Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 14

473 69 14
                                    

Mungkin kehidupan selalu punya kejutan dan terkadang manusia hanya bisa menjalankan. Kematian Sanda terlalu tiba-tiba. Tirta percaya bila ia adalah penyebab satu–satunya orang yang telah membunuhnya. Biar pun tanpa di sengaja nyawanya telah hilang karena dirinya.

Tirta yakin balasan setimpal ialah kematian akan tetapi rasanya tidak adil jika ia memutuskan untuk bunuh diri seperti kemarin. Setidaknya ia harus menderita dengan rasa sakit yang ada, hingga ia dapat merasakan sakitnya seperti apa. Waktu telah menghilangkan semua segenap luka perlahan mulai menghilang dan tersamarkan.

Kali ini semuanya benar-benar amat melegakan akan tetapi Tirta masih terjebak di dalam impian dan juga kesalahan. Ia mengganggap kematian Sanda merupakan kesalahannya, “aku minta maaf.”

“Tangannya dingin banget. Tirta bangun, Nak. Mana yang sakit bilang sama Mama kita ke rumah sakit, ya.”

Dita khawatir luar biasa sudah beberapa hari ini Tirta mengurung diri di kamarnya. Ketika Dita memutuskan untuk ke kamar sang putra betapa terkejutnya ia yang mendapati Tirta dalam keadaan yang memilukan, kedua tangannya terkepal dengan keringat dingin bercucuran, bibirnya pucat serta wajah yang berantakan. Sekilas nampak penuh keputusasaan dalam hidupnya sekarang.

Tidak ada frasa yang Tirta ucapkan senantiasa mengepalkan kedua tangannya kuat–kuat. Seakan-akan sedang menahan amarah yang hebat, sejauh ini yang Dita tahu Tirta anak yang kuat rupanya ia sudah salah menduga. Jiwanya sudah mati rasa Tirta sudah hancur sepenuhnya.

“Tirta,” lirihnya.

Tatapannya mulai diarahkan Tirta menatap penuh kesayupan dan juga penuh keputusasaan, “aku pengin marah, pengin mati tapi—aku beneran enggak bisa. Segala cara pun udah aku coba hasilnya enggak ada apa-apa. Biarpun aku udah menggores tanganku sendiri beberapa kali hari ini.”

Wanita setengah muda itu terkejut ia langsung memegang pergelangan tangan. Dan benar ada luka sayatan yang terbuka lebar di sana. Dita menatap Tirta putra tirinya yang hanya diam saja dengan pandangan kosong entah kemana, Dita pun merengkuh dingin tubuhnya mencoba membagi hangat untuk Tirta supaya putranya dapat merasakan hangat darinya.

“Aku berharap aku mati.”

“Tetaplah hidup, Nak. Dunia ini terlalu indah buat kamu tinggalkan.”

Kemudian terdengar lah kekehan di barengi dengan batuk menyakitkan. Tirta ingin membalas ucapan Dita bahwasanya dunia ini tidak seindah apa katanya—karena bagi Argantara Tirta Bahasa dunia itu selayaknya neraka. Dita merasakan pelukannya memberat berusaha memanggil namanya untuk memastikan bila Tirta tidak kenapa–kenapa.

Namun, matanya sudah tertutup rapat. Tirta kehilangan kesadaran dipelukan Dita wanita berjiwa malaikat tanpa sayap yang selama ini ada untuknya.

──────── (´A`。 ────────

“Kamu beneran enggak bisa kemari, Pa. Tirta lagi enggak baik–baik aja tadi keadannya juga enggak memungkinkan. Seengaknya datang sebentar Tirta butuh kamu.”

Terdengar helaan napas kasar di ujung sana Dita berusaha membujuk Raka supaya pria baya itu datang untuk membuat Tirta baik–baik saja. Akan tetapi balasan suaminya sama sekali tak membuatnya lega malah berakhir sia–sia, “sekarang pekerjaan Papa beneran enggak bisa ditinggalkan, Ma. Apalagi besok harus keluar kota Papa beneran enggak bisa pulang buat ngelihat keadaan dia.”

“Tirta itu anak kamu, Pa!” Dita tak dapat menahan amarahnya. Raka sudah keterlaluan ia mementingkan perusahaan dan juga pekerjaan di bandingkan keadaan Tirta sekarang. “Apa salahnya datang sebentar. Ngelihat keadannya saja ngebuat aku ngerasa enggak tega. Dokter bilang anakmu itu depres depresi dan Tirta juga sudah mencoba keinginannya, yaitu bunuh diri. Depresi kali ini justru ngebuat dia yang tanpa sadar menggoreskan pisau pada pergelangan tangan dekat nadinya.”

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Donde viven las historias. Descúbrelo ahora