2. Keluarga Warna

5 6 8
                                    

Semua mata tertuju pada Violin yang duduk di sofa di ruang tamu. Tatapan mata setiap orang yang melihat ke arahnya membuat tidak nyaman. Rasanya, ia ingin segera beranjak dan meninggalkan tempat itu.

"Maaf sebelumnya, tapi saya di sini ingin bicara dengan Biru," ucap Violin angkat suara setelah sekian lama bungkam.

"Lo ada hubungan apa dengan Biru?" Seorang cowok seumuran Violin bertanya penasaran.

"Gak ada hubungan apa-apa," jawab Violin singkat.

"Bohong. Lo pasti pacarnya 'kan? Seumur-umur Biru gak pernah tuh bawa teman ke rumah. Apalagi cewek," cetusnya lagi.

"Sok tahu. Gue bukan pacar Biru. Lagipula siapa yang mau pacaran sama pencuri kaya dia?" balas Violin membantah ucapan cowok itu. "Lagipula lo siapa?" Violin bertanya penasaran. Bukan hanya pada cowok itu, tetapi pada dua orang lainnya yang memenuhi ruang tamu.

"Gue Toska. Kembarannya Biru. Apa lo gak bisa liat dari wajah gue? Kalau kita berdua itu mirip? Tentunya lebih ganteng gue dibandingkan Biru," jawab  cowok bernama Toska dengan pedenya.

Violin memasang wajah bingung. Ia melihat pada Magenta. Meminta penjelasan.

"Toska memang kembarannya Biru. Lalu, ada Grey," ucap Magenta sambil menunjuk pada seorang pria lainnya yang duduk di samping Toska. "Dia adik kedua saya. Terakhir ada Jingga yang merupakan adik kami."

Violin memijit kepalanya pelan. "Kedatangan gue ke sini untuk mengambil kalung. Bukan untuk berkenalan dengan keluarga warna kalian," ungkapnya yang mulai lelah. Hingga detik ini, ia belum juga mendapatkan kembali kalung miliknya yang diambil oleh Mars lalu berakhir di tangan Biru.

"Bisa kamu ceritakan titik permasalahannya? Mas Ge akan bantu kamu mendapatkan kembali kalung itu," ucap Magenta lagi.

Violin mulai memberikan penjelasan. Tentang ia yang kehilangan kalungnya. Lebih tepatnya kalung itu diambil dan dibawa pergi oleh Mars. Violin berusaha mencari Mars yang membawa kalungnya, tetapi tidak membuahkan hasil. Ia bahkan hampir menyerah. Mencoba mengikhlaskan kalung kesayangannya itu. Akan tetapi, ia melihat Mars saat keputusasaan mulai meliputi dirinya. Violin tidak ingin membuang kesempatan. Itu sebabnya ia menghadang jalan Biru dan meminta kembali kalungnya. Sayangnya, Biru tidak percaya bahwa ia adalah pemilik kalung itu.

"Gak heran. Biru gak pernah percaya sama orang lain," komentar Toska di akhir penuturan Violin.

"Terus gue harus gimana? Kalung itu milik gue, dan udah seharusnya berada di tangan gue." Violin mulai frustrasi.

"Aku akan coba bicara dengan bang Biru," sahut Jingga angkat suara lalu bangkit dari tempat duduknya. Niatnya untuk bicara dengan Biru urung saat sang empunya datang bergabung dengan mereka.

Biru meletakkan kalung tersebut di atas meja. "Saya kembalikan kalung itu pada Anda," ucapnya lalu berbalik.

"Harusnya lo minta maaf!" Violin berucap kesal. Tingkah laku Biru membuatnya naik darah. Dimulai dari tidak percaya bahwa ia adalah si pemilik kalung, sampai tidak mengucapkan maaf sama sekali. Biru sama sekali tidak merasa bersalah.

Biru berbalik. "Anda juga seharusnya minta maaf dengan saya. Jadi, tidak seharusnya Anda menuntut maaf dari saya, jika Anda sendiri pun tidak melakukan hal yang sama. Lagipula, kalung itu tidak cukup berharga untuk saya jual," cetus Biru dengan santainya.

"Lo benar. Memang kalung ini gak berharga jika dijual, tapi kenangannya berharga. Kenangan yang ada di kalung ini gak akan bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun." Violin mengambil kalung yang terletak di atas meja itu lalu menggenggamnya erat.

"Biru, minta maaf pada Violin!" Grey yang sejak tadi bungkam akhirnya angkat suara.

"Dia juga harus minta maaf, Kak," balas Biru menolak permintaan Grey agar meminta maaf pada Violin.

"Kakak bilang minta maaf sekarang juga!" Grey kembali berucap. Nada suaranya tidak tinggi, tetapi penuh dengan penekanan. Grey yang seperti itu selalu ditakuti. Termasuk oleh Toska.

Biru membungkukkan sedikit badannya lalu berucap, "Saya minta maaf atas ucapan dan perbuatan saya yang mungkin menyakiti hati Anda. Begitu juga dengan kalung itu. Saya minta maaf karena Mars telah membawa pergi kalung berharga milik Anda."

"Tadinya gue juga mau minta maaf karena menyebut lo sebagai pencuri, tapi gue rasa hal itu gak perlu dilakukan. Ucapan lo cukup pedas juga ternyata," cetus Violin lalu mengenakan kembali kalungnya.

"Yah, lebih baik gue pergi. Makasih karena telah mengembalikan kalung gue. Permisi."

Violin pergi meninggalkan Biru bersama dengan saudara-saudaranya yang masih menetap di ruang tamu.

Toska menyikut Biru yang berada di sebelahnya. Entah sejak kapan ia berada di samping saudara kembarnya itu. "Lo membuat kak Grey marah," bisiknya.

Biru hanya diam. Tanpa berniat membalas ucapan Toska dan memilih membalik tubuh. Berniat pergi meninggalkan ruang tamu itu.

"Siapa yang memperbolehkan kamu pergi, Biru? Kak Grey belum selesai bicara. Begitu juga dengan mas Ge, yang Kakak tahu pasti ada sesuatu yang ingin disampaikannya."

Ucapan Grey membuat Biru mengurungkan niat untuk pergi. Ia kembali mendudukkan diri di tempat semula.

"Siapa pun dilarang meninggalkan tempat ini." Grey kembali berucap sesaat setelah menyadari bahwa Toska berniat untuk pergi dan kembali ke kamarnya.

"Kak Grey, ini masalahnya Biru. Gak ada hubungannya dengan gue dan Jingga. Kenapa juga kita harus menetap di sini? Kita punya sesuatu yang harus dikerjakan," protes Toska.

"Melakukan apa? Bermain game seharian? Latihan memanah tanpa kenal waktu? Tetap di sini atau Kakak akan buang game milik Toska dan panah milik Jingga," ancam Grey.

Kedua adiknya itu hanya bisa menurut, tanpa bisa membantah. Grey selalu serius dengan ucapannya. Membuang game dan alat panah milik Toska dan Jingga sangat mudah dilakukan olehnya.

"Grey, kamu terlalu berlebihan." Magenta berkomentar.

"Biru yang berlebihan, Mas. Gak seharusnya dia mengatakan hal seperti itu pada Violin. Kita semua tahu dia sangat jarang bicara pada orang lain, tapi kenapa di saat dia bicara, malah menyakiti hati orang lain? Kita dan ayah gak pernah mengajarkan Biru, Toska atau pun Jingga untuk menilai sesuatu dari tampilan luarnya. Bagi kita mungkin gak berharga, tapi bagi orang lain? Mungkin saja hal itu sangat berharga. Seperti Violin tadi contohnya," jelas Grey. Ia sangat marah dengan Biru yang menilai kalung Violin tidak berharga.

Magenta mengangguk. "Ya, Mas setuju dengan itu. Sekarang saatnya kamu untuk membuka diri, Biru. Mulai mencari teman dan bergaul dengan mereka. Mas Ge tahu kamu lebih nyaman bersama dengan hewan-hewan, tapi kamu juga harus berbaur dengan orang lain. Kamu harus belajar memahami perasaan orang lain."

"Sulit untuk Biru lakukan," sahut Biru.

"Kamu harus mencoba. Hidup bukan hanya tentang kamu seorang, tapi juga tentang orang lain."

"Mas Ge dan kak Grey benar. Lo harus mencari teman, Ru," sahut Toska.

"Aku juga akan membantu Bang Bi untuk mendapatkan teman." Jingga ikut berkomentar.

"Dapatkan seorang teman. Siapa pun itu. Lebih baik jika Violin. Kamu bersalah padanya," kata Grey menimpali.

Bersambung...

Violin Biru [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang