P R O L O G •-

124 5 0
                                    

BAGIAN I: BERTEMU

SANCAKA

Bintang-bintang di langit bercahaya dan menerangkan sisi Bumi yang gelap. Di sisi terang, Bumi juga terpancarkan dengan bintang yang kita sebut sebagai Matahari. Dipercaya susunan terkecil tubuh kita merupakan lontaran debu-debu kosmik bintang meledak—Supernova. Bintang itu kemudian menjadi butiran lembut di alam semesta atau terjatuh ke dalam jurang gravitasi—Lubang hitam. Dunia makro seakan membuat kita selalu berdebar-debar akan kejora yang ditunjukkan pada teater alam semesta. Sungguh, hanya tinggal melihat ke atas kita sudah dipertunjukkan oleh kemegahan. Akan tetapi, apakah dunia yang tersimpan di telapak tangan kita juga tersembunyi kemegahan?

Planet Bumi berputar mengikuti lengkungan ruang-waktu untuk mengitari Matahari. Tidak ada pembatas antara bumi dan matahari, hanya ruang kosong. Seperti yang berada di dunia mikro, zarah-zarah elektron sesungguhnya mengitari inti atom yang berupa gabungan zarah proton dan zarah neutron. Apakah di antara zarah elektron dan inti atom itu hanya ruang hampa? Benar, hanya ruang hampa. Apakah ternyata planet bumi kita hanya sebuah zarah dalam skala alam yang lebih besar? Apakah ternyata kita hanya suatu denyutan dari suatu hal yang lebih besar? Layaknya sebuah atom yang menyusun setiap bagian dari tubuh kita. Melihat dengan mikroskop terbaik di dunia juga tidak akan cukup untuk melihat kemegahan dunia mikro. Diperlukan tulisan tangan Tuhan untuk akhirnya kita bisa setidaknya melihat dinamika di dunia mikro.

Banyak hal yang harus ditempuh setidaknya untuk kita sebagai mamalia dengan ilham dapat berpikir untuk menebak seluruh alam semesta. Kapasitas otak kita tentu hanya sebuah denyutan listrik yang memiliki tujuan utama untuk bisa melahap satu sendok nasi putih. Banyak yang mengira bahwa memikirkan hal-hal mengenai keagungan dunia mikro—kuantum—tentu tidak akan berdampak banyak dalam kehidupan kita, akan tetapi semua itu tidak terjadi kepadaku. Di sisi lain, inilah caraku untuk bisa meraih satu sendok nasi.

Eksplorasi terhadap bidang fisika sudah berjalan dari jaman Yunani Kuno, Kejayaan Islam, Revolusi Industri, dan pada detik yang berjalan saat ini. Salah satu puncaknya adalah ketika buah apel jatuh ke bumi, benar, hukum gravitasi. Gravitasi bagaikan penerang pemahaman kita terhadap bagaimana Tuhan menciptakan kemegahan seluruh benda di alam semesta. Hukum gravitasi juga titik awal dalam memahami struktur dan hubungan antara benda-benda langit di panggung ruang-waktu. Kita sebut saja sebagai Kosmologi. Semenjak perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, gerilya untuk melihat kemegahan alam semesta bagaikan perebutan kancah medali emas pada olimpiade alam semesta. Kita sudah menjadi saksi atas eksplorasi kosmologi sudah jauh berkembang. Semua itu berbeda di skala kuantum, masih banyak tinta, kertas, dan kemajuan peradaban untuk bisa memperdalam ketidakpastian dalam memahami skala kuantum. Tidak perlu khawatir, teknologi yang kita nikmati sehari-hari merupakan kemajuan dalam memahami ketidakpastian dalam skala kuantum.

Di masa yang akan datang, kosmologi dan kuantum akan menyatu. Penyatuan yang akan menjadi momentum dalam mengetahui kemegahan tulisan tangan Tuhan.

***

"Sesungguhnya engkau di sini adalah korban dari kepercayaan yang ada di dunia kalian berasal."

"Maksudmu? Aku di sini berdiri karena telah membuktikan semua teori yang mengambang! Aku bukan korban!" balasku dengan penuh emosi dengan tangan yang terikat kencang dengan sebuah balok—dipasung.

"HAHAHAHA!" tawanya menggelegar tanpa ada rasa kasihan di setiap nada yang keluar, "Kehadiran kalian dengan magis itu menghancurkan kebudayaan yang ada."

"Aku hanya ingin kembali! Bukan datang untuk memunculkan konflik," tuturku begitu dalam demi bisa menyebrangi sebuah cahaya yang berada di belakang sosok pria yang tampak memiliki kekuasaan tertinggi.

"Anggap Uculna Deepa ini sebagai bentuk kekuasaan tertinggi atas leluhur!" Tongkatnya dihentakan dengan geraman suara tegas yang membuat seluruh prajurit mendekat, "Mateni."

Mungkin terlalu cepat apabila aku memberikan kilasan cerita yang sedikit tidak jelas. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi hingga akhirnya sampai di bagian ini. Mungkin cara terbaik adalah dengan memutar ulang waktu secara perlahan. Tidak terlalu perlahan, tapi saat semua masalah ini dimulai. Sekitar sembilan tahun lalu di sebuah kota dengan penuh permasalahan.

Tangerang Selatan, Juli 2012

"Gila itu gedung robohin aja, napa?" tanyaku di tengah perjalanan sambil melihat sebuah gedung legendaris yang ditelantarkan di Bintaro Sektor 9. "Ganggu banget."

"Ngga jelas memang padahal daerah ini mulai maju," balas Pak Supir yang setiap hari selalu sabar menjemput dan mengantarkan diriku ke sekolah yang berada di daerah Jakarta Selatan. "Ngomong-ngomong, bagaimana kuliah, Cak?" tanya Pak Supir memanggil nama panggilanku, Cak, atau panjangnya Sancaka Putra Abimanyu.

"Awalnya gue mau ngambil ITB karena menang pas OSN Fisika, tapi sepertinya gue lebih tertarik untuk langsung ke Caltech, Pak," balasku dengan senang hati kepada Pak Supir yang sudah menemaniku di berbagai tempat aku tuju.

"Ketek?"

"Caltech, Pak! California Institute of Technology," kesal diriku saat Pak Supir mencoba bercanda.

"Canda, Cak," balas dia sambil tertawa kecil, "kamu kalau benar di Amerika jangan minum-minum lagi."

Aku sungguh kesal apabila Pak Supir mengangkat topik ini. Pak Supir atau Pak Supriyadi ini tidak hanya antar-jemput sekolah, tapi kedua orang tuaku yang jauh di sana mencari kesuksesan karir juga menitipkan segalanya lewat Pak Supir. Sehingga Pak Supir ini sangat mengenal diriku. Salah satunya adalah kegilaan diriku yang sudah masuk terjerumus oleh hingar-bingar dunia malam. Memang sulit apabila kita hidup dan lahir sebagai social butterfly dan bertemu dengan pergaulan lingkungan yang penuh dengan hingar bingar. "Susah, apalagi bir bisa membuat badan hangat, Pak."

"Tidak apa, asal kamu jangan kayak bocah kampung minum di taman," balas Pak Supir yang selalu tidak suka apabila melihat diriku berlagak bagai berandal setiap pulang sekolah. Padahal sudah menjadi hal yang biasa ketika bersekolah di daerah Jakarta Selatan. Pulang sekolah kemudian melipir ke taman atau salah satu warung untuk bisa saling berkumpul dan bercanda melepas penat. Guru bilang kelakuan seperti ini adalah akar dari berbagai permasalah di umur remaja.

"Yaelah, Pak, masih SMA," balasku.

"Ayahmu itu besar dan baik, mendingan kamu rendah diri aja, kurangi, Cak," balas Pak Supir sambil tepat berhenti di garasi rumahku.

"Darah Ayah akan selalu mengalir dalam darah dan semangatku, Pak," tuturku sambil beranjak dari sedan berwarna hitam legam.

"Cak, nanti Ibu pulang," tutur Pak Supri.

"Oh iya? Yes! New bag!" tuturku penuh semangat mengingat Ibu sudah berjanji akan membawakan aku tas yang aku titip dari Tokyo.

Berjalan naik tangga menuju kamar yang berada di lantai dua dengan penampakan yang selalu rapi dan minimalis. Aku letakkan tas dan melepas sepatu di tempat yang sama. Membuka baju dan melempar di keranjang baju kotor. Tiduran sebentar dan meraih Blackberry Onyx untuk melihat beberapa pesan BBM yang terlewat. Atau kalau tidak ada yang penting aku membuka galeri dan bersiap untuk melakukan kegiatan pria muda untuk melepas penak setelah pulang sekolah.

"Tidak-tidak." aku mengurungkan niat dan beranjak menuju komputer yang berada di meja. Ternyata untuk pertama kali aku mendapatkan suatu surel. "Emang ini sudah minggu kedua Februari?" tuturku bingung karena melihat subjek surel atas nama "California Institute of Technology Admission".

"Mari kita buka." tanpa banyak pikir aku membuka surel tersebut. Tanganku bergetar. Jantung berdegup tidak ada henti. Kata-kata di layar terpancar penuh benderang. Tidak pernah aku merasakan rasa seperti ini. Aku raba layar dan mencoba mengedipkan mata terus berkali-kali. Apakah ini nyata? Apakah ini mimpi?

"Pak! Pak Supri!"

"Ada apa?" tuturnya yang ternyata sedang menyeruput kopi hitam dan cerutu filter di tangannya. Tidak tahu mengapa terdorong diriku untuk memeluknya.

"Semester depan aku bakal minum di Hollywood."

°°°°°°°°°°°°●●●● K e L I N D A N

K E L I N D A NWhere stories live. Discover now