06 - Karma Cinta

4 2 0
                                    

Cinta adalah pengorbanan, bukan sebatas rasa yang melibatkan perasaan. Ikhlas adalah titik tertinggi dalam mencintai. Rela pergi, bahkan mati.

R___D

Stephani berlari menghampiri ombak, membasai tangannya lalu dicipratkan ke wajah Damiane yang tampak murung dan sedikit melamun. Karena terkejut, laki-laki itu malah terdiam. Namun beberapa detik kemudian dia merubah ekspresinya menjadi marah.

"Oh, mulai berani sekarang. Kalau begitu, kau harus menerima balasannya," ucap Damiane yang membuat Stephani lari menjauhinya. Dia segera mengejar gadis itu tanpa memberinya ampun.

Stephani berlari kencang meninggalkan jejak kaki pada hamparan pasir. Terhitung lima menit mereka bermain kejar-kejaran. Napas gadis itu mulai tak beraturan, berbeda dengan Damiane yang tampak biasa saja. Bahkan dia sengaja berlari pelan agar Stephani terus berlari. Ketika gadis itu berhenti, dia menggendongnya dan mengarahkan pada ombak besar.

"Damiane, ampun ... Jangan lepaskan aku, nanti basah semua!" pekik Stephani sambil melirik takut ke bawah. Sejujurnya dia takut, tapi dia juga menyukai pantai. Sangat membingungkan bukan?

Damiane menggeleng sambil membuang muka. "Permintaan ditolak."

"Oke, iya-iya."

"Apa?"

"Aku juga mencintaimu, Damiane" kata Stephani dengan suara tertahan. Dia sengaja memelankan suaranya. Sungguh, dia sangat malu mengatakan hal yang seperti ini.

"Apa? Aku tidak mendengarnya," sahut Damiane sambil tersenyum jahil.

"Damiane, turunkan aku!" titah Stephani yang langsung dituruti karena tatapan gadis itu berubah menjadi serius. Dia meletakkan tangan kanannya pada dada kiri Damiane, lalu menatap sang empu dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku juga mencintaimu, Damiane. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu hingga detak atau detik kita betakhir. Tapi maaf, aku tidak bisa menjadi kekasihmu."

Setelah mengatakan itu, Stephani berlari meninggalkan Damiane yang masih mematung. "Karena Calista 'kan?"

Langkah Stephani terhenti. Dia berbalik dan menampilkan wajahnya yang mulai sembab. Air matanya berderai, mata dan hidung memerah dengan suara isakan. Jika gadis di depannya adalah Ellenora, tentu Damiane akan mengejek dan menertawakannya habis-habisan.

"Dari mana kau tahu?" Stephani mengusap air matanya dengan kasar ketika Damiane menghampirinya.

"Aku tahu, dia berusaha mendekatiku. Dengar Stephani, dia hanya suka. Jauh dari perasaan cinta," jelas Damiane sambil mencengkeram kedua bahu Stephani. "Kau kakak sepupunya 'kan? Harusnya kau mengerti mana yang obsesi dan setulus hati."

Stephani menunduk. Semua yang dikatakan Damiane benar. Namun bagaimana dia bisa menjelaskan tentang sulitnya berada di posisi ini. Dia mencintai Damiane, tapi dia tak ingin melukai hati saudaranya. Jika dia bisa memilih, dia ingin kembali ke masa sebelum mereka saling mengenal. Dia tak ingin dekat hingga jatuh hati pada laki-laki di depannya ini.

"Jawab, Stephani."

"Iya, aku tidak mau mengambilmu darinya. Dia segalanya bagiku, kau tahu itu 'kan?" timpal Stephani dengan air mata yang kembali mengalir deras.

Damiane mengangguk pelan lalu melirik ke leher Stephani yang mengeluarkan cahaya berwarna hijau. Tunggu, mengapa hijau? Oh tidak, dia salah sasaran. "Stephani, jawab aku. Kenapa kau tinggal di rumah Calista?"

"Jika tinggal di rumah, maka aku akan kesepian. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan saat aku masih kecil. Sejak itu aku tinggal bersama orang tua Calista, saudaraku satu-satunya."

Deg

"Jadi dia yatim piatu..." batin Damiane dengan senyum getir di bibirnya. Dia tak tahu harus senang atau sedih. Setelah berbulan-bulan akhirnya Stephani mempunyai rasa cinta yang tulus padanya, tapi kenapa harus yatim piatu? Haruskah dia mundur? Atau tetap maju dengan segala resiko?

Damiane terdiam beberapa saat hingga Stephani mengejutkannya dengan tepukan pelan di lengan. Gadis itu mengikuti langkah Damiane, dia membawanya ke jembatan kayu yang berada di atas air laut. Hingga puluhan meter, sepertinya posisi mereka sudah berada di tengah. Stephani sedikit gemetar karena dia mempunyai trauma dengan air laut.

"Damiane, kau mau membawaku ke mana?" Stephani melepaskan genggaman Damiane dari pergelangan tangannya hingga mereka berhenti berjalan.

"Aku melihat cinta tulus darimu, Stephani. Sejauh ini aku berjuang, aku tidak akan mundur apapun resikonya." Damiane kembali menarik Stephani dan membawanya loncat dari jembatan. Mudah bagi mereka memasuki air karena jembatan itu tak memiliki pelindung di sampingnya. Hanya ada alas yang terbuat dari kayu dengan cat warna-warni.

Stephani memukul lengan Damiane ketika mereka sudah berada di dalam air. Terlihat gadis itu sangat cemas, dia bergerak tak beraturan. Melihat itu, dia sedikit khawatir tapi tetap tak melepas cekalannya. Satu hal di benak Damiane, 'Stephani tidak bisa berenang.' Tak bertahan lama, kini gadis itu tak sadarkan diri karena kehabisan napas.

Tak berselang lama, Damiane juga merasakan hal yang sama. Alarm bahaya terdengar di telinga Ellenora. Sebuah pertanda buruk bahwa Pangeran Damiane sedang dalam kesulitan. Namun dia tak bisa menemukan keberadaannya, pangeran berada di luar wilayah kemampuan Ellenora.

"Pangeran dimana? Cepat jawab!" batin Ellenora yang terdengar jelas oleh Damiane.

"Aku di dasar laut. Cepatlah datang," sahut Damiane membuat Ellenora membelalakkan kedua matanya.

Damiane tak menyia-nyiakan kesempatan. Sebelum kesadarannya menghilang juga, dia segera menyayat leher Stephani dengan pisau lipat yang bersemayam di saku celananya. Darah gadis itu tersebar di antara mereka, membuat air berubah warna menjadi merah. Tak mudah melakukan hal itu, karena tenaga Damiane terus berkurang. Perlahan tapi pasti, berlian berwarna hijau itu keluar seiring dengan pejaman mata Damiane.

"Astaga, Pangeran Dami!"

***

Seluruh penghuni istana sedang berduka, pangeran tengah tidak sadarkan diri dengan tubuh pucat pasi. Badannya sangat dingin, tabib berusaha memberikan ramuan ke sekian kalinya tapi tidak membuahkan hasil. Ellenora berjalan ke sana ke mari di depan pintu kamar sambil menggigit jari telunjuknya. Dia melihat Raymond-ayahnya Damiane yang tengah berjalan ke arahnya.

"Salam, Baginda." Ellenora membungkukkan badannya dengan tangan diletakkan di dada kiri. "Maaf Baginda, Elle tidak becus menjaga Pangeran."

Raymond mengangguk paham sambil menepuk bahu Ellenora. "Tenanglah, Elle. Ayo masuk."

Ellenora mengangguk pelan lalu mengekori sang raja. Terlihat Damiane yang masih terbaring lemah, membuatnya dirundung rasa bersalah. Tiba-tiba, seseorang merangkul tubuhnya yang dia tahu adalah Raymond. Dia tengah tersenyum simpul, seakan memberikan ketenangan dan harapan bahwa Damiane akan baik-baik saja.

"Apa yang terjadi pada Pangeran, Baginda?"

Raymond mengedarkan pandangannya, dia mengisyaratkan para tabib agar keluar dari kamar tersebut. Setelah tinggal mereka bertiga, dia mendudukkan Ellenora di tepi ranjang tepat di samping kaki putranya. Ellenora hanya menurut, ini bukan pertama kali dia diperlakukan layaknya anak sendiri oleh sang raja.

"Berlian hijau. Damiane akan merasakan hal yang setimpal setiap tindakan menyakitkan yang dilakukannya pada manusia itu."

Kedua mata Ellenora membelalak dengan mulut terbuka. "Jadi ... Stephani seorang yatim piatu?"

Melihat Baginda mengangguk, Stephani beralih menatap Damiane yang masih memejamkan matanya. "Baginda, sekali lagi Elle mohon maaf. Elle akan pergi ke dunia manusia, mengurus mayat Stephani lalu segera kembali ke istana."

"Iya, cepatlah. Setelah itu selesai, barulah Damiane bisa diobati," ucap Raymond yang dibalas anggukan oleh Stephani.

***

Yang memberi akan mendapatkan, yang menyakiti pun akan mengerti. Hukum cinta tidaklah mudah, ada luka di setiap langkah.

Red Diamond [END]Where stories live. Discover now