksa, Ombak mengegeret dirinya menjauh dari Ettan dan Hayi.

Pilihan yang tepat, karena Safira sudah menunggunya seperti prajurit siap perang.

Rumah Apuk Mardi memang sederhana. Bahkan tak ada ruang keluarga di sana. Ruang tamu memiliki fungsi sebagai tempat menonton televisi. Sebuah televisi tua yang masih menggubakan antena. Namun, itu merupakan satu-satunya alat elektronik yang ada di rumah itu. Meski sangat ingin menyingkirkannya dan mengganti denga  yang lebih modern, mbak sangat yakin benda itu berharga untuk istrinya.

Lelaki itu menjadi bertanya-tanya, mengapa Safira memilih hidup penuh keterbatasan seperti ini, sedangkan uang yang dikirim Ombak perbulannya sanggup untuk membeli dua atau tiga televisi baru sekaligus. Namun, Ombak memilih tak mengutarakan keheranannya. Ia menghargai pilihan hidup Safira. Ombak hanya bersyukur bahwa pakaian, makanan dan kebutuhan anak-anaknya, memiliki kualitas yang sangat baik. Setidaknya jika menyangkut Ettan dan Hayi, Safira tampak tak mau berhemat.

Satu set kursi dari bambu, tampak lapuk dimakan usia, menjadi satu-satunya tempat duduk yang tersedia. Ombak mengambil tempat duduk di kursi tunggal, karena Safira sudah duduk di kursi yang memanjang.

Ettan dan Hayi yang tidur siang, sedangkan Nung Astiti meminta izin untuk ke desa mengunjungi adiknya. Yang berarti mereka hanya berdua sekarang.

"Kamu mengajarkan mereka kebiasaan baik. Terima kasih telah merawat Ettan dan Hayi dengan luar biasa," tambah Ombak sungguh-sungguh.

"Tak perlu berterima kasih, itu sudah tugasku. Aku ibunya."

Ombak harusnya sudah menduga akan mendengar jawaban bernada ketus itu, tapi tak urung membuatnya jengkel juga. Safira benar-benar tak bisa melihat  ketulusannya.

"Sekarang kapan kamu akan pergi?" tanya Safira. Ia tak mau membuang-buang waktu.

"Kamu terlihat sangat tak sabar melihatku pergi. Pasti kamu sangat bersemangat menendangku keluar."

"Memang."

"Jujur sekali."

"Kamu tak pernah diterima di sini."

Dada Ombak terasa mengetat, emosinya mulai terpancing.  "Apa kamu akan terus bersikap bermusuhan seperti ini?"

"Iya. Aku tak berniat jadi temanmu lagi."

"Kita memang tidak pernah berteman." Ombak hampir menyesal mengungkapkan hal itu  karena tampak sekali Safira menerimanya sebagai sebuah serangan. "Ayo kita jangan bertengkar, itu akan buruk untuk anak-anak. Orang tua yang bertengkar mempengarhui kejiwaan anak-anaknya. "

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang