08

3.3K 250 16
                                    

Yey aku up lagi^^

Please guys bantu aku promosiin cerita ini!

Pembacanya makin sedikit tapi gak papa aku bakalan usahain up cepet buat kalian:))

Follow akun aku juga ya supaya bisa nyampe 1k<3

Jangan terlalu berharap banyak sama cerita ini! I love you<3





**

"Ya, ya saya mau tahu aja pak, hehe," jawab Abel dengan terkekeh hambar, dan berhasil membuat Abi semakin bingung.

"Aneh," gumam Abi pelan namun masih bisa di dengar Abel.

Abel memutar bola matanya jengah, apa susahnya sih jawab pertanyaan dia pikir Abel.

"Jadi?"

Helaan napas panjang keluar dari hidung Abi, dia sekilas menatap poto anak laki-laki tadi.

"Dia malaikat kecil saya," ucap Abi dengan menatap mata Abel dalam.

Jantung Abel sudah berdetak tak karuan, dia menunggu kata selanjutnya yang akan Abi katakan.

"Penyemangat hidup saya dan dia an-" ucapan Abi terpotong begitu saja ketika mendengar dering ponselnya.

"Saya angkat telepon dulu, ya?" ucap Abi pada Abel yang di balas anggukan singkat.

"Iya bi?"

"Oke-oke, saya segera pulang sekarang,"

Sambungan telepon Abi putus, dengan wajah tidak enak Abi menatap Abel. "Maaf ya Rima, saya sedang ada keperluan, lain kali kita bisa mengobrol lagi,"

"Ah iya, pak."

Pupus sudah kesempatan Abel untuk mencari tahu anak tadi, dia masih berharap anak itu adalah anaknya, tapi ya sudah lah mungkin ini bukan saat yang tepat.

"Saya duluan Rima," pamit Abi dan Abel hanya mengangguk pelan saja.

Untuk ke sekian kalinya Abel menghela napas berat, badannya terasa remuk padahal baru sehari dia menjalani aktivitasnya sebagai pelajar.

Dengan langkah yang malas-malasan Abel berjalan ke rumah Rima. Matanya jatuh pada mobil mewah yang baru saja dia lihat, namun siapa peduli.

Abel masuk ke rumah mewah milik keluarga Rima dengan wajah lesu, namun langkahnya terhenti ketika melihat dua orang manusia yang duduk membelakanginya, dengan rasa penasaran Abel mendekat.

"Ada apa denganmu Rima?"

Jantung Abel berdetak kencang ketika mendengar suara bas milik seorang pria. Dia menatap heran ke arah pria tadi.

"Maksudnya?" tanya Abel dengan rasa penasaran.

"Jangan pura-pura tidak tahu! Mama sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan Rima!" bentak seorang wanita yang bisa Abel kira sebagai orang tua dari Rima.

"Mama tahu tadi kamu di hukum karena kesiangan, harusnya kamu disiplin, bagaimana kalau posisi kamu sebagai juara umum tergeser?! Mama sama papa bela-belain kerja siang malam buat biayain kamu sekolah. Biar jadi orang sukses, tapi mana? Kamu baru aja sehari sekolah tapi sudah buat ulah," cercah mami dari Rima.

"Sudah?" tanya Abel dengan menatap dingin mereka berdua. Ayolah ini hanya masalah sepele kenapa harus di besar-besarkan.

"Aku hanya kesiangan bukan rusakin sekolah ma! Apa itu penting untuk kalian? Jadi juara umum atau nggak itu bukan urusan kalian, jangan berlebihan," ucap Abel yang mampu membuat kedua orang tua Rima menatap tak percaya.

"Jaga ucapanmu!" bentak papa Rima. "Kami tidak pernah mengajarkan kamu jadi pembangkang Rima," sambungnya.

Abel tertawa hambar mendengar apa yang papa Abel katakan. "Memang, memang kalian tidak pernah mengajarkanku jadi pembangkang. Tapi, apa kalian mengajarkanku tata krama dan sopan santun?" tanya Abel dengan mengepalkan tangannya.

"Ku-"

"Syutt, aku belum selesai bicara pah!" ucapnya pada papa Rima. "Kalian tidak pernah mengajarkanku apapun, kalian hanya sibuk bekerja dan bekerja. Apa itu pantas di lakukan orang tua? Tentu saja ti--"

"Cukup!" Teriakan dari mama Rima suksek memotong ucapan Abel, dia melangkah mendekat pada Abel dan melayangkan tangannya tepat pada pipi sebelah kiri hingga membuat Abel menengok ke kanan.

Rasa panas begitu terasa, namun dengan segera dia menatap wanita yang kini sedang menatap telapak tangannya sendiri menandakan dia terkejut atas perbuatannya.

"Maaf aku lancang," ucap Abel dan meninggalkan kedua orang tua Rima.

"Pah, a-aku gak sengaja," ucap mama Rima dengan terduduk lemas.

"Udahlah ma, anak itu memang pantas mendapatkannya," balas suaminya.

••

Setelah sampai di kamar, Abel segera merebahkan dirinya di atas kasur empuk milik Rima. Tangannya dengan pelan memegang bekas tamparan tadi, rasa perih masih terasa namun tidak se menyakitkan tadi.

Abel sangat prihatin dengan hidup Rima, ternyata Rima begitu tertekan, dia bisa merasakannya sendiri. Di tuntut menjadi sempurna oleh keluarganya sendiri adalah beban paling berat bagi seorang anak.

Apa seorang anak memang harus menjadi sempurna seperti apa yang mereka inginkan? Apa mereka tidak pernah memikirkan bagaimana beban yang telah mereka berikan pada sang anak? Mungkin mereka ingin yang terbaik tapi bukan berarti seperti ini.

Kebebasan yang harusnya di rasakan remaja seusia Rima malah di tuntut untuk menjadi yang paling hebat, terkekang tanpa bisa melepaskan diri.

"Gue gak nyangka lo sekuat itu, mungkin ini salah satu alasan lo minum racun. Wajar sih lo ngelakuin itu, mungkin gue juga sama kalo ada di posisi lo," ucap Abel dengan menatap langit-langit kamar.

"Rahasia lo kayanya banyak banget, ya? Lo gak mau ngasih gue petunjuk?" tanyanya seakan-akan dia sedang berbicara dengan sosok Rima, namun kemudian dia terkekeh pelan dengan kebodohan yang dia lakukan.

"Gue udah mirip orang gila,"

Abel bangkit dari tidurnya kemudian menatap pantulan dirinya di cermin, wajah cantik milik Rima harus ternodai dengan tamparan tadi, pipinya begitu terlihat merah dengan lima jari tergambar di sana mungkin efek tamparan yang cukup keras.

"Lo beruntung punya wajah secantik ini, tapi sayang kisah hidup lo sama gagal nya kaya gue,"

"Mau mati bareng?" sambung Abel dengan menatap pantulannya di cermin.

Dia menunduk kemudian mengangkat pandangannya lagi dengan senyum yang tercetak di bibir manis milik Rima.

"Jangan mati dulu ya, gue pengen ketemu anak gue dulu. Gue berhutang budi sama lo, kalo bukan karena lo yang koma gue gak mungkin bisa ada di sini,"

Satu tetes air mata tiba-tiba jatuh begitu saja tanpa bisa di cegah, dadanya begitu sesak saat mengingat fakta dirinya telah meninggal dunia, entah itu besok, lusa atau mungkin hari berikutnya dia bisa saja pergi dari tubuh Rima.

"Kasih gue waktu buat nemuin anak gue ya, Rim? Kasih gue kesempatan terakhir nikmatin hidup,"

"Gue janji bakalan bantuin lo ngelewatin masa-masa sulit lo ini, percaya sama gue!" ucapnya dengan pasti.

Tekad Abel sudah bulat, dia ingin mencari anaknya, mencoba berdamai dengan keadaan dan mencari tahu alasan apa saja yang membuat Rima berniat mengakhiri hidupnya. Dia berjanji akan hal itu.

Bersambung ....

Second Life (Sequel A2)Where stories live. Discover now