Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 18

679 61 35
                                    

Soal kehilangan merupakan peristiwa yang paling menyakitkan bagi semua orang selama mereka menempuh sebuah perjalanan kehidupan. Dan terkadang kehilangan pun memerlukan beberapa waktu supaya kesedihan tak lagi berkepanjangan, Tirta duduk sendirian di kursi panjang dekat halaman depan. Ia banyak diam dan memilih mengasingkan diri dari kerumunan.

Kehilangan sungguh menyakitkan nyatanya setelah kehilangan Tania di susul dengan kematian Sanda, kemudian Talita pun ikut tiada. Rasanya seperti bualan semata ia tak bisa menerima bila ini semua benar-benar nyata tanpa sedikit pun rekayasa. Mau bagaimana lagi mereka hanyalah sebuah titipan yang pastinya akan kembali kepada sang pencipta, sekali lagi. Tirta harus menerima meski sesakit ini jadinya.

“Gue dapet laporan dari pihak kepolisian siang ini, bang. Katanya mereka nutup kasus atas kematian Kak Talita mereka bilang Kak Talita bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian, semua orang bilang ini masuk akal. Lo tahu sendirian, kan. Kehidupan Kak Talita yang cuma tinggal sama ibuny—”

“Dengan begitu lo bisa percaya begitu aja, Ga. Lo enggak ada bedanya sama orang-orang punya pemikiran dangkal. Sehancur apa pun kehidupan Talita selama gue kenal dia, Talita bukan gadis yang mudah mengambil keputusan. Gue tahu Talita, gue tahu juga kehidupan dia!”

Dirga menghela napas sejenak. Ia mendekat kemudian mendudukkan diri di sebelah Tirta, dan menepuk pundaknya sekali saja. “Lo cuma tahu luarnya aja, bang. Bisa jadi,kan. Kak Talita punya rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan, punya topeng sempurna sampai lo ngira kalau dia baik–baik aja.”

Kedua tangannya terkepal, ia tak pernah menyangka bila Dirga akan mengatakan hal seperti ini di depannya. Tirta mengigit bawah bibirnya kuat–kuat menjadikan pelampiasan sebelum memberi balasan, atas ucapan Dirga barusan.

“Biar pun kasus ini di tutup sebegitu mudahnya, biar pun orang-orang menyimpulkan Talita mati dengan cara bunuh diri. Gue bakalan jadi orang pertama yang bersikeras menolak semua ungkapan kalian! Talita enggak mungkin bunuh diri. Tepat di hari dia merasakan kebahagiaan lo enggak akan tahu, Ga. Enggak akan pernah tahu lo cuma tahu namanya bukan kehidupannya.”

“Dan lo pun juga cuma tahu kehidupan dia tapi enggak tahu sama semuanya, bang. Gue mohon tolong lupakan Kak Talita, setidaknya demi kesehatan lo, demi Mama dan Papa.” Intonasi nada bicara Dirga semakin merendah. Adiknya telah meneteskan air mata akan tetapi Tirta tetap bersikeras menerima apa yang sudah Dirga ucapkan.

Baginya itu sangat keterlaluan, semua orang melabeli kematian Talita sebagai percobaan bunuh diri. Lalu gadis malang itu benar-benar mati.

──────── (´A`。 ────────

Tirta melangkahkan kakinya perlahan penuh kelesuan dan keputusasaan, sembari membawa sebuket bunga seadanya. Ia harus menjenguk Ikmal anak itu mengalami kecelakaan bertepatan di mana Talita meninggal, sahabatnya sempat tak bisa berbicara karena sangking terkejutnya. Ikmal mendapatkan berbagai luka pukulan, apa mungkin anak itu sempat melakukan tawuran atau mungkin mendapatkan sebuah tindak kejahatan yang sengaja.

Tiga hari Ikmal di rawat di rumah sakit dan sudah tiga hari Tirta belum menjenguk sahabatnya. Ikmal sempat menghubunginya berkali-kali akan tetapi ia sengaja mengabaikannya, ia pikir Ikmal baik–baik saja rupanya anak itu membutuhkan pertolongan. Ia menyesal dan ia mengakui bila ini merupakan kesalahan.

Menghela napas panjang sebelum membuka pintu ruangan, ada gejolak rasa penuh sesal dan penuh keraguan. Ia akhirnya memaksakan diri untuk masuk segera terlihat Ikmal yang berbaring di atas brankar anak itu sempat menoleh ke arahnya, akan tetapi itu pun tak beransur lama. Ikmal mendiamkannya bahkan berkata dengan nada yang cukup kasar nan menyakitkan.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now