"Kamu belum sarapan, kan?"

"Belum," jawab Prabu saat dia menyalakan mesin mobil.

"Kita harus sarapan dulu."

"Saya tidak mau sarapan dengan sepiring belatung. Kalau sarapan dengan tubuhmu, saya mau."

Kamala mengerti sekarang kenapa raut wajah Prabu begitu tegang saat dia mengajak laki-laki itu berbicara. Diam-diam Kamala mencermati penampilannya sendiri. Semua biasa-biasa saja menurutnya, kebaya yang dia kenakan sudah pernah dia kenakan di depan Prabu, tidak ada sesuatu yang spesial dari penampilannya pagi ini hingga mampu membuat Prabu menjadi bergairah seperti itu.

Mungkin karena mereka tidak pernah lagi mengadakan kontak fisik selama seminggu terakhir, dan seperti dugaannya, pekerjaan yang membutuhkan perhatian penuh tidak cukup kuat mengalihkan pikirannya terhadap Prabu. Dia selalu memikirkan laki-laki itu meski mereka tidak saling berdekatan. Selama seminggu yang muram, Kamala menjatuhkan diri untuk melanjutkan pesanan baju pengantin pesanan kliennya yang terbengkalai, dan Prabu sibuk melakukan ini dan itu tanpa dia tau dengan jelas apa yang laki-laki itu kerjakan sebenarnya.

Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan Prabu, cintanya masih bersemi untuk Saputra. Jika dibandingkan, mereka berdua tidak berada dalam level yang sama. Saputra adalah laki-laki yang lembut, sedangkan Prabu justru sebaliknya. Meski begitu, Kamala masih bisa melihat bahwa dirinya sendiri tertarik dengan pembawaan Prabu yang sembrono. Prabu menghidupkan kembali alasannya untuk bertahan.

"Di mana rumah pengasuhmu itu?"

Kamala menengok ke arah Prabu. "Dekat pasar klewer, nanti saya tunjukkan jalannya."

"Ngomong-ngomong. Setelah kejadian kemarin itu, apa tidurmu nyenyak? Kamu tidak memimpikan hal-hal aneh? Atau mungkin punya firasat tertentu?"

"Sebenarnya saya tidak bisa tidur setiap mengingat kejadian itu."

"Kenapa?"

Kamala menggigit bibirnya sendiri. "Saya takut, kalau saya tertidur, saya akan bangun di tempat yang lain."

"Kan ada saya di dekatmu."

"Tidak betul-betul di samping saya. Kalau pun kamu tidur di samping saya, saya tidak yakin kamu akan sadar kalau saya menghilang. Kamu selalu mengorok lebih cepat dari seharusnya."

Tawa Prabu menggema, hatinya diliputi kegembiraan saat mengetahui bahwa Kamala memperhatikannya diam-diam, sedangkan dia sendiri juga begitu. Mengawasi Kamala setiap kali dia berlenggak-lenggok di depannya. Sehabis memasak, sehabis mandi dan bangun tidur. Prabu bahkan menikmati pemandangan saat Kamala sibuk dengan kain-kainnya. Mengukur dengan telaten, dan memotong dengan akurat. Kamala terlihat sangat cantik saat bekerja. Seperti terjebak dalam dunianya sendiri dan dia tidak sempat menyadari bahwa ada orang lain yang memperhatikannya dari kejauhan.

Semuanya terekam jelas oleh panca indra Prabu. Kamala benar-benar gadis yang tumbuh dengan kesempurnaan seorang gadis priyayi. Dibesarkan oleh didikan yang keras. Darahnya yang murni tidak ternodai oleh tuntutan hidup yang mengikat manusia pada uang. Satu-satunya yang mengikat Kamala hanya tradisi busuk yang mengekang kebahagiaan dan haknya dalam memilih.

"Maaf ya, saya tidak pernah sadar kalau saya mengorok sekencang itu."

"Tapi kenapa kamu selalu menanyakan hal yang sama ke saya mengenai mimpi-mimpi atau sebuah pertanda?"

"Saya penasaran, mungkin kamu juga punya kekuatan yang sama seperti ibumu. Bisa melihat sesuatu yang tidak orang lain lihat. Sama seperti saat kamu melihat belatung di piring makan saya, sedangkan saya hanya melihat potongan ayam goreng. Dan saat pertama kali kita bertemu, saat kamu mengakui kalau kita melakukannya, tapi rasanya saya hanya bermimpi. Seperti kejadian itu tidak pernah benar-benar terjadi."

Kamala (Sudah dinovelkan)Where stories live. Discover now