1. Fall Into the Deep Trench

Start from the beginning
                                    

        "Selamat pagi. Kau mau berangkat kerja?" Wonwoo tersenyum tulus, mengangguk. Ia adalah satu-satunya tetangga yang mau berinteraksi dengannya. Bisa dibilang kepedulian terhadapnya terlalu berlebihan. Dulu saat pertama kali bertemu dalam sehari tetangganya akan bertanya apakah ia baik-baik saja, ketika balik ditanya mengapa ia bertanya, jawabannya membuatnya heran. Wajahnya terlalu pucat, katanya.

"Selamat pagi, Hansol. Kau juga mau berangkat?" Pria bernama Hansol itu menggeleng.

"Aku ingin ke perpustakaan meminjam beberapa buku karena aku mengambil cuti satu minggu. Kalau begitu apakah tujuan kita searah?" Senyum Wonwoo semakin cerah. Sudah lama ia menginginkan teman yang mau berjalan bersama.

"Ayo cepat, sebentar lagi bis akan datang." Hansol melihat jam tangannya. Tanpa menunda keduanya beriringan menuju halte.

             Bis tujuan tiba tepat ketika mereka sampai. Keduanya duduk di tempat terpisah, Wonwoo di barisan ketiga di samping jendela dan Hansol berada di tempat yang paling belakang. Penumpang tidak terlalu ramai, namun bayangan yang tadi dilihatnya turut mengikuti sang inang. Membuat suasana menjadi dingin dan suram, Wonwoo benci jika sudah seperti ini.

          Energinya terserap bahkan sebelum sampai ke tempat kerja. Bersama dengan itu ia merasa jika manusia-manusia menatapnya, ketika Wonwoo menoleh ke belakang, Hansol turut menatapnya, pria blasteran itu mengerutkan kening dengan pandangan bertanya. Di dalam ketidakpeduliannya ada setitik tanda tanya besar, apa yang salah dengan dirinya? Sebegitu anehnya kah ia sehingga tatapan mereka begitu menusuk seakan ia adalah jenis racun berbahaya. Belum selesai Wonwoo terpekur, pria di seberangnya menutup mulut menahan tawa, delikan-delikan matanya ditujukan kepadanya. Dengan begitu pria itu pastilah sedang menertawakannya. Tubuhnya akan bereaksi dan beruntung bis berhenti di tempat tujuan.

           Wonwoo bukan manusia baik hati, sementara ia berjalan, dengan sengaja ia menyenggol pria yang menertawakannya tadi dengan tas ranselnya dan berjalan bagai angin lalu tanpa meminta maaf. Teriakan marah tidak ia hiraukan, yang terpenting emosinya sudah diluapkan.

Langkah kaki Hansol terdengar di belakang. Ia menarik tangan Wonwoo, menghentikan langkahnya.

"Apa?" Wonwoo sangsi. Hansol pasti akan menceramahinya. Ia tidak butuh ceramah, jam kerjanya sepuluh menit lagi, akan telat jika harus mendengarkan orang bersabda tentang kebaikan.

"Apa yang kau lakukan?" Wajahnya shock seolah kelakuan Wonwoo merupakan kejahatan yang perlu diadili.

"Memberinya pelajaran." Tidak memedulikan reaksi ataupun membiarkannya bicara, Wonwoo mempercepat langkah memasuki perpustakaan tempatnya bekerja.

         Tidak ada yang spesial dari seorang Jeon Wonwoo. Keahliannya hanya berkhayal dan membaca, selebihnya tidak ada. Setelah karirnya tersumbat di dunia kepenulisan ia mencari pekerjaan yang sekaligus dapat menyalurkan hobi-hobinya, dan untung perpustakaan kota kala itu sedang membutuhkan pegawai, langsung saja ia melamar dan diterima bekerja.

          Ketika masuk, Hansol dan Wonwoo berpisah. Ia sibuk dengan administrasi dan Hansol berkelana menyusuri rak demi rak. Tempatnya bekerja ini merupakan perpustakaan terbesar di kota Daejeon, bertingkat tujuh dengan rak besar yang memenuhi setiap lantai. Wonwoo tengah membersihkan debu di sekeliling meja, ia adalah seorang perfeksionis, tidak akan memberikan celah sekecil apapun yang membuat pengunjung merasa tidak nyaman. Setelah selesai ia duduk di tempatnya bekerja. Menunggu kedatangan pengunjung.

Di kala menunggu bahkan saat ia tengah bekerja buku-buku tidak pernah terlepas dari tangannya. Dalam kesibukan ia mencari peluang untuk tetap membaca, meski begitu atasannya memperbolehkan, karena matanya yang jeli akan menangkap sesuatu yang mencurigakan atau bisa dibilang selama pekerjaannya baik, hal itu diperbolehkan.

Sepanjang hidupnya Wonwoo berkelana bersama buku. Menyeberangi rawa-rawa kehidupan yang tak terbatas, menempuh perjalanan mengarungi sungai-sungai asing di negeri tak bernama atau di negara luar yang belum pernah ia kunjungi, berdebar ketika monster-monster menyerang para tokoh dan menangis sesenggukan saat akhir cerita begitu tragis.

                 Tak berapa lama satu persatu pengunjung berdatangan. Mengisi daftar kehadiran lantas sibuk dengan dunia masing-masing. Dari sudut matanya Wonwoo melihat wajah-wajah yang berdatangan, memilah mana pengunjung baru dan pengunjung lama. Diam-diam ia menghapal semua wajah mereka, memberikan nama dan kepribadian lalu membuat sebuah skenario, yang hanya ada di dalam tempurung kepalanya namun bayangan masih melingkupi mereka, mengikuti dari belakang seperti anak mengikuti orang tua. Sebenarnya makhluk jenis apa, Wonwoo tidak tahu, makhluk itu tidak pernah hinggap di imajinasinya dan tidak pula ada di buku yang pernah dibacanya. Dan semakin banyaknya pengunjung datang semakin terserap energinya, mungkinkah makhluk aneh ini penyerap energi manusia?

                Di hari itu, saat mereka bermunculan, baru sekali seumur hidupnya ia merasa tidak bergairah bekerja. Ingin sekali ia pergi dari sana dan pulang ke rumah meringkuk dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuh. Sekuat tenaga Wonwoo mencoba bertahan. Di kamus hidupnya tidak ada pekerjaan yang dilakukan setengah-setengah, semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya fokusnya menjadi hilang dan tak terkendali, sebisa mungkin ia alihkan ke buku yang harus dibaca namun sama sekali tidak mengerti apa yang tertulis di sana. Alasan mengapa ia begitu tidak fokus, karena bayangan-bayangan hitam itu menatap dirinya. Jika ditatap seperti itu ia sudah terbiasa, sejak kecil berbagai makhluk aneh sering melihatnya, namun yang membuatnya frustasi hebat adalah bahwa mereka dapat berbicara.

             Mereka berbicara dengan berbagai macam volume sesuai dimana para pengunjung itu berada. Samar jika mereka di atas, sedang saat pengunjung berada di sudut jauh perpustakaan, dan nyaring ketika pengunjung masih berada di dekatnya, terutama mereka yang mencari buku di sekitarnya.

                Suara mereka serempak walau kalimat yang dikeluarkan berbeda. Di suatu tempat, entah tak tahu dimana makhluk itu berbicara mengenai kematian bahwa kematian akan menghampiri siapapun, dan beruntung bagi mereka yang tidak takut akan kematian. Di titik lain makhluk itu berteriak marah, membuat bulu romanya berdiri, suaranya menggelegar sekaligus menyayat memohon pertolongan. Berkali-kali ia berkata ingin mengakhiri hidup. Wonwoo tidak paham, makhluk ini apakah wujud asli dari sang inang atau mereka adalah jiwa-jiwa terperangkap yang tidak dapat mereka ungkapkan kepada orang lain. Lalu kenapa hanya Wonwoo yang dapat melihat dan mendengar mereka. Saat matanya berkeliling tak satupun dari mereka yang merasakan kehadiran sosok asing atau merasa terganggu dengan teriakan-teriakan memekakkan telinga. Setelah itu semua sunyi, Wonwoo tidak lagi mendengar mereka. Tidak hanya suara-suara tadi melainkan juga suara nyata di sekitarnya. Ia seperti tenggelam di palung terdalam. Tidak dapat mendengar apapun dan pandangannya memburam, lalu semuanya gelap.



TBC

A/N : Halo semuanya!! Happy New Yearrr, wah udah 2022 semoga di tahun ini semua berjalan dengan lancar dan lebih baik dari tahun sebelumnya ya. Kali ini aku bawa fic baru, jelas masih meanie tapia da sedikit bumbu-bumbu misteri dan sebenarnya fict ini udah lama digarap tapi karena males belum bisa dilanjut dan hari ini aku putusin buat langsung up ini, kalo gak di-up nanti malah makin males buat nulis wkwkkwk. Okee semoga kalian suka, have a nice day^^

ANOTHER • Meanie (On Going) Where stories live. Discover now