Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 8

476 65 13
                                    

“Ngapain, Ta.” Cegah Ikmal yang langsung menggenggam pergelangan tangan. Menghentikan niat Tirta barusan dan membuatnya menatap dengan sebuah senyuman.

Masih menunggu jawaban dari keheningan yang tercipta secara tiba-tiba. Ikmal senantiasa menatap lekat pada binar sahabatnya yang tak lagi sama, di sana. Tirta punya embun di kedua mata yang telah kehilangan sinarnya. Percuma saja Tirta bukan lagi dirinya binar indah pada kedua mata kini hilang sepenuhnya.

“Gue enggak bisa lama–lama di sini, Mal. Takutnya nyusahin Buna sama Ayah lagian gue juga udah enggak kenapa–kenapa. Gue masih punya orang tua,” kata Tirta setelahnya yang langsung di angguki mantap oleh Ikmal.

Namun, Ikmal baru sadar bila Tirta hendak keluar kamar kemudian meninggalkan rumahnya yang penuh akan kenyamanan nan kebahagiaan. Berpindah pada rumahnya sendiri bak neraka Jahannam, Ikmal tidak ingin bila nantinya Tirta kembali kesakitan. Tentang keadaannya saja yang belum pulih keseluruhan. “Tirta! Buna masih pulangnya lama dan ... apa salahnya tunggu Buna pulang. Gue cuma takut Buna jadi khawatir sama keadaan lo yang bahkan belum sepenuhnya baikan.”

Tirta mendekati Ikmal menepuk pundak lebar sahabatnya penuh kelembutan. Dan berusaha menyakinkan bila dirinya baik-baik saja, ia tidak ingin berlama-lama biar bagaimana pun juga. Ikmal hanya sebatas sahabatnya tidak lebih dari segalanya.

“Bilang aja sama Buna, gue udah baik-baik aja. Makasih atas semuanya karena udah mau nampung gue kayak gini, rasanya gue malu sendiri.” Tirta terkekeh hambar menatap Ikmal yang nyatanya menyimpan kekesalan.

Jujur saja Ikmal tidak ingin sendirian. Kehadiran Tirta di rumahnya sungguh membuatnya merasa bahagia, seperti indahnya surga dunia. Namun bila ini sudah keputusan Tirta bagaimana mungkin Ikmal menahannya. Dengan helaan napas yang sengaja di tarik kasar dan menggenggam jemari Tirta kencang meski sedikit kegelian.

“Masih inget, 'kan. Apa kata dokter lo butuh pemulihan selama seminggu tulang rusuk lo itu—”

“Yang ngrasain itu gue, Mal. Sekarang udah enggak sakit lagi kayak pertama kali gue bangun dari pingsan, lebay banget cuma ketimpa barang langsung beginian. Sumpah, ya. Malu gue sama otot sendiri.” Lagi dan lagi Tirta terkekeh di ujung frasanya ia juga tak henti-hentinya berusaha membuat Ikmal tak lagi mengkhawatirkannya.

Terdiam sejenak karena Ikmal masih sama tetap bersikeras menahannya. Tirta tahu bagaimana perasaan sahabatnya, akan tetapi bagaimana pun juga ia masih punya rumah untuknya berpulang.

“Ya udah. Lo boleh pulang tapi gue yang ngantar!”

──────── ('A`。 ────────

Sudah lama sekali Tirta tidak memasuki kamarnya. Sebenarnya ia rindu nuansa abu-abu dekat dindingnya menciptakan kehangatan meski terkadang tidak berakhir demikian, kamarnya tidak berantakan. Seperti apa yang sempat Tirta bayangkan ia yakin bila Dita yang selama ini membersihkan kamar. Bahkan wanita itu langsung menyambut kepulangan ketika dirinya baru saja memasuki halaman depan.

Setelah masuk ke dalam kamar dan di bantu dengan Ikmal meletakkan barang bawaan. Tirta tidak berpikir lama-lama langsung merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang, sembari memijat hidungnya yang terasa pegal. Ada Talita yang juga ikut bersama mereka gadis itu bersikeras menolak bujukan Ikmal, yang katanya tidak akan membawanya ke rumahnya tetapi di ganti untuk berkeliling kota. Usai mengantarkan Tirta sampai ke rumahnya.

Gadis itu mengikuti Dita membantu wanita baya yang seharusnya di panggil dengan sebutan Mama oleh Tirta. Membantunya membuatkan makanan serta minuman untuk Tirta dan juga Ikmal, Talita sudah begitu lihai ia melakukan dengan ketelatenan dan membawakan semangkuk soto ayam kesukaan Tirta.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now