Part 1 - Winter

225 8 2
                                    

 Hari ke 16 dibulan Desember ini cukup menghasilkan hawa dingin yang mencekam persendian tulang, salju yang terus turun dijantung kota Mexico cukup tebal dan beberapa daerah mulai menutup arus jalan. Mengingat siaran disebuah mall bahwa badai salju akan segera datang hampir semua pengunjung beberapa mall dipaksakan untuk pulang.

Dengan segelas caramel macchiato yang asapnya masih mengepul sesekali gadis itu menyesapnya, sedikit demi sedikit dirasakannya antara perpaduan pahit dari kopi, manis dari gula dan rasa tersendiri dari karamelnya. Kelopak matanya ikut terpejam, terasa sangat menikmati racikan minuman yang menjadi favoritnya, lalu mendesah ketika seorang pelayan kafe tersebut menghampiri,

"Sorry miss, you must to go home because this caffee will close." Kata laki-laki muda itu tersenyum, menampakkan lesung pipinya, kelihatan begitu manis dengan seragam khas kafe-kafe di Mexico.

"Okay, thanks for the coffee" kata gadis itu tersenyum dan meninggalkan beberapa dolar amerika dimejanya.

Wiona's pov

 Aku merapatkan mantel tebalku beserta beannie yang aku kenakan ketika keluar dari kafe langgananku, jalanan kota ini cukup sepi mengingat salju turun dengan tebalnya dan hampir seluruh wilayah menutup akses perjalanan. Aku mengemudikan mobil tua ini, meninggalkan keramaian disini dan kembali kerumah, tidak lupa aku mampir di bakery holand membeli beberapa pesanan ayahku. Sisa perjalanan aku hanya sesekali menatap jalan kerumah yang semakin dipenuhi salju.

"Dadd.. I'm homeeeee"

"Hi sweety, how's your day?"

"Nice, as usual. How's yours?" tanyaku dan memeluk ayahku yang sudah mulai keriput ini,

"Yeah, tidak ada pelanggan sama sekali. Mengingat badai salju akan turun" katanya lesu,

"Tidak usah khawatir ayah, tenang saja kita masih punya uang untuk makan. Haha" kataku bercanda,

"Okay okay, bagaimana pekerjaanmu?"

"Yeah, sekedar mengedit beberapa naskah yang telah dikirim. Selebihnya disuruh pulang yaa.. seperti ayah, akan ada badai salju" aku melepaskan mantelku dan menyesap green tea yang ayah buatkan.

"Baiklah, apa yang selanjutnya akan kau lakukan?"

"Menemanimu.... mungkin?"

"Bagaimana jika kita membuatkan kandang untuk Jamie dan Dakota?"

"Ehm... boleh. Memangnya kandang yang lama kenapa yah?"

"Hampir rusak, kan kasian. Ayah tidak bisa membayangkan jika mereka akan kabur setelah kandangnya rusak" kata ayah dengan mimik muka yang dibuat-buat. Aku meledakkan tawaku

"Hahaha, ayah bisa saja deh. Memang sih bisa saja mereka kabur, mengingat mereka mempunyai sayap dan yahh.. bisa mendapatkan kebebasan di alam raya yang kaya nan indah ini" kataku, menyandarkan bahuku pada sofa yang aku duduki, menerawang jauh, sambil sesekali mengingat masa kecilku yang bahagia.

Bunda?

Dimanakah kau kini?

Tidakkah kau rindu anakmu, suamimu?

Bagaimana kabarmu setelah meninggalkan ayah?

Apakah kau bahagia bersama lelaki itu? Atau sebaliknya?

Aku harap kau akan selalu baik, dan suatu saat kau akan menjenguk putri kecilmu yang dulu kau tinggalkan demi harta bersama pria tua itu.

Aku memejamkan mataku, begitu banyak tanda tanya tanpa jawab. Dadaku serasa diremas, merindukan sosok  seorang ibu yang telah lama hilang. Di usiaku yang menginjak 24 tahun ini, bukan waktu yang singkat untuk tidak meraskan kasih sayang seorang ibu selama 20 tahu. Bukan hal yang mudah untukku ditinggalkan sosok seorang ibu diusia 4tahun, aku yang dulu tidak mengerti apa-apa disaat mereka bertengkar hebat, masih teringat jelas saat ibu membawa kakak laki-lakiku dan meninggalkan aku bersama ayah yang harus berjuang.

Sebenarnya aku tidak bisa menerima saat ayah bilang ibu meninggalkan kita karena ayah tidak punya cukup uang untuk membeli barang mewah yang diinginkan ibu, saat ibu dan kakakku keluar, aku melihat pria tua yang menjemput mereka. Aku terus menangis, akan jadi apa hariku tanpa ibu, tanpa kakak yang 3tahun lebih tua yang selalu menjagaku, menemaniku. Kak Jason tidak melepas pandangannya terhadapku yang terduduk didepan rumah dibawah air hujan bulan september, aku terus menangis dan Kak Jason pun sama. Lalu ayah datang membawaku masuk, merawatku dan selalu menyanyikan lagu lullaby pengantar tidur.

Ayah.

Sosok yang sangat berjasa dalam hiduppku, 20 tahun dia merawatku sendirian. Tanpa mau mencarikan ibu baru untukku, mengingat dia sangat mencintai ibu.

Lelaki perkasa yang tangguh, dengan mengandalkan bengkel dan beberapa petak sawah beliau berhasil meluluskanku dari Boston Univercity beberapa bulan lalu. Yah meskipun disana aku mendaat beasiswa, setidaknya ayah juga berperan banyak.

Mata hijau tosca yang sama denganku yang selalu bisa menenggelamkanku bak disamudra yang tenang, tanpa gangguan nyanyian phoenix saat aku bekerja dipenerbitan itu.

            Pagi ini ku ayuhkan sepedaku disebuah supermarket yang dekat dengan rumah, membeli beberapa bahan makanan yang hampir habis. Ketika dirak bagian daging, aku kembali bertemu dengan lelaki pelayan kafe itu, tapi apakah hari minggu juga libur?

"Hi.. Kamu, lagi ngapain?" tanyanya, aku berjengit kaget

"Eh-eh, anu.. ini beli daging. Kamu sendiri?" aku mencoba mengamati "Loh, bukannya kamu pelayan kafe itu ya?" tanyaku antusias

"Hehe iya, senang bisa bertemu denganmu"

"Iya, emm lagi beli apa?"

"Sama, beli daging. Oh ya, udah dagingnya?"

"Eh, udah nih aku ke kasir dulu ya?"

"Ayo sekalian bareng" mau tak mau aku mengikutinya saja, berjalan dibelakang punggungnya. Nampaknya dia sangat tinggi, atau aku yang terlalu pendek? Hey, aku hanya sebatas dagunya saat berbicara tadi. Huh!

"Jadinya $135, Miss" aku mengangguk, hendak mengambil atm-ku

"Biar pake atm-ku aja mbak?" katanya, aku menoleh

"Eh-eh, jangan. Itu.. em, anu.."

"Ah kelamaan, udah mbak pake atm-ku aja" dan si mbak-mbak itu mengangguk. Aku merasa tidak enak hati. Baru bertemu dengannya, bahkan belum sempat kenalan. Tiba-tiba aku merasa henfonku bergetar, Daddy's calling

"Ya, Ayah?"

"...."

"Iya, Wio sebentar lagi kok,"

"...."

"Ya, Ayah. Bye. Love you too"

"Siapa?" aku berjengit, suara maskulin itu sudah mengagetkanku dua kali bahkan belum satu jam

"Ayah, aku harus segera pulang. Bye" tanpa sadar aku meninggalkannya, berlari dan mengayuh sepedaku kembali kerumah,

"Aduuhhh, belum sempet bilang makasih!" aku menepuk jidatku setelah sampai didepan pintu

"Ada apa?" suara ayah

"Eh, itu yah tadi em tadi.. ada temen nolongin, iya temen itu. Belum sempet bilang makasih akunya, yah"

"Ohhh gitu, ya kan lain kali bisa ketemu lagi"

"Eh iya yah. Ayah mau makan apa? Biar aku masakin?"

"Apa aja, yang penting jangan pedas. Ok?"

"Aye captain!"

Aku mencepol rambut sebahuku asal, memakai celemek bergambar doraemon dan mulai memasak sup cream dengan daging asap. Sesekali mengikuti suara Mas Adam, the perfect human being yang sexynya nggak ketulungan. Tidak butuh waktu lama kini makanan sudah jadi dan tinggal menghidangkan dimeja,

"Ayah, makanan siaaapppp!" aku berteriak sambil membawa satu mangkuk supnya

"Wah, enak sekali kelihatannya?"

"Of course ayah. Ini" aku menawab dengan bangga dan memberikan satu porsi makanan untuk ayah. Kami makan dalam diam, karena dalam adat kami —aku dan ayah- tidak boleh makan sambil berbicara. Tentu saja akan mengganggu konsentrasi.

TBC

GoodnightDove le storie prendono vita. Scoprilo ora