16 - Luka yang Indah

18 1 0
                                    

"Terimakasih, telah menjadi bagian dari hidupku."

.
.
.
.
.

Sepertinya senja segera tiba. Aku masih duduk disini—di tepian dermaga. Merasakan dinginnya air laut membelai kakiku, juga suara ombak yang terdengar bagai simfoni di telingaku. Aku tersenyum, ah ... atau mungkin tidak menyangka? Ternyata kisah cintaku saat itu penuh drama. Yang selalu aku sesali hanya satu, aku terlalu mudah menyerah. Dan karena itu, aku selalu menyalahkan diri sendiri. Jika saja saat itu aku lebih berani, tidak melarikan diri, atau lebih berusaha—sedikit saja. Mungkin, hubunganku dengan Mas Dirga bisa dipertahankan. Jika boleh kutebak, Mas Dirga itu dulu orang yang 'labil' dan 'naif'.

"Dasar laki-laki nggak punya pendirian." Aku terkekeh, mengingat surat terakhir yang diberikan Mas Dirga.

Saat ini, aku sudah berada di tahap mampu menerima semuanya dengan pikiran yang lebih terbuka. Setelah aku melihat orang-orang di sekitarku, orang-orang yang pernah singgah lalu pergi, itu membuatku sadar bahwa mereka itu sekedar pemberi warna. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang memang seharusnya tidak bisa kita miliki. Randi dan Kevin adalah contohnya.

Tetap saja, bagiku Mas Dirga adalah pengecualian. Apalagi setelah kita dipertemukan kembali. Dan mungkin, dengan rasa yang masih sama.

"Hai ..."

Aku terkejut merasakan sebuah sentuhan di pundakku. Kemudian melihat seseorang yang tiba-tiba ikut duduk di sampingku.

"M-Mas Dirga, kok ada disini?"

"Sengaja, nyusulin. Di rumah nggak ada sih, hehe. Kata Ayah lagi ke dermaga."

"Loh kenapa?"

"Kok kenapa? Nggak boleh kah?"

"Ng-nggak juga Mas, heran aja." Seketika saja tiba-tiba aku merasa gugup.

"Kenapa sendirian disini?"

"Nggak papa Mas, lagi pengen sendiri aja."

"Oh ..."

Kami terdiam untuk beberapa saat. Hanya mendengar suara nafas masing-masing, juga dengan kicauan beberapa burung camar yang lewat.

"Mas ..." Aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Iya."

"Mau nanya boleh?"

"Boleh, kenapa?"

"Kenapa dulu Mas pergi gitu aja? Nggak kasih alasan yang jelas, dan bikin aku kesiksa."

Untuk beberapa saat Mas Dirga hanya terdiam, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"Maaf ya ..."

Mas Dirga meraih tanganku, dan menggenggamnya erat.

"Aku dulu egois dan labil, atau mungkin lebih tepatnya bodoh. Maaf ninggalin kamu kayak gitu. Aku bener-bener nyesel setelahnya. Tapi aku nggak punya cukup keberanian buat memperbaiki semuanya."

Aku hanya diam.

"Sore itu, aku dapet kabar kalo Bunda sakit. Penyakit gagal ginjalnya semakin parah, dan harus segera operasi hari itu juga. Padahal saat itu Bunda lagi ada di luar negeri untuk pekerjaan. Vina dateng langsung dan kasih kabar itu sambil nangis-nangis."

Aku benar-benar terkejut. Demi apapun itu. Mendengar sebuah nama yang tidak asing, dan bahkan sudah lama pergi.

"A-apa Mas?? V-Vinaa? Vina yang aku kenal?"

"Iya Vina yang meninggal bunuh diri. Aku juga kaget dapet kabar itu. Setauku, Vina selalu baik-baik aja. Kita memang jarang bertemu karena aku sibuk sekolah."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 07, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ku Tunggu Kau di Ujung DermagaWhere stories live. Discover now