Part 19

13.6K 883 11
                                    

'Dev, aku udah sampe. Maaf baru mengabarimu skrg.'

Ketiknya, pada papan chatnya dengan Devon. Ceklis dua menjadi pertanda bahwa pesannya sudah dikirim namun belum di baca oleh pria itu, mengingat Devon bukanlah tipe orang yang menyembunyikan tanda pesan yang sudah di bacanya. Malam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, bisa jadi sekarang Devon sudah tidur. Tapi pria itu terbiasa meneleponnya sebelum tidur, jadi wajar bukan jika Betari merasa resah?

***

Betari membuka matanya ketika kepalanya yang menelungkup ditepi ranjang di rangkul oleh sepasang lengan mungil.

"Amih, angun."

Suara itu seketika berhasil mengumpulkan fokus Betari. Dibangunkan dari tidur lelapnya yang hanya beberapa jam saja membuat Betari kesulitan mencerna situasi disekitarnya begitu ia bangun. Eki dan aroma obat yang menguar di dalam ruangan menyadarkan Betari pada keberadaannya. Sesegera mungkin ia mengangkat kepalanya, lalu mendapati Eki yang kini tengah duduk bersandar pada tumpukan bantal yang di susun rapih di belakang tubuhnya. Geser sedikit, mata Betari menangkap sosok Arsene yang kini duduk di tepi lain ranjang dengan memakai setelan kaos dan celana jeans panjang. Pria itu menatapnya datar.

Ketika Betari beranjak bangun, ia merasakan sebuah kain melorot dari tubuhnya sebelum teronggok di lantai ruangan. Betari reflek menoleh dan tercenung kemudian begitu menemukan selimut yang semalam ia pakai untuk menyelimuti tubuh Arsene ternyata sudah berpindah menyelimutinya. Ia menebak jika Arsenelah yang memberinya selimut semalam ketika ia terlelap.

Seakan sudah tahu apa yang ada di pikiran Betari, Arsene buru-buru memalingkan wajahnya begitu Betari melihat kearahnya.

"Amih, Eki yapey."

Tak butuh waktu lama bagi Betari untuk memahami maksud bocah itu.

"Kamu mandi saja dulu, biar Eki aku yang menyuapi." Dengan cepat Arsene menyela, bahkan sebelum Betari mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.

Betari langsung memeriksa arloji di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Di koridor luar juga mulai terdengar suara orang-orang yang mulai beraktifitas seperti mengobrol dan suara troli yang di seret oleh petugas kebersihan.

Tak ingin terlibat percakapan dengan Arsene, Betari hanya mengusap kepala Eki untuk kemudian menuju toilet dengan membawa perlengkapan mandinya.

Selesai ia mandi. Betari mendekati ayah dan anak itu kembali. Keningnya mengernyit ketika menemukan makanan Eki masih utuh seperti sebelum ia pergi mandi.

"Loh kok makanannya belum dimakan, katanya laper?" tanya Betari seraya menyentuh wajah keponakannya itu.

Eki menggeleng dengan bibir ditekuk. Mirip sekali seperti Arsene kalau mengambek. Dalam hati Betari ingin tertawa, tapi ia menjaga sikapnya.

"Kenapa?"

"Nda ena."

"Udah Papi bilangin kalau lagi sakit makanan memang jadi nggak enak. Makanya biar cepet sembuh Eki harus banyak makan." Arsene menimbrung.

Betari tersenyum lembut. "Bener kata Papi, kalau Eki mau sembuh Eki harus banyak makan. Sekarang Amih suapin ya?" Ia lalu meraih mangkuk bubur dari tangan Arsene.

Eki terlihat berpikir, mata polosnya menatap Betari dan Arsene bergantian hingga akhirnya tatapan lembut Betari membuat bocah itu mengangguk setuju.

Betari tersenyum senang, lalu mulai menyuapkan bubur ke mulut Eki yang menganga lebar. Ketika satu sendok berhasil masuk ke mulut bocah itu, Betari langsung menoleh ke Arsene dan dengan reflek tangannya mengajak pria itu untuk melakukan tos.

Kepingan RasaWhere stories live. Discover now