Story #2

185 35 5
                                    

Kenma terdiam. Betapa banyak beban dihati gadis ini, dia tak ingin menoleh ke samping. Dia tak bisa menatap mata [Name]. Dia tahu, apa yang dikatakan [Name] benar. Dia pasti menjadi orang gila saat hujan. Gadis itu Trauma.

"Bila ayahku gila, ibuku lebih lagi. Dia sudah jatuh cinta pada uang ayahku. Dia tetap memilih tinggal disana dan menjadikan aku sebagai alasannya. Nanti [Name] merasa sedih karena ayah ibunya berpisah. Kira-kira begitulah. Menjijikkan." [Name] menatap lantai.

Kenma terhenyak. Sekarang dia tahu, mengapa gadis ini seakan-akan bahagia bisa segera pergi. Dia pasti merasa bahwa dia penghalang bagi kebaikan bersama. Dia dijadikan alasan oleh orang tua yang egois, gadis kuat ini.

"Waktu aku kalau... Aku kena kanker otak, rasanya mungkin aku senang? Aku ngga merasa sedih sama sekali. Aku... Bingung bagaimana aku harus bersedih. Ibuku tidak tahu tentang penyakit ini. Ayahku tidak memaksaku mengambil pengobatan. Aku tidak ingin hidup lama." [Name] menangis dengan tenang. Nada bicaranya bahkan tak terganggu sama sekali.

Kenma merangkul bahu [Name] lalu menunjuk langit malam Tokyo didepan. [Name] ikut menatapi langit itu.

"BAM"

Setelah satu kembang api itu meluncur di langit, suara gemuruh mulai berdatangan. Langit dipenuhi dengan kembang api yang indah. Ini puncak festival musim panas.

"Cantik ya." Ungkap [Name] menoleh menatap Kenma. Kenma terkejut melihat darah yang mengering di sekitaran bawah hidung [Name].

"Ehem." Kenma berdiri kemudian berjalan masuk ke kamar [Name]. Dia mengambil tisue beberapa helai lalu membasahinya dengan air minum. Dia kembali lalu mengusap wajah [Name] dengan tisue itu.

"Jangan jorok." Ucapnya setelah membersihkan bercak darah di wajah [Name].

"Okeh." [Name] memberikan jari jempolnya.

"Lanjut." Suruh Kenma menatapi wajah [Name] sambil memangku tangannya. Dagunya diletakkan di atas jari-jari lentik itu.

"Aku juga pernah bikin orang masuk rumah sakit. Ahahaha. Jadi ya-"

~

"Cewek sialan itu bikin gue dibentak sama Nando anj*ng." Gadis itu terus mengumpat sambil menyesap rokok yang bertaut di antara jarinya.

"Hahaha... Maklum lah, kan kita udah tau dia cewek kegatelan."

"Kayak emaknya."

"Haha. Kan bapaknya juga ogah lagi sama emaknya. Udah matre, sering selingkuh. Wajarlah kalo bapaknya milih cewek lain."

"Yakan, jadinya ngga aja yang ngajarin norma. Hahahaha. Diajarin sama emaknya doang. Mending ya- PLAK."

Gadis itu dibuat memalingkan wajahnya oleh tamparan keras yang diberikan [Name].

"Iya deh, lo bisa ngomong gitu soalnya lo juga diajarin jadi berandalan sama emak Lo. Yang jadi pelakor itu loh."

"PLAK"

"Lo ya, udah gue PLAK diemin tapi nambah PLAK jadi. Emak gue apa urusannya sama Lo hah? PLAK" Wajah gadis itu memerah dibuatnya. [Name] menajamkan matanya menatap rendah gadis yang lebih pendek darinya itu.

"Emang bener kan? Emak Lo ngga mau pisah karena duit. Bolak balik ganti cowok. Sejujurnya bapak gue beruntung banget bisa dapetin ibu gue." Ucap saudara tiri [Name] itu dengan lancar.

"Waduh, ada anak pelakor bangga nih. Ngga malu sama temen Lo? Najis banget Anj*ng. Mau di tahan gimana juga bikin jijik. Pengen muntah. Sialan anak anj*ng ini." [Name] memiringkan kepalanya. Sungguh, manusia menyebalkan. Didiamkan berkoar di belakang malah tambah jadi. Rasanya dia ingin melompat-lompat sambil menampar-nampar seisi toilet saat ini.

"Gue bakal laporin lo ngebully Amel." Ancam mantan temannya dulu. Temannya dulu sebelum si dominan tidak sepaham dengannya dan sebelum anak ibu tirinya ini pindah kesini. Bila diingat, ingin rasanya [Name] meminta kembali uangnya.

"Tindak kekerasan di sekolah itu ngga boleh loh. [Name]. Ini termasuk bullying." Si dominan angkat bicara.

"Hah? Gue? Ngebully Lo pada? Ha? Ga kebalik?" [Name] mendekat ke arah gadis itu. Dia mengambil pelan tangan gadis itu. Gadis itu langsung menarik kembali tangannya namun ditarik dengan kasar oleh [Name]. Dia menekan lengan itu dengan kukunya sekuat tenaga lalu menarik dengan cepat membentuk luka yang cukup dalam.

"AARGH. [NAME] GILA!" Pekik gadis itu segera menarik kembali tangannya.

~

"Jadi ya, hmm... Kayaknya bukan gara-gara aku sih. Dia bikin luka sendiri trus ke rumah sakit sendiri. Eh, tapi ngga nyalahin diri sendiri. Nyalahin orang. Aku kan cuma cakar dikit." [Name] mengingat kembali kejadian itu. Mengingat dia dulu pernah menampar dan mencakar dua orang itu sudah cukup membuatnya merasa bangga.

"Bagaimanapun, ngga boleh pakai kekerasan di sekolah." Ujar Kenma. Tangannya menepuk kepala [Name] pelan. Tangannya kemudian mengacak-acak rambut pirang gadis itu dengan gemas.

"Kalau bales digosipin kan ga bisa. Aku mau nyebar gosip ke siapa. Trus, ga bakal mempan pake mulut." Hening. Kenma baru sadar, itu memang perbuatan yang layak dilakukan. Dia menghela nafas lalu tersenyum lembut. Dia kemudian mengacak-acak lagi rambut gadis di sampingnya.

"Kalau gitu gosip sama aku gapapa kok."

"Oh, oke. Hahahaha... Entar kapan-kapan kalau masih hidup." [Name] terkekeh membayangkan wajah Kenma ketika diajak bergosip.

"Oke."

"Waktu aku pertama kali ketemu Kenma, habis pulang, rasanya aku terus berharap bisa ketemu Kenma lagi. Awalnya dalam hati aku sempet terpikir. Waduh, orientasi seksual aku normal kan? Hahahaha." Kenma ikut tertawa bersama [Name].

"Habis itu, meyakinkan diri. Aku cuma pengen ada temen cewek kok. Ga lebih."

"Haha... Emang segitu mirip cewe?"

"Hem... Kenma cantik sih."

"Kamu lebih cantik."

Tangan Kenma mengacak rambut pirang itu sekali lagi. Dia kemudian meraih tangan [Name] dan menggenggamnya. Rona merah menjalar pada pipi keduanya. Jantung Kenma berdetak amat kencang. Rasanya sangat tak bisa dijelaskan.

Meski hanya berada di dekatnya, rasanya Kenma sudah bahagia. Entahlah, perlahan dia menyukai setiap cerita yang diucapkan gadis itu.

"Ah iya. Buku yang Kenma baca, mulai dari seri 2 sampai tamat ada di atas meja belajarku. Paperbag biru."

"Oke. Makasih."

Tokyo's Rain (Kozume Kenma x Reader)Where stories live. Discover now