"PDKT apaan sih? Ngaco banget lo."

Haechan menghela napas. Menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Terlihat frustasi namun kenapa?

Lelaki itu kemudian memajukan tubuhnya, menatap Neira serius. "Lo beneran pura pura nggak tau atau emang nggak punya hati sih?"

"Lo sebenarnya ngomongin apaan? Terus terang aja, gue sama sekali nggak tau kemana arah pembicaraan lo ini."

"Nggak punya hati emang." Dengus Haechan kembali menghempaskan punggungnya.

Neira hanya diam mengamati Haechan yang menggerutu. Sesekali menyugar rambutnya, seolah ia benar benar frustasi dengan apa yang dihadapinya saat ini.

Kali ini, Neira sungguh tidak paham arah pembicaraan Haechan. PDKT? Tidak ada sama sekali.

Maniknya kemudian beralih dari Haechan kearah sekumpulan orang yang berjarak sekitar dua meter darinya. Meja sebelah yang terang terangan mengamatinya.

Neira bahkan sempat menangkap jika mereka melihat penampilan Neira dari ujung kaki hingga kepala. Seolah menilai bagaimana tipe seorang Haechan Cakara Ganendra.

"Lo kan pdkt sama Mark"

"Barusan lo ngomong apa?" Telinga Neira sepertinya sedang tidak dalam keadaan optimal hingga kalimat Haechan terasa sangat menyeramkan. "Mulut lo keseleo apa gimana?"

"Suka kan lo sama Mark. Nggak usah malu malu singa deh, Nei"

Neira menarik napas panjang, terlalu lelah dengan pembahasan suka dan perasaan. Neira terlalu kalut. Tidak sepatutnya Neira menyimpan perasaan kepada seseorang yang memiliki hubungan lain.

Mark punya pacar dan Neira tidak ingin menghancurkan sebuah hubungan.

Meskipun Mark secara terang terangan mengungkap jika lelaki itu punya rasa, Neira harus tetap membiarkan dirinya memasang dinding kokoh.

Perselingkuhan terjadi karena kedua belah pihak berpartisipasi. Banyak kekasih diluaran sana yang menyalahkan si selingkuhan karena merebut sang kekasih. Nyatanya, keduanya bersalah. Mereka yang berselingkuh turut andil dalam membuat keputusan untuk menciptakan hubungan dalam hubungan.

Selingkuh artinya selingkuh. Tak ada pembelaan. Jika memang perasaaan tak lagi sama, setidaknya komunikasikan dengan pasangan. Cari jalan keluar, bukan cari orang lain.

Semenjak kejadian di warung pecel lele, Neira telah menetapkan untuk tidak membiarkan Mark meruntuhkan dinding yang ia bangun.

Memiliki perasaan berbalas tak menjadikan Neira senang. Ia takut suatu saat tidak lagi dapat mengendalikan perasaannya.

"Chan, urusan suka dan perasaan gue nggak usah lo campurin."

"Gue mau bantuin lo," Haechan kembali memajukan tubuhnya, sebelah tangannya disampirkan disebelah bibir berbisik "kalian berdua itu saling suka, langsung cus ajalah"

'tak'

Sebuah pulpen mendarat mulus di dahi Haechan. Pelakunya mendesah lelah, Haechan terlalu berambisi untuk menyatukannya dengan Mark.

"Lo kenapa sih, gigih banget jadi mak comblang?"

Sembari mengusap dahinya, Haechan menjawab "karena lo berdua tuh seakan ditakdirkan bersama gitu. Masa lo nggak sadar sih?!"

"Kayaknya lo kebanyakan nonton sinetron deh, Chan. Omongan lo udah macam dukun."

Haechan menyentak meja "Gue serius."

Neira mengikuti Haechan, bahkan perempuan itu menggunakan kedua tangannya menyentak meja "Gue lebih serius."

"Neira, gue tuh-"

"Kak, pesanannya salah meja" perempuan berambut sebahu menyela Haechan. Sebuah nampan diletakkan diantara kedua tangan Haechan dan Neira yang tadi saling menyentak meja.

"Oh iya, sorry."

Haechan mengambil alih nampan tersebut. Meletakkan sebuah gelas berisi cairan berwarna kuning dihadapannya. Embunnya yang menitik menandakan minuman itu telah lama tersaji. Berbanding terbalik dengan cangkir dihadapan Haechan yang mengepulkan asap. Tanda minuman itu baru diseduh.

Neira menarik napas panjang dan menghembuskannya secara kasar mengundang Haechan untuk menatapnya.

"Kenapa?"

Dia tanya kenapa? Oh Tuhan. Neira sungguh benci jika harus merasa terkucilkan hanya karena sebuah minuman.

Ya walau sangat jelas.

Neira menggeleng kecil, mengaduk jus jeruk yang tidak lagi terasa dingin itu.

"Makasih ya." Haechan melempar senyum

Dan tentu dibalas senyuman lebih lebar. Perempuan berambut sebahu itu menyelipkan rambutnya dibalik telinga. Salah tingkah? Mungkin saja.

"Sama sama kak" perempuan itu melirik Neira sebentar "Boleh minta nomor handphone nggak kak?"

Ah, Neira paham. Perempuan itu sedang mengujinya. Sayang sekali karena Neira tidak punya perasaan seperti yang dipikirkan perempuan itu.

Haechan menatap Neira seolah meminta pertolongan. Sedang yang ditatap hanya menyunggingkan senyum mengejek.

"Bentar" Neira menyela, menjulurkan telapak tangannya pada Haechan. Jelas lelaki itu tidak paham.

"Apa?"

"Kunci motor gue lah, yakali abis handphone motor gue mau lo sabotase juga."

"Lah terus gue pulang naik apa?"

"Lah, biasanya juga nebeng Mark 'kan? Yaudah nebeng lagi. Udah buruan, kasian tuh ada yang nungguin" singgung Neira hanya membuat Haechan mendengkus.

Setelah kunci berada di tangannya, Neira menepuk pundak Haechan, menyampaikan pesan yang membuat lelaki itu kembali mendengkus

"Urusan suka gue sama perasaan gue cuma gue yang tau dan atur. Jadi lo, jangan bikin anak orang nunggu, kasian tuh megangin pulpen yang nggak nyampe nyampe."

Neira melambai kecil lalu menurunkan lambaiannya saat akan keluar dari pintu. Haechan terlihat menuliskan sesuatu.

Ia berharap jika ini adalah terakhir kalinya seseorang ingin bercampur tangan perihal perasaannya

Karena perkara hatinya cukup menjadi rahasianya seorang.


...

EVANESCENT | ENDWhere stories live. Discover now