Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 1

2.2K 167 16
                                    

Prihal kehidupan yang tidak mungkin begitu mudah mereka perlihatkan atau pun sekedar dijelaskan. Karena sejatinya prihal kehidupan bagi setiap orang itu berbeda-beda dan tidak sama dengan apa yang nantinya akan dijelaskan mereka, prihal kehidupan bagi Argantara Tirta Bahasa ialah sebuah awal kehancuran ketika ia mampu bertahan sampai sekarang.

Sekuat apa pun pertahanan yang dirinya dirikan tidak sekuat dengan apa yang sudah diharapkan. Tirta akan hancur bersama keping–kepingan sebuah bangunan yang sudah susah–susah dirinya tegakkan, setiap kesalahan selalu Raka tunjukkan untuknya seorang. Tanpa alasan dan juga kepercayaan meski Tirta hanya melakukan satu kesalahan saja, maka Raka akan terus menyalahkannya.

Cuih!

Tirta membuang ludahnya asal ketika rasa anyir dari sudut bibirnya terluka, ia juga tidak bisa menghindari pukulan ketika seseorang langsung memukul brutal rahangnya. Di tengah-tengah perkelahian banyak sekali anak–anak yang berseragam sekolah yang berbeda darinya, karena lagi dan lagi. Tirta mengikuti tawuran yang di mana melibatkan ia dan teman-temannya ada di sana.

Bukan tempat sepi melainkan di tempat yang ramai banyak sekali pengemudi kendaraan yang berakhir meluapkan amarahnya. Akan tetapi mereka tidak mendengarkan, mereka malah tetap melanjutkan saling baku hantam terhadap sang lawan.

Hingga pada akhirnya polisi datang melerai antar sekolah yang melibatkan pelajar ikut bertawuran. Tirta terjatuh begitu saja bahkan di saat itu juga sang lawannya tetap menarik kerah kemejanya kuat–kuat. Sesekali Tirta mengerjapkan mata karena penglihatannya yang tidak jelas.

“Lo bisa lolos untuk sekarang, Ta. Tapi enggak buat besok–besoknya gue belum puas ngasih pelajaran sama ketua geng abal–abalan kayak lo contohnya!”

Setelah berkata demikian di depan wajah Tirta, cowok itu langsung pergi segera. Lalu setelahnya juga Ikmal sahabatnya—Tirta membantunya untuk berdiri dan lari dari sini. “Ta, lo enggak kenapa–napa, ‘kan? Sudut bibir lo bedarah itu.”

Tirta menggelengkan kepalanya pelan dan mengukir senyuman meski sensasi perih menjalar karena luka di sudut bibirnya begitu lebar. Tirta juga menyandarkan punggung rapuhnya di pohon rindang karena keduanya tadi sempat berhasil kabur dari kejaran tim kepolisian, mungkin mereka akan selamat tanpa melibatkan banyak masalah lagi.

“Enggak habis pikir sama tuh ketua geng sebelah bisa–bisanya nyuruh kita tawuran padahal nilai gue aja baru anjlok kemarin. Mudah-mudahan aja nih, Ta. Gue berharap banget sama Yang—Maha Kuasa supaya nyokap, bokapnya gue enggak tahu kalau anaknya tawuran hari ini.” Ikmal terus saja mengoceh panjang dan lebar.

Akan tetapi Tirta tidak menanggapinya dia hanya diam saja dan enggan berbicara lagi pula tidak ada yang penting. Ia masih kalut akan perkataan Sandy—ketua geng yang di maksud Ikmal. Cowok itu terbilang keras kepada sang lawan yang menurutnya sangat mengesalkan. Padahal Tirta tidak berniat untuk ikut bertawuran jika saja Sandy tidak memberikannya ancaman.

“Ta, lo dengar gue ‘kan?! ” Ikmal meninggikan nada bicaranya dan juga memukul bahu sahabatnya. Dengan tatapan yang sulit sekali di artikan, Tirta berujar demikian. “Kalau aja tadi Sandy enggak ngajakin kita tawuran pasti semua masalah enggak akan bertumpuk jadi segudang.”

“Ta,” lirihnya.

“Enggak papa, Mal. Gue bisa pulang ke rumah Mbak Sandra kalau semisalnya Papa tahu kalau gue enggak menempati janji buat enggak ikut tawuran lagi.” Tirta mengukir senyuman lagi dan lagi membuat Ikmal merasa tidak tenang, sahabatnya selalu demikian.

Tetapi Ikmal paham bahwasanya Tirta bukanlah seseorang yang pandai mengatakan jika dirinya baik–baik saja. Tirta itu makhluk polos yang senantiasa berkata jujur apapun keadaannya.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now