TWENTY SEVEN ✧ AFTERCARE

24.3K 598 48
                                    

Felix tersadar saat mendengar kalimat itu terlontar dari bibir Jessi. Ia kelewatan, ia terbakar api cemburu, ia bahkan tidak sadar bahwa ia telah menyakiti Jessi, menggigitnya tanpa henti sampai meninggalkan bekas dimana-mana.

Felix langsung melepaskan semua "aksesoris" yang menempel pada tubuh Jessi. Felix melepas nipple clamp yang sedari tadi menjepit puting Jessi, ia juga melepas choker serta blindfold yang dikenakan Jessi.

Jessi langsung terkulai lemas di atas ranjang, badannya tengkurap karena punggungnya masih terasa sedikit panas, matanya terpejam, napasnya terengah-engah setelah sedari tadi merasa tercekik oleh choker yang berkali-kali ditarik oleh Felix.

Felix membawakannya sebuah kom berisi air hangat serta waslap, ia membersihkan lelehan-lelehan lilin di punggung Jessi. Matanya yang dipenuhi rasa bersalah menatap wajah Jessi dalam-dalam, mata Jessi terpejam, namun lebam karena terus menerus mengeluarkan air mata.

"I'm sorry, Jess.. I'm so angry whenever i think about somebody else is touching you.. i can't stand it.. i don't like it.."

Jessi hanya diam, matanya masih terpejam, terlalu lelah untuk berbicara, terlalu lelah untuk membalas ucapan Felix, ia bahkan merasa terlalu lelah untuk berfikir. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Felix baru saja menyiksa nya, tapi Jessi sama sekali tidak membenci Felix. Jessi tidak pernah bisa membenci pria itu, pria yang sejak dulu menemaninya, yang menjadi satu-satunya orang yang mau mendekatinya ketika semua orang merasa Jessi terlalu kasar sehingga ia bahkan tidak memiliki teman saat pertama kali bertemu dengan Felix. Felix satu-satunya yang berani menjalin hubungan dengannya. Felix membuat Jessi menjadi lebih sering tertawa, Felix selalu ada untuknya, bahkan ketika ia sedang terpuruk saat kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat.

Jessi mungkin sudah gila, karena Felix disini melakukan hal sebaliknya. Felix yang dulu selalu melindunginya, kini menjadi orang yang paling sering menyakitinya, Felix yang dulu meredakan tangisnya, kini menjadi alasan tangisan itu.

Kenapa Jessi tidak bisa membenci Felix? kenapa Jessi bahkan tidak bisa marah pada Felix? walaupun terkadang Jessi ingin mencakar-cakar wajah menyebalkan itu, ia tidak membenci Felix. Ia hanya kesal. Ia tidak bisa membenci Felix, karena ia tidak bisa hidup tanpa Felix.

Kecupan di pelipisnya membuat mata Jessi terbuka. Felix memeluknya, berkali-kali mengucapkan kata maaf. Jessi tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang. Hati dan otaknya begitu rancu saat ini. Ia tidak mengerti emosinya sendiri. Perasaannya sama sekali tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sudahlah, ia tidak mau memikirkan apapun lagi. Ia lelah, ia hanya ingin istirahat sejenak, melupakan semuanya. Tidak sampai satu menit, Jessi sudah terlelap.

Felix menatap Jessi dengan tatapan kosong, ia menyesal, sungguh. Ia keterlaluan, ia menyadari hal itu. Harusnya ia tidak bertindak sejauh itu. Jessi masih begitu awam soal bdsm, semua itu masih terlalu berat untuknya. Candle play, edging, nipple clamp, Felix pasti sudah gila. Jessi tidak seperti mantannya yang sudah terbiasa dengan hal hal seperti itu.

Felix mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

'What have i done? idiot!'

Felix menjambak rambutnya sendiri frustasi, ia marah dengan dirinya sendiri. Tapi tidak, ia harus mengontrol emosinya. Ia tidak boleh marah, terkadang, ia merasa menjadi seperti orang lain ketika ia marah, ia tidak sadar apa yang sudah dilakukannya. Marah membuatnya ingin menyakiti orang lain. Selain hypersex dan dominant, Felix juga seorang sadisme. Hanya saja, selama ini ia menyembunyikannya dari Jessi, ia tidak mau membuat Jessi takut padanya, tapi ia mengacaukan semuanya saat ini. Jessi sudah pasti akan takut dengannya, setelah itu, ia akan menjaga jarak dari Felix.

DominantWhere stories live. Discover now