Part 17

9.2K 895 27
                                    

Betari yang berada dalam situasi terjepit hanya mengangguk, sampai kemudian Devon mengecup pipinya dan beranjak pergi. Tatapan Betari mengiringi kepergian Devon sampai pria itu tidak lagi terlihat.

Sementara di kursinya, Arsene memperhatikan Betari dengan hati tersayat. Ia kembali mengingatkan dirinya atas ketidakberhakannya untuk merasa cemburu. Disaat yang sama gawainya berdering sebagai tanda adanya panggilan yang masuk.

Suara berisik dering ponsel membuat Betari menoleh dan mendapati Arsene yang sedang menerima panggilan dengan kesedihan yang terpeta di wajahnya.

"Sepertinya keinginanmu untuk tidak makan semeja berdua denganku terkabul." Arsene bergumam setelah mengakhiri sambungannya. "Aku harus kembali ke Jakarta secepatnya," lanjutnya ketika Betari menatapnya heran. "Ku pikir kamu juga nggak keberatan kan kalau pulang sendiri." Arsene berdiri lalu meraih jas kerjanya dan mulai memakainya. Tanpa kata ia menghelakan langkah kakinya, meninggalkan Betari.

"Arsene ada apa?"

Pertanyaan Betari membuat langkah kaki Arsene terhenti ketika ia baru saja melewati kursinya. Sungguh, Kekhawatiran yang tergambar di wajah Arsene membuat Betari tak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Putraku demam tinggi dan hari ini mereka membawanya ke rumah sakit."

Mata Betari membelalak, ia berdiri dari kursinya hanya untuk menghadap ke pria itu. "D-demam? Sejak kapan? Lalu kenapa lo ada disini?"

Arsene menarik napasnya kasar, berusaha mengontrol kesal yang mendominasi. "Tadi pagi masih tidak apa-apa saat ku tinggalkan. Sudah cukup dengan jawabanku? Apa kamu juga ingin mengatakan bahwa aku ayah yang buruk?"

Betari mengerjap, ia tahu Arsene pasti tersinggung atas pertanyaannya. Padahal ia hanya terkejut dengan kabar itu. "G-gue nggak mengatakan itu."

Arsene mendengkus sebelum berbalik. Dan saat pria itu kembali melangkah, Betari mendengarnya mengatakan, "Tapi itu yang ku tangkap dari ucapanmu."

***

Kabar yang di dapatnya kemarin sore masih membuat Betari kepikiran. Ia bahkan sampai harus menelepon sang papa hanya untuk memastikan kondisi Eki disana. Dan memang benar, saat ini Eki tengah di rawat di rumah sakit lantaran demam tinggi. Sesungguhnya Betari ingin menjenguk keponakannya itu, tapi ia berpikir bahwa mungkin kedatangannya tidak diinginkan oleh Arsene disana mengingat Arsene pernah memintanya untuk tidak mempedulikan Eki.

Gejolak itu membuat Betari banyak melamun di tempat kerja. Ia benar-benar mencemaskan keadaan Eki tapi ia tidak mungkin pergi ke Jakarta untuk menemui bocah itu disaat ayah si bocah pernah mengusirnya.

Betari yang kala itu baru saja kembali dari makan siang, tidak begitu memperhatikan jalannya. Lamunannya yang tak ingat waktu dan tempat membuat Betari tanpa sengaja menabrak seseorang.

Brukk.

Betari terjatuh tepat di depan pintu masuk gedung. Sebuah tas branded dengan harga melebihi harga mobilnya ikut jatuh di sebelahnya. Detik itu juga Betari mendongak, mendapati wanita paruh baya dengan tampilan kebaya moderen tengah menatap dirinya dengan kesal.

"Kamu?" ucap ibu Devon. Ya, wanita paruh baya itu adalah ibu Devon, kekasihnya.

Secepatnya Betari berdiri usai mengambil tas itu lebih dulu yang kemudian di ulurkannya kepada wanita di hadapannya itu.

"Tante, apa kabar?" tanya Betari, mencoba untuk ramah meski hal yang sama tidak ia dapatkan dari ibu kekasihnya itu.

Tanpa menjawab, wanita paruh baya itu lalu merenggut tas miliknya dan mulai menepuk-nepuk tas itu seakan ada kotoran yang menempel sebelum meninggalkan Betari begitu saja, seolah tidak peduli sikapnya akan menyakiti Betari atau tidak.

Kepingan RasaWhere stories live. Discover now