🔺Langkah kesepuluh

23 3 0
                                    


Rahasia.
. . .
Semua orang perlu menyimpan sedikit rasa sakitnya, merahasiakan sedikit rasa sedihnya, hingga nanti ada saat yang tepat untuk meluapkan segalanya. Iya, semua orang hanya perlu bersabar, begitulah yang mereka katakan. Tapi apa pernah mereka bertanya, kabar atau bagaimana perasaan orang itu? Tidak! Hanya ada sebagian orang yang peduli, hanya ada sebagian orang yang paham, dan hanya ada sebagian orang yang sadar kalau hidup itu masih berkorelasi. Artinya masih saling membutuhkan satu sama lain, atau lebih tepatnya terhubung meski tidak sedarah.

Aku pernah bertanya pada Prasasti saat dia masih menjabat sebagai ketua organisasi pecinta alam. Dia terkekeh saat aku memulai percakapan padahal, saat itu Prasasti sedang sibuk membuat   perahu rakit, katanya tugas kesenian dari guru yang sangat tidak dia suka. Aneh, meski begitu Prasasti tetap mengerjakan semua tugasnya dengan baik, walaupun dia tidak menyukai siapa yang mengajarnya. Dia hanya memberiku beberapa kalimat penting salah satunya adalah, saat kamu membenci seseorang jangan pernah membalas dengan hal yang sama. Karena sebagian  manusia hanya ingin dimengerti tidak mau mengerti. Rasanya menjijikan saat Prasasti mengatakannya, tapi aku mendengarkan setiap ucapannya meski aku bosan.

Ada yang berbeda saat melihat wajah Prasasti yang nampak cerah ketika sedang merakit perahu kayu, dia begitu senang membuat hal-hal yang menurutku rumit, tapi tidak dengannya.

"Gue pengin lo jadi detektif Ger," katanya tiba-tiba. Aku mengerutkan keningku saat suasana sedang hening dan aku terus memerhatikan perahu rakit yang dibuat olehnya.

"Detektif, Ger." ulang Prasasti. Aku mendongak menatap mata Prasasti seolah sedang memikirkan banyak beban. Dia tahu kalau aku sedang malas untuk duduk, bahkan ketika aku datang pun aku langsung membaringkan tubuhku, tidak, lebih tepatnya aku tengkurap dan kedua tanganku sebagai bantalannya.

"Kenapa?" tanyaku, Prasasti terdiam sejenak, lalu melempar pandangnya ke lain arah. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, yang aku tahu, Prasasti pernah memiliki impian menjadi seorang mata-mata profesional dari agensi ternama di dunia.

"Karena nggak ada yang cocok buat Lo selain jadi detektif."

Menunggu jawaban Prasasti itu tidak semudah mengantre di pedagang kaki lima. Alasannya pasti tidak sedikit, atau mungkin bisa lebih panjang dari antrean sembako yang ada di balai desa.

"Potensi. Lo pernah menyelidiki siapa yang curi kucing anggora di rumah Mbak Meisa waktu itu. Terus, Anjing penjaga Koh Rusdi yang tiba-tiba kabur. Gue rasa lo cocok jadi detektif Ger."

Aku menenggelamkan wajahku saat mendengar penjelasan Prasasti yang begitu menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengingat hal yang sebenarnya itu hanya kebetulan saja. Aku juga heran, tapi tidak pernah kupikirkan lagi.

Aku mencubit pahanya yang nampak begitu bening tidak tersentuh kain, karena celana pendek yang dikenakannya.

"Sakit. Gue cuman  bercanda."

"Nggak lucu, Sas. Seandainya dunia kayak panggung komedi, kita badutnya. Siapa yang bakal ketawa, kalau semua hal yang dikira bercanda padahal enggak sama sekali."

Setelahnya Prasasti menatapku dengan senyum yang tak pernah lepas darinya. Prasasti mengusap kepalaku begitu lembut. Aku terpaku sejenak, aku tahu bagaimana Prasasti memperlakukanku layaknya manusia. Dia akan menghargai semua pendapatku walau tidak sepenuhnya benar. Dia juga tahu cara berbicara denganku yang sifatnya sangat bertolak belakang dengan yang lain, apalagi dengan Amnan.

"Gue tahu, Ger. Ada saatnya serius, ada saatnya bercanda. Gue cuma mau Lo ingat kalau kita nggak pernah bisa dihargai kalau kita nggak menghargai orang lain terlebih dulu. Singkatnya, kita coba buat menghargai diri kita sendiri dulu. Lebih ke introspeksi mungkin."

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Where stories live. Discover now