Part 1 : Never be the same

6 0 0
                                    

POV Clarrissa Tantomo

" Ver, thank you karena udah izinin aku ya. Gara-gara masalah ini aku jadi kalang kabut. "
" Iya gapapa kok, Ris. Toh ini cuma masalah kecil aja. Turut berdukacita atas kematian kakekmu ya. "

Aku mematikan ponselku dan menatap ketiga adikku, terutama Sil yang barusan menyadarkan dirinya habis pingsan tadi. Tri sudah memberikannya air untuk diminum dan Pip terus merayu manja dengan mama. Walaupun Pip masih TK tapi setidaknya dia tahu cara menghibur orang dewasa dengan caranya sendiri. Aku menghampiri ke arah mama, menanyakan kondisinya dan melanjutkan melipat kertas uang bersama Tri dan Sil sementara Pip melanjutkan tidur siang sehabis bermain seharian.

"Siapa kak? "
" Ver. "
" Oh. "

Diam. Situasinya mulai sedikit dingin dari sebelumnya. Mungkin aku harus mencairkan suasana dengan Tri.

" Jadi bagaimana dengan olimpiade mu? Aku terdengar kamu nekat melawan anak-anak dari sekolah Earthers International School. "
" Yang benar itu lomba cerdas cermat, dan sebenarnya aku bolos pada detik-detik terakhir. Gis sudah meminta izin untukku. "
" Oh begitu ya.... "
" Ya, begitulah. Setidaknya kali ini untuk alasan yang masuk akal dan aku tidak harus berkutat dengan soal biologi. "
" Beruntung aku tidak bertemu dengan polisi hari ini. Kalau tidak, mungkin kita sudah kena tilang. Padahal aku ini tidak pernah melanggar hukum negara sebelumnya, sampai sekarang. "
" Ya, beruntung saja da jie * (bacanya tacie, yang berarti kakak perempuan pertama) tidak menabrak tiang listrik hari ini. Tapi aku tak pernah melihat da jie mengendarai mobil sebelumnya. Kok tiba-tiba-"

Aku terdiam mendengar kata-kata Tri. Sebenarnya sebelum wai gong (berarti kakek dari ibu) wafat hari ini, beliau sempat mengajarkanku cara mengendarai mobil. Sepertinya untuk sementara waktu ini, keahlian yang telah diajarkan wai gong kepadaku cukup berguna untuk keadaan seperti ini.

" Aku sempat mempelajarinya dengan wai gong sebelum beliau ..... Yah kamu tahulah sendiri. "

Aku melihat ke arah peti yang berisikan jasad wai gong. Banyak orang sudah mulai berdatangan mulai dari pihak keluarga dan teman-teman. Mama menyuruh kami untuk lebih cepat melipat kertas uangnya untuk dibakar agar wai gong bisa memakai uang itu di alam baka. Kami bertiga menggangguk dan mempercepat lipatan kami.

" Sil, kalau kamu masih merasa tidak enak badan, kamu bisa minum air hangat dulu baru lanjut-"
" Tidak apa-apa er jie *(kakak kedua). Aku masih sanggup melakukannya. "

Sil menatapku dan memberikan sebuah bungkusan bar cokelat kepadaku. Aku sempat sedikit heran akan tawarannya.

" Aku dapat cokelat lagi. Da jie tahu sendiri aku diet keras belakangan ini demi ikut audisi jadi aku nggak boleh makan makanan manis seperti ini. "
" Apakah aku terlihat seperti tong sampah makanan bagimu? "
" Bukannya memang begitu? "

Sil dan Tri tertawa kecil. Tentu saja, aku hanya bercanda walaupun pada kenyataannya aku memang seperti itu. Aku menerima cokelat Sil dan berterima kasih kepadanya. Aku akan memakannya seusai kami selesai melipat kertas uang.

" Sepertinya ini sudah cukup. "

Mama datang dan melihat hasil lipatan kami. Kami tersenyum melihat mama yang sudah lebih tenang dari sebelumnya. Tingkah imut Pip berhasil menenangkannya.

" Mama, apakah kita boleh sembahyang buat wai gong dulu? "
" Sil benar, ma. Kita belum membakar dupa buat wai gong dari tadi siang. Sekarang sudah malam dan kita bahkan belum mengganti seragam sekolah kita.... Yah kecuali Sil yang memakai kaos dan celana hitam buat dance challenge sebelumnya. Tapi kita berempat belum mengganti pakaian kami dari tadi. "

Where? Место, где живут истории. Откройте их для себя