🔺Langkah Kedua

71 4 0
                                    

'I can feel you fade away'
Harusnya bisa merasakan, tapi nyatanya, semua hanya sia-sia.

. . .

Coba renungkan, begitu katanya. Ah, aku sudah bosan mendengar kata-kata Mas Nandi yang selalu sok ngustad  tapi tingkahnya seperti preman pasar yang baru dapat bagian dari anak buahnya. Dia seorang arsitek. Pekan lalu baru saja menyelesaikan disain yang diminta oleh klien kurang lebih sebulan lalu. Tapi baru pekan lalu Mas Nandi bisa menyelesaikannya. Aku tidak ingin membahas apa kesibukan Mas Nandi, tapi lelaki itu selalu saja memiliki cara agar bisa mengobrol denganku.

Lanandi Atmaja Prasasti. Lengkap dengan predikat kakak tertua di rumah. Mas Nandi satu-satunya orang yang paling  percaya diri akan takdir. Tapi dia juga orang yang paling khawatir dengan kematian. Ini bukan soal dialah yang akan mati besok, tapi obrolan kapan kamu akan berhenti membuat masalah.

Tahun ini, tahun kedua Mas Nandi menjadi tahanan rumah sakit. Dia mengidap penyakit cukup serius. Setelah perpisahannya dengan sang mantan. Mas Nandi memutus askes pada siapa pun. Dia berusaha untuk bangkit ketika semua orang menyudutkannya karena kasus yang sudah umum di mata publik.

Aku heran, tapi mulut netizen jauh lebih berbahaya daripada racun tikus di rumah. Aku tidak akan bercerita tentang kesehatan Mas Nandi, tidak juga untuk membahas mulut manis netizen yang tidak jarang menyalahkan tanpa tahu kebenarannya. Kali ini aku akan menceritakan bagaimana kisahku yang hampir membunuh perasaan semua orang saat itu.

Dulu sekali, aku pernah memiliki impian tinggi bersama Prasasti, kakak keduaku. Dia saudara yang ku-anggap seperti teman. Kami memiliki julukan sendiri untuk saling menyapa walau itu di tempat umum.

Kami—adalah—mereka, tapi bukan manusia. Begitu katanya. Persetan dengan kata-kata Prasasti.  Dia budak cinta. Kerjaannya saja merayu gadis kembang ketika kami masih di desa, tempat paman sebelum nenek berpulang. Aku dan Prasasti memutuskan untuk kembali ke kota ketika masa liburan kami hampir usai. Di sana ada banyak hal yang ingin aku selesaikan, salah satunya merenungkan masa depan.

Kali pertamanya Prasasti memintaku untuk tetap bersama Amnan dan Mas Nandi. Awalnya aku kira dia hanya bercanda. Ternyata aku salah, dia satu-satunya orang yang paling sulit mengungkapkan perasaannya padaku. Kami dekat, tapi tidak semuanya bisa ku ketahui.

Aku masih ingat bagaimana Prasasti meminta izin untuk pergi mengikuti seleksi di akademi militer saat itu. Wajahnya amat sangat menyedihkan. Terlebih ketika memeluk Mas Nandi, ada ragu dan berat hati untuk meninggalkan rumah. Yang kutahu, seleksinya bisa hampir tiga bulan. Cukup lama, berkomunikasi pun mungkin sangat terbatas. Tidak, aku tidak ingin menjelaskan prosesnya di sini. Aku hanya ingin mengatakan kalau kepergian Prasasti justru menghilangkan sebagian dari seluruh teori yang ada.

"Ger, kalau nanti gue jadi masuk pendidikan militer, jagain rumah, ya. Kalau ada maling, sikat aja. Maling juga bakal mikir dua kali buat masuk rumah, sih," kata Prasasti saat itu. Aku tertawa, kemudian menatapnya dengan heran.

"Kok, gitu? Mana ada maling mau masuk izin dulu, Sas," balasku. Kami tertawa puas, obrolan yang konyol. Tapi aku menikmati setiap waktu yang ku-habiskan dengannya.

Kala itu, aku dan Prasasti sedang berselonjor di depan rumah, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah.  Kebetulan di depan rumah ada sebuah pohon mangga yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk berteduh ketika terik menjadi alasan kemalasan kami keluar rumah.

"Ada. Lo?"

"Gue?" Prasasti mengangguk, kemudian menggeser duduknya sedikit menjauh dariku. Dia tahu setelahnya akan mendapat hadiah, itulah mengapa Prasasti memilih berjarak.

"Bercanda, Ger. Jangan baku hantam sebelum gue kabur, nggak seru nanti."

Prasasti pun merebahkan tubuhnya di atas lantai dingin, untung saja lantainya sudah disapu bersih. Jika tidak, dia akan mengaduh  karena alerginya kambuh.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora