1- Semesta, Aku Tak Punya Rumah

81.5K 5.1K 744
                                    


Kalau cinta semudah yang kukira, mungkin hari ini aku tak pernah merasa jatuh dan terpental jauh ke dasar jurang terjal berbatu. Mungkin juga tidak akan pernah merasa kecewa pada sebuah fakta yang bahkan menyimpan sejuta alasan di sana. Kalau saja jatuh cinta bisa kutahan untuk tetap di ambang batasnya, mungkin aku tidak akan tenggelam sampai sedalam ini.

Tapi apakah hatiku saja yang lemah?

Nyatanya, semua orang pernah sangat tak berdaya ketika hati mereka bicara. Semua orang akan melakukan kesalahan saat hati mereka meragu. Semua orang akan marah pada semesta, padahal semua yang ada di dunia ini hanyalah saksi tanpa aksi. Mereka hanya melihat setiap kebodohan, kemarahan, bahkan ketidak berdayaan semua orang.

Jakarta; 6 Maret.

Pintu utama baru saja terbuka otomatis saat seorang laki-laki dengan tubuh proporsional melangkah sambil menggandeng sesuatu di tangan kanannya. Tak ada kata yang ia lontarkan saat langkah kakinya mulai menjajaki halaman kantor tempatnya bekerja. Berbeda dengan seseorang yang tengah berada di gandengannya itu—sejak dari dalam bocah kecil itu terus bicara tanpa merasa lelah sedikitpun. Semua kalimatnya tertata rapi, hanya pelafalannya saja yang masih belepotan.

Bocah berusia menginjak 3 tahun tersebut sesekali berjingkat kesenangan. Sederhananya tawa yang keluar membuat siapa saja yang lewat melambaikan tangan untuk menyapa, dan bocah bernama Miko itu selalu membalasnya dengan bahagia.

"Ayah..., kita mau jemput mama di lumah sakit ya, Yah? Adik bayinya mau dikelualin hali ini ya?"

Mendengar kalimat itu keluar dari bibir mungil anaknya untuk kesekian kali, Haikala hanya tersungging tanpa bereaksi berlebihan. Padahal, beberapa menit yang lalu Haikala sudah menjelaskan semuanya dengan sabar, tapi Miko tidak benar-benar mendengarkannya.

"Ayah, adik Miko cowok kan, Yah?"

Setelah keduanya masuk ke dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam, Haikala dengan sabar memasangkan sabuk pengaman di sebelahnya pada sang anak, lalu tersenyum lebar.

"Adik bayinya masih kecil banget, belum kelihatan perempuan apa laki-laki. Miko tunggu sebentar lagi ya." Suara Haikala menguar untuk pertama kalinya setelah keluar dari kantor. Dengan sangat hati-hati, laki-laki itu mengusap rambut sang anak dengan gemas, lalu menjalankan mobilnya keluar dari halaman kantor.

Tumben sekali jalanan lengang di jam-jam makan siang seperti ini. Tak ada kemacetan di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Miko masih sibuk bercerita tentang harapannya pada calon adiknya kelak dan Haikala akan menanggapi sesekali, fokus menyetir harus menjadi yang paling utama.

Beberapa waktu terakhir, Haikal kehilangan kekuatan bertahan hidup setelah Jonathan mengetahui tentang keadaan rumah tangganya. Sebelumnya masih baik-baik saja, atau setidaknya Haikala masih bisa menanggapinya tanpa terlalu banyak merasa khawatir. Tapi, setelah seseorang mengetahui masalah yang terjadi, Haikala mulai sering mendengar banyak pembahasan yang sebenarnya tak pernah ingin ia dengar. Ia hanya mencoba agar semuanya baik-baik saja, setidaknya seperti tidak ada siapapun yang terluka. Baik dirinya, Kara, atau bahkan hubungannya dengan Mahesa.

"Ayah- " tangan mungil Miko menarik lengan kemejanya. "Hp Ayah bunyi telus!"

Haikala memarkirkan mobilnya dipinggir jalan ketika seseorang menelepon. Pikirannya kembali kacau balau, setidaknya dalam beberapa hari terakhir, dia tidak bisa tidur lelap.

"Hallo, Ra? Gimana?"

"Kamu udah otw ke rumah sakit ya? Sama Miko?"

"Iya, anak-anak pada makan siang, nggak enak nitipin Miko ke mereka."

"Aku masih sama Kak Mahesa, kamu agak telat aja ya jemputnya."

"Eum." Tiba-tiba saja Haikala kehilangan kata-kata, dia tidak tahu harus mengatakan apa.

1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]Where stories live. Discover now