Eᴘɪʟᴏɢ

1.1K 74 11
                                    

Sandy mendudukkan dirinya dengan tatapan yang sangat sulit di artikan. Sedangkan sang Papa melihatnya penuh kasih sayang, “kau tak perlu menyesal. Tetap jadi anak baik untuk semua orang.”

“Apa dengan jadi anak baik aku akan mendapatkan semuanya,” kata Sandy yang mengukir senyuman.

“Setidaknya ketika kau menjadi anak yang baik, membantu semua orang dan ketika mereka mengucapkan ‘terimakasih’ kau akan merasakan hatimu menghangat.”

Mungkin Sandy harus mencoba, rasanya setelah membuat Talita celaka kemudian mendapatkan kabar duka atas kematian Tirta. Entah kenapa rasanya menyakitkan apakah ini semua benar-benar kesalahan atas dosa besar yang dirinya lakukan. Sandy harus menerima semuanya, sang Papa mengorbankan dirinya mendekam di penjara dalam waktu lama. Demi sang putra, demi masa depan putra bungsu satu–satunya.

“Seharusnya Papa biarkan aku mendekam di penjara remaja waktu itu,” lirihnya penuh penyesalan.

“Umurmu masih sangat belia, Sandy. Ini salah Papa biarkan Papa menanggung semuanya kau harus tetap jadi anak baik apa pun alasannya.”

──────── (´A`。 ────────

“Apa—selama ini bang Tirta udah hidup dengan baik, rasanya singkat banget.” Dirga terkekeh hambar setelah berkata demikian.

Sedangkan Ikmal hanya mengukir senyuman ala kadarnya. Ia tak tahu harus menjawab apa kenapa mereka menanyakan keadaan Tirta, bukankah sebelum sahabatnya tiada Tirta sudah lama tak baik–baik saja.

“Mungkin gue harus berbohong. Kalau semisalnya dia udah hidup dengan baik tapi soal kejujuran gue bakalan bilang hidup Tirta berantakan, enggak ada yang bener selain kehancuran, selain harapan yang sering kali dipatahkan.”

Dirga terdiam sembari menghapus air matanya yang tanpa sadar luluh begitu saja. Sedangkan Ikmal merasa lega karena sudah berkata sesuai keinginannya, meski itu permintaan terakhir Tirta. Ia tidak akan pernah bisa melakukan semuanya.

“Padahal. Gue pikir bang Tirta orang kuat, rupanya gue salah besar. Berarti selama ini kehidupan bang Tirta berantakan, harapannya terpatahkan bukan karena keadaan tapi karena ucapan Papa,” ujarnya dengan nada yang terdengar parau.

“Kalau begitu lo harus hidup dengan baik, seengaknya kehidupan lo enggak sehancur kayak Tirta.”

──────── (´A`。 ────────

Raka masih mengingat memori menyakitkan ketika dirinya harus mengantarkan putra sulungnya ke tempat peristirahatan abadi. Dikebumikan hingga merasakan sakitnya penyesalan karena sempat mengabaikan, Tirta si pemilik binar indah itu telah tiada.

Hanya tersisah nama dan kenangan yang tak begitu indahnya. Raka seakan tak berdaya apabila harus mengingat kematian Tirta, terbaring penuh keputusasaan tanpa merintih kesakitan.

“Kematianmu begitu tiba-tiba, Nak. Papa pikir semuanya bisa membaik rupanya enggak semudah itu. Ini bukan salah Pamanmu bukan juga salahmu karena sudah terlahir menjadi putra—nya Papa. Karena bagi Papa kamu itu anugrah yang luar bisa meski sesingkat ini jadinya, Papa minta maaf.”

Air matanya tumpah menjadi hujan sembari mengusap pahatan sempurna wajah putranya pada potret beku sebagai kenangan. Tirta tidak akan pernah kembali semuanya sudah menjadi takdir yang tak perlu di sesali, “seharusnya Papa hargai sedikit aja usaha bang Tirta. Pasti bang Tirta punya kenangan semasa hidupnya padahal hidup seseorang itu cuma di jamin sekali. Tapi, Papa malah ngebiarin abang hidup begini.” Dirga berkata tiba-tiba tanpa memikirkan perasaan Raka.

Baginya itu memang pantas untuk Raka terima kepergian Tirta yang tak terduga. Juga sebuah fakta yang menelak habis perasannya, Tirta terlahir karena sebuah ketidakinginan. Seolah-olah ia harus melakukan banyak hal yang membanggakan guna membalas semua jasa Raka.

“Dirga, apa kamu membenci Papa atas kematian Tirta?”

“Jujur. Aku hanya kecewa, bang Tirta nyuruh Bang Ikmal buat bilang kalau hidupnya baik–baik saja. Tapi kenyataannya enggak kayak gitu Papa tahu, kan? Tanpa aku jelaskan. Bang Tirta sering dipatahkan karena ucapan Papa seharusnya—lupakan,” frasa itu sengaja Dirga tahan air matanya terus saja keluar karena tak bisa di tahan. “Seharusnya—Papa kasih kebahagiaan buat Abang kalau Papa tahu kehidupan manusia itu cuma sebentar!”

“Maafkan, Papa. Maafkan atas kesalahan Papa, kalau seperti itu Papa harap kamu baik–baik aja.”

“Kenapa Papa baru nyesal, sih?!”

Seseorang yang sering dipatahkan, seseorang yang selalu diam apabila mendapatkan sebuah pukulan maupun perkataan yang menyakitkan. Selama ini mereka kira Tirta baik–baik saja rupanya ia sudah lama terluka.

Sangking keseringan terluka sehingga membuatnya terbiasa. Hingga pada akhirnya, akhir kematian menjemputnya begitu cepat. Tidak salah apabila Ikmal mengucapkan selamat tinggal karena Tirta memang menginginkan kehidupannya berakhir sampai sini saja.

Sebagai orang tua pada dasarnya tak harus membebankan, dan membuat se–orang anak merasakan sebuah tekanan. Mereka seolah-olah punya hutang yang harus dibayar sedangkan kelahirannya saja mereka tak pernah meminta.

Hidup sebentar saja sudah membuat Tirta bahagia, setidaknya ia sempat melihat indahnya dunia yang penuh fana. Raka sadar kehilangan Tirta sungguh menyakitkan ia hidup dengan penuh penyesalan, dan ia harap semua orang tua di luar sana tidak merasakan hal yang sama seperti dirinya.

Seperti mematahkan harapan seorang anak contohnya.

END

Typo, abaikan. Aku harap ini jadi akhir memuaskan buat kalian, meski pun sebentar namanya juga judulnya ‘Patah’ aku juga cuma bisa ngetik segini aja. Sampai jumpa, salam pertemuan!

— Minggu, 27, Februari, 2022 —

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now