Melihat itu, Arsene tertegun. Seketika ia teringat pada masa lalu mereka yang sering melakukan tos saat berhasil melakukan sesuatu.

Kesadaran yang berhasil diraih Betari membuat ia merasa malu. Namun ia terlambat menarik lengannya lantaran Arsene sudah menyatukan telapak tangan mereka.

Satu detik dua detik.

Tangan mereka masih menempel di udara, sebelum kemudian Betari menarik tangannya dengan wajah merona.

Pria itu tersenyum tipis, tapi masih bisa di lihat oleh Betari. Antara malu dan kesal, Betari tidak tahu perasaan mana yang lebih mendominasi dirinya saat ini.

Dalam diam, ia mulai menyuapi Eki kembali. Setelah bubur habis setengah mangkuk, bocah itu mengeluh kenyang. Betari lalu menaruh mangkuk bubur di nakas sambil berpikir hal apa lagi yang harus ia lakukan disana dengan Arsene ada bersama mereka. Sebab, tidak mungkin ia mengusir pria itu keluar dari ruangan anaknya sendiri sekalipun keberadaan pria itu disana membuat ia tak nyaman.

"Aku akan memesan makanan, kamu ingin memakan apa?" tanya Arsene yang tiba-tiba sudah ada di belakang Betari.

"Uhm, nggak usah. Papa bilang pagi ini akan kesini menengok Eki dan mengantar sarapanku." Tanpa menoleh, Betari menolak dengan cepat.

"Mama sakit, jadi papamu tidak bisa kesini hari ini. Tadi Papa meneleponku untuk menyampaikan itu padamu, karena ponselmu tidak bisa di hubungi."

"M-mama sakit?"

"Ya sepertinya beliau kecapekan." Wajah Arsene terlihat muram ketika Betari menoleh kearahnya. "Padahal aku sudah menugaskan dua babysitter untuk menjaga Eki, tapi beliau menolaknya dan mengatakan ingin merawat Eki sendiri."

"Mama tentu sangat menyayangi Eki, mengingat Eki adalah anak dari Saira. Beliau pasti akan menjaga dan menyayangi Eki seperti ia merawat Saira selama ini." Betari menatap Eki dengan sendu, bocah itu sedang memainkan robot-robotan miliknya-tampak sehat dari sebelumnya seolah sakitnya kemarin tidak nyata.

"Ya, aku mengerti perasaan beliau. Tapi hal itu membahayakan kesehatannya. Dan jujur saja, aku mulai tak nyaman. Mama sangat berlebihan dalam merawat Eki. Dia seakan menganggapku tidak becus dalam merawat putraku sendiri," ungkapnya entah sadar atau tidak.

Penuturan Arsene serta wajah kesal yang terpeta membuat Betari tertegun. Ia tidak menduga jika di balik sikap diamnya, Arsene ternyata merasakan gejolak itu. "Mungkin itu hanya perasaan lo aja," sahut Betari singkat, berusaha terlihat tidak peduli.

Arsene mendengkus. "Yeah, I hope so," timpalnya tenang, berkebalikan dengan jemarinya yang saling mengepal disaku celana.

Di waktu yang sama, pintu ruangan terbuka lalu disusul oleh kemunculan Nida.

"Selamat pagi. Eki Sayang, lihat nih Tante bawa apa?" Senyum cerah wanita itu seketika lenyap begitu melihat keberadaan Betari di ruangan itu. "Elo? Ngapain lo disini?" sentaknya dengan nada ketus.

Betari menarik napasnya dengan panjang sebelum menghela dirinya menuju sofa-mengabaikan pertanyaan Nida yang dianggapnya tidak penting.

Melihat dirinya yang tidak diacuhkan, Nida pun terlihat kesal. Ia lalu mendekati Arsene dan tanpa sungkan merangkul lengan pria itu.

"Kok dia ada disini sih Sen?" rengek Nida seraya menunjuk Betari dengan dagunya. "Kamu nggak manggil dia kesini kan?"

Arsene melepaskan diri dari rangkulan Nida. "Papa yang meneleponnya," singkatnya, mengenyakkan diri di dekat sang putra dan mulai mengupas jeruk.

Nida berdecak. "Lalu kemana sekarang Om dan Tante?" Dengan raut kesal, Nida mengedarkan pandangan ke sudut ruang.

"Mama sakit, beliau tidak mengabarimu?" Kendati terlihat tidak peduli, Arsene masih tetap menjawab pertanyaan Nida.

Nida mendengkus keras. "Mana mungkin. Ini pasti rencana mereka untuk mendekatkan kalian," sungutnya sambil melemparkan sorot permusuhannya pada Betari.

Rupanya ucapan itu di dengar oleh Betari. Sejak awal ia tidak pernah benar-benar fokus dengan benda pipih di tangannya. "Sepertinya lo takut, peluang lo untuk menjadi Nyonya Bagaskara selanjutnya akan kembali tersingkir?" Sembari bersedekap, Betari menatap Nida geli.

Kata-kata Betari tersebut membuat Arsene menoleh kearahnya. Bukannya terkejut dengan fakta itu mengingat dirinya sejak dulu memang sudah mengetahui ketertarikan Nida padanya, justru Arsene lebih terkejut pada pengetahuan Betari tersebut.

"Ngomong apa lo barusan?" Nida menghambur kearah Betari dan menunjukkan telunjuknya ke wajah wanita itu.

"Cukup!" Arsene memperingatkan dengan tajam.

Betari tersenyum miring, ia lalu menurunkan jari Nida dari wajahnya. "Lo nggak perlu khawatir, karena urusan gue disini hanya menyangkut Eki. Selebihnya gue nggak punya niatan kayak lo yang baik-baikin anaknya karena mau sama bapaknya." Ia berdiri sambil memberikan tatapan dinginnya pada Nida. "Tapi inget kalau sampai nanti gue tahu lo menyia-nyiakan Eki, gue nggak akan tinggal diam."

Nida menengok kearah Arsene yang tengah memperhatikan namun diam saja, sorot matanya bahkan tidak terbaca olehnya.

"Jangan asal ngomong deh lo! Gue tulus sayang sama Eki, jadi mana mungkin gue seperti yang lo katakan tadi!"

Betari mengangkat bahunya, acuh. "Siapa tahu kan?" Ia lalu melewati Nida begitu saja, mendekat ke ranjang untuk berbicara kepada Eki yang masih sibuk dengan mainannya. "Eki, Amih pergi cari sarapan dulu ya? Eki, Amih tinggal nggak apa-apa kan?"

"Ya jelas nggak apa-apa lah, memangnya lo siapa?" Nida menimpali dengan tatapannya yang penuh cemooh.

Betari berusaha tenang dan tidak peduli, meski untuk sesaat raut wajah Betari terlihat kesal. Tapi kemarahan Betari seketika teralihkan ketika lengannya di pegangi oleh Eki.

"Dak au." Tidak mau.

Tbc

Tbc

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cerita ini Sudah tersedia versi lengkapnya dalam bentuk Ebook dan pdf serta tersedia jg di karyakarsa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cerita ini Sudah tersedia versi lengkapnya dalam bentuk Ebook dan pdf serta tersedia jg di karyakarsa

Kepingan RasaWhere stories live. Discover now