🔺Langkah kedua puluh satu

21 1 0
                                    

Melodi Di Balik Besi Dingin

. . .

Tuts piano telah terdengar, beriringan dengan gesek biola yang mengubah melodinya menjadi lebih indah. Gemuruh tepuk tangan seolah telah melupakan sejenak lelah yang aku sendiri tidak yakin. Tata panggung yang megah benar-benar membuatku hampir lupa dengan lukisan abstrak yang pernah Mas Nandi belikan untuk Amnan saat dirinya kembali dari pameran. Aku heran, tapi penjelasan ringkas Prasasti membuatku mengerti.

Lambat perjalanan membuat semua jejak kelam perlahan terbuka. Ingatanku terdorong mundur ketika usiaku genap lima belas tahun. Iya, aku mengingat tangan dingin itu menyentuh kulitku, tatap matanya yang tajam seakan ingin menelanku hidup-hidup. Sosok aneh dengan jubah hitam, dia hanya mengatakan kalau dirinya pembunuh bayaran dari laki-laki yang kukenal. Aku pikir, aku salah dengar atau memang dia yang mengatakannya terlalu pelan. Nyatanya, aku yang keliru sungguh menyebalkan.

Jejak kaki yang cukup besar membuat kedua bola mataku hampir keluar, bercak merah yang ikut serta di sana membuat rasa penasaranku bangkit. Aku menoleh ke sebelahku, pria tinggi dengan kacamata bulat yang bertengger manis di pangkal hidungnya.

"Om, kenapa di sini bau amis?" tanyaku saat aku berhenti di depan pintu yang bertuliskan 'dilarang masuk' di sana.

"Sebagian kucing nakal ada di dalam untuk dieksekusi, kamu akan bertemu dengan mereka nanti."

Aku mengerutkan keningku, pria itu mengatakan kata lain dari kejahatan berencana yang membawaku dalam pilunya jerit menyiksa dari dalam.

"Om, ini pasti disuruh sama orang lain, kan? Om lepasin aku, aku akan baik sama Om." Kata-kataku hanya membuatnya ttergelak, lalu menekan bagian lenganku sampai aku meringis. Benar-benar gila.

Batinku meronta ingin segera pulang dan bertemu dengan saudara-saudaraku.  Aku ingin kembali ke rumah, namun aku tak tahu apa yang akan terjadi, jika aku melarikan diri dari tempat asing dengan banyak catatan kekerasan di dalamnya.

"Tolong!"

"Diam bodoh!"

Aku kembali menoleh lalu mendongak menatap pria di sebelahku yang tak memperlihatkan senyum sedikitpun. Hanya hawa dingin dan sesak yang terasa. Aku kembali melihat di bawah kakiku ada sebuah cairan kental keluar dari celah pintu di depanku.

"Om, kucing itu berteriak, tolong selamatkan."

"Kamu kucing berikutnya, tetaplah jadi anak manis, karena dia telah membuat semua usaha saya hancur berantakan."

Tidak. Aku tidak ingin menjadi bagian dari kelamnya waktu. Aku memberontak sekuat tenaga. Meski kedua tanganku tidak terikat, tapi beberapa manusia kejam yang telah menahan pergerakan tanganku cukup membuatku hampir putus asa. Rasanya ingin menyerah, jam pulang sekolah sudah berakhir sejak beberapa jam lalu, mungkin Mas Nandi sudah khawatir sekarang.

"Enggak! Aku mau pulang, Om!"

Aku bisa mendengar suara tawa yang begitu mengerikan, bahkan pria yang semula bersamaku, kini telah berdiri di luar bersama orang-orang dewasa lain yang memakai pakaian senada.

"Dasar bodoh!"

Aku terkejut saat pria itu menampar salah satu dari mereka. Di depan mataku masih ada orang yang memanfaatkan kelemahan manusia lain demi keinginan pribadi.

"Anak kecil harus tidur siang, mendengarkan melodi indah dari piringan hitam. Apa kamu mau?" Dengan cepat aku menggeleng. Ingin menginjak kaki mereka tapi tenagaku sudah habis untuk melawan. Ini bukan sekadar penculikan, melainkan sandera yang menekan semua korbannya untuk dimanipulasi. Sial! Aku harus bicara apa kalau akhirnya aku akan menjadi bagian dari jasad yang saat ini tengah dibersihkan  dalam pemandian kotor itu.

Kakiku sudah terkulai lemas, menahan bobot tubuhku rasanya sudah tak sanggup. Belum lagi mendengar tawa menakutkan yang begitu puas saat menampar deretan orang-orang besar di luar sana. Aku masih bisa melihatnya, perutku benar-benar mual ketika cairan kental bebau amis itu  mulai  membaur dengan angin yang bertiup.

"Om, ini nggak benar. Tindakkan kalian  ini ilegal! Aku bakal lapor polisi kalau kalian nggak mau lepasin."

"Silakan saja, kamu pikir ada polisi yang mau mendengarkan omong kosong bocah sepertimu? Jangan harap, ini akibatnya kalau anak tidak menurut untuk pulang ke rumah."

"Manusia di sini berhak hidup, tindak kriminal ini harus segera diurus. Pekerjaan ilegal dengan mengiming fasilitas lalu dilenyapkan tanpa perasaan. Ini nggak bisa dibenarkan!"

Pria itu mengangguk, setelahnya menatapku dengan tajam. Kedua bola matanya seakan ingin keluar dari tempatnya. Bahkan sebelah tangannya sudah menekan kedua pipiku begitu keras sampai kedua mataku memanas ingin sekali berteriak sambil menangis.

"Teriak saja, bilang kalau kamu diculik. Tapi kamu akan pulang hanya dengan nama, bagaimana?"

Beruntung tindak kejahatan itu berakhir tepat saat pihak kepolisian yang bertugas sebagai Intel itu datang tepat waktu. Jika tidak, tenggorokanku sudah menjadi bagian dari tajamnya pisau pohon di atas meja besi itu.

"Bocah sialan!"

Aku benar-benar bingung, saat aku tertangkap, rasa panik itu muncul beriringan dengan semua ingatanku tentang Mas Nandi. Sekali lagi, Tuhan telah memberi kesempatan padaku untuk tetap bernapas hingga waktunya tiba.

Aku teringat tentang obrol singkat saat pulang sekolah beberapa hari lalu. Kabar penculikan yang sedang marak telah membuat banyak masyarakat terutama para orang tua khawatir. Kabar mengejutkan itu datang dari mulut Amnan, adikku sendiri, teman sekolahnya ada yang menjadi korban, aku pikir Amnan hanya bicara omong kosong. Ternyata aku yang kurang tanggap. Dua hari terakhir setelahnya, aku melihat ada beberapa orang mencurigakan tengah mengawasi dari balik pagar sekolahku, entah apa maksud dari tindakannya yang jelas sebelum semua terlambat aku sempat mengatakan pada pihak sekolah, mungkin mereka telah berbicara pada kantor kepolisian. Sejujurnya aku tidak ingin membuat semua orang khawatir. Namun, aku juga tidak ingin ada anak lain yang menjadi korban ketidak Adilan dengan alasan yang beragam.

Jika saja aku tahu lebih awal, mungkin teman Amnan akan selamat, nyatanya aku yang terlalu lambat sampai ketukan nyaring kembali terdengar dan aku kembali pada duniaku.

"Jadi, dulu lo sempat menggagalkan penjualan organ ilegal?"

"Iya, karena gue sempat kasih tahu pihak sekolah, gue mengorbankan diri."

"Tapi, jaman sekarang mana ada yang peduli, Ger? Yang ada malah disalahkan, terus masuk catatan hukum dengan kasus pemalsuan laporan.  Minim banget pokoknya."

Aku mengangguk, Kamil benar. Jaman sekarang semua serba memanfaatkan keadaan. Rakyat kecil jadi taruhan, kasihan, tapi aku yakin suatu saat pasti akan ada keadilan yang mensejahterakan masyarakat kecil juga tentunya.

"Omong-omong, terakhir kali lo ada di sana sempat dengar sesuatu nggak?"

"Nggak ada. Cuma musik yang diputar melalui piringan hitam, itu pun suaranya kurang begitu jelas."

Kamil hanya mengangguk, jika saja aku ingat bagaimana liriknya, mungkin aku akan merasa kalau diriku tidak berarti. Aku hanya ingat kalau aku pernah berada di tempat kotor bersam jasad yang tak berdosa.

⛔⛔

Sudah cukup lama, mungkin akan berakhir sebentar lagi, jika berkenan, tinggalkan jejak dan bangkitlah bersama. Salam manis Gerhana 🥰

 Salam manis Gerhana 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Publish, 25 Maret 2022

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang