🔺Langkah kedelapan belas

17 1 0
                                    

Playlist Soul -Lay Zhang
Sebagai penghantar part ini
. . .

Penghianatan
. . .

Langkah seorang pengecut hanya akan membawa beban, begitu melihat pun akan lari terbirit-birit. Aku tidak percaya dengan kata-kata pembohong murah seperti ucapan Jem. Anak kelas dua belas yang kelewat nakal. Dulu sekali, aku pernah bertaruh uang dengan bermain karambol setiap Minggu usai sekolah. Konyol, perjudian saat itu masih sangat minim diketahui khalayak umum, karena status remaja masih menempel.

Nyatanya, tidak. Pihak berwajib datang dan menahan Jem selama dua malam. Aku pikir Jem berbohong untuk yang kesekian. Dia justru menghajarku dengan enteng tanpa memberi celah. Kurang ajar. Aku mengumpat pun percuma, Jem membawa anak buahnya dengan cara memegangku agar tidak terlepas. Penghianat!

Aku pikir aku sudah mati saat itu. Aku hanya ingat kalau Jem mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa kudengar dengan jelas. Mataku tertutup dengan sempurna dan berakhir di sebuah klinik. Aku sadar dan di sana sudah ada Mas Nandi. Wajah tanpa ekspresinya membuatku meringis, sungguh, aku tidak berbohong. Jika saja Prasasti tidak datang tepat waktu, mungkin Mas Nandi akan menghukum ku jauh lebih berat.

"Mas, gue itu dijebak. Gue nggak tahu kalau mereka keroyokan."

"Aku tidak perlu menjelaskannya lagi, kan? Aku ingin kita bicara dengan akal sehat. Ingat, akal sehat."

"Mas, gue ngomong sesuai fakta, gue nggak tahu apa pun soal pengeroyokan di gedung itu, gue sendiri nggak ngerti apa yang mereka rencanakan."

Percuma! Aku hanya sebatas kayu, jika diukir pun rasanya masih kurang indah kalau tidak dicat. Rapuh seperti bangunan tua, lambat seperti jam yang mati. Itulah aku saat berhadapan dengan Mas Nandi. Banyak hal yang ingin aku sampaikan ketika Mas Nandi bertanya tentang apa saja kegiatanku di sekolah. Tapi aku selalu menjawab seadanya dan memilih bungkam jika sudah menyinggung apa yang kulakukan sampai pihak berwajib nyaris mengurungku semalaman.

Aku mendongak saat Mas Nandi menyentuh bahuku, dia sangat tidak ramah dengan matanya yang menatap tajam. Rahang tegasnya menunjukkan kalau Mas Nandi cukup kecewa dengan perbuatanku. Ah, aku menyesal kalau akhirnya Mas Nandi berpikir aku membolos dan mengabaikan perintahnya untuk jadi anak baik.

"Kenapa lo bisa bareng Jem, Ger?" Aku tidak mengerti, tapi aku tetap menjawab pertanyaan Prasasti dengan tenang. Meski aku sadar, diantara kami bertiga ada Amnan yang duduk sambil bersandar pada Prasasti. Sofa berukuran sedang yang hanya mampu menampung dua orang, cukup untuk Prasasti dan Amnan. Sementara aku berlutut di hadapan Mas Nandi.

"Gue udah jelasin, kan? Gue nggak tahu kalau Jem udah merencanakan semuanya. Gue kira cuma mau main karambol doang di belakang sekolah, itu pun udah jam pulang sekolah, gue nggak tahu kalau dia sama temen-temennya ada di sana. Gue sendirian."

"Tapi lo hampir melukai salah satu dari mereka, Bang."

"Hampir." Aku menyela ucapan Amnan yang terkesan memojokkan-ku. Aku benci, anak itu selalu membuatku hipertensi jika dibiarkan.

"Sudah! Kalian hanya bisa menyalahkan. Coba tanya dengan kepala dingin. Lebih baik kamu masuk ke kamarmu Amnan."

"Semua belain Bang Ger, coba kalian lihat apa hasilnya sekarang? Bikin malu!"

"Amnan!"

Aku terkejut saat Prasasti bangkit dan mengangkat sebelah tangannya ke udara. Dia ingin menampar Amnan? Tidak! Aku pun segera bangkit dan menahan tangannya. Aku berdiri di hadapan Prasasti, aku juga bisa melihat kedua mata Prasasti yang mulai memerah. Aku memberi pemahaman lewat kedip mata pada Prasasti agar dia mengurungkan niatnya. Sementara Amnan mematung di tempatnya sambil menatap ke arah kami berdua.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Where stories live. Discover now