"Prabu!"

"Kenapa kamu marah sampai seperti ini? Jadi semua yang saya ucapkan tadi benar?"

"Sinting, kamu pikir saya pelacur yang sering kamu pakai setiap kali ingin? Saya bukan pelacur yang rela tidur dengan semua laki-laki yang saya temui."

Prabu mendengus meremehkan. "Jangan berlaga seperti perawan, Kamala. Laki-laki itu lebih terlihat pantas bersama kamu. Bisa jadi kamu rela melakukan apa saja demi bersama dia, kan?"

Kamala berusaha melepaskan diri dari Prabu. Namun usahanya sia-sia, genggaman Prabu terlalu kuat. Kata-kata Prabu terlalu menyakitkan untuknya. Seperti ditikam pisau, dadanya sakit bukan main mendengar kalimat penghinaan semacam itu bisa meluncur mulus dengan mudahnya dari bibir laki-laki yang dianggap dapat melindunginya.

Tidak sadarkah laki-laki itu melihat penolakannya saat Gama menggenggam tangannya tadi? Kamala tidak ingin membuang waktu untuk memikirkan kemungkinan Prabu menyadari bahwa dia tidak merasa tidak nyaman saat Gama menyentuhnya, pikiran Kamala tertutup dengan hawa panas yang sudah menjalar-jalar di kedua matanya.

"Lepaskan saya Prabu."

"Katakan dulu, apa kamu menerima perjodohan itu?"

"Urus saja urusanmu sendiri."

"Kamala!"

"Berhenti membentak-bentak saya. Kamu pikir, kamu siapa, Prabu? Kamu menghina saya seperti saya tidak punya harga diri sama sekali. Kalau kamu merasa terintimidasi dengan Gama, jangan salahkan saya."

"Terintimidasi katamu?" Prabu hampir saja tertawa mendengar ucapan Kamala. Dia tidak terintimidasi sama sekali dengan penampilan Gama yang lebih rapi dan menjanjikan. Lebih terhormat dan lebih pantas bersanding bersama Kamala. Dia tidak terintimidasi meski sekali pun laki-laki itu memamerkan seluruh hartanya. Dia tidak akan pernah terintimidasi dengan sekumpulan curut seperti Gama.

"Ya. Kamu cemburu dengan Gama, tapi kamu melampiaskannya ke saya. Akui saja Prabu, kamu memang cemburu dan terintimidasi dengan Gama."

Prabu menarik tangan Kamala, membuat jarak mereka lebih dekat lagi. "Bukan justru kamu yang harusnya mengakui senang diperebutkan seperti ini? Sejak awal kamu menolak saya dengan berbagai alasan, lalu ketika ibumu yang sombong itu menyodorkan laki-laki lain, kamu pasti sudah tidak punya alasan lagi bersama saya. Iya, kan? Kamu bahkan tidak repot-repot melepaskan genggaman tangannya tadi. Kamu senang, kan? Jawab saya Kamala!"

Kamala sudah meneteskan air mata saat Prabu membentaknya dengan seluruh amarah yang meledak-ledak. Seluruh alasannya menolak perjodohan dengan Gama telah menguap. Penyesalan datang berbondong-bondong ke hadapannya sekarang.

Latar belakang dan siapa laki-laki ini sebenarnya, Kamala sendiri belum tau dengan baik. Dia menyadari dirinya telah bodoh membiarkan Prabu masuk begitu dalam pada kehidupannya. Mereka jelas-jelas berbeda, dia yakin sampai kapan pun tidak akan mampu menolerir sikap Prabu yang sembrono dan kasar, serampangan.

Lebih buruknya lagi, Kamala menyadari bahwa dia telah terpikat dengan Prabu, sentuhan laki-laki itu seperti candu, seperti obat untuk seluruh rasa sakitnya atas kehilangan Saputra, seperti muara terakhir tempatnya melarung rasa lelahnya. Prabu adalah harapan terakhir, tapi kini harapan itu pun sudah musnah. Prabu memberikannya alasan untuk berpikir mereka tidak akan pernah sepadan dari segi mana pun.

"Kamala."

Mendadak meski terlambat Prabu merasa bersalah telah membuat Kamala meneteskan air matanya. Gadis itu meronta-ronta ingin dilepaskan. Namun Prabu sudah menguatkan tekadnya, dia tidak akan mundur dan melepaskan Kamala begitu saja.

"Kamala, saya minta maaf."

"Lepaskan saya."

"Kamala."

Kamala (Sudah dinovelkan)Where stories live. Discover now