Bagian 8. Semua yang Terasa Salah

26 8 0
                                    

If every tiny flower wanted to be a rose,
spring would lose it's loveliness.
ST. Therese of Lisieux

Setelah dari Tempat Rahasia dan mengantarkan Lais menuju rumah sakit, kami menemukan ibunya—tante Carol, dan Alika sedang berbicara dengan para suster. Mereka tampak khawatir, apalagi Alika yang sudah menangis sesenggukan. Tapi begitu melihat kami, aku pikir Lais akan dimarahi, padahal tidak. Ibunya berlari dan memeluk Lais, begitu juga tangisan Alika yang menggema. Para suster menghela napas lega, lorong rumah sakit pun saat itu menjadi heboh sejenak. Lais meminta maaf sambil sedikit bercanda, aku melihat es krim, ingin beli tapi tidak ada uang.

Racauan tidak jelasnya diketawai oleh kami.

Lalu, tadinya aku ingin tetap berada di rumah sakit, tidak ingin pulang ke apartemen. Tapi tante Carol bersikeras agar aku pulang. Beliau tidak mengusir aku, hanya saja katanya itu akan membuat keluargaku khawatir. Lais juga kembali mengingatkan aku, dia bilang, katanya ingin memperbaiki?

Aku malah bengong sebentar. Meski aku yang mengajaknya, tetap saja rasanya sulit. Bicara saja itu lebih mudah dibandingkan melakukannya.

Rumah sakit itu tempat orang-orang yang ingin sembuh, kamu tidak boleh terus berada di sini. Kamu bisa datang lagi besok setelah pulang sekolah, kata tante Carol, lalu mengantarkan aku pulang.

Di luar dugaan, aku pikir tante Carol adalah wanita yang keras. Terlihat dari raut wajah lelahnya yang garang, seolah beliau telah lama bekerja sebagai pejabat negara. Tapi beliau ramah dan murah senyum. Kepadaku, beliau bilang, terima kasih sudah berteman dengan Lais. Sambil menggenggam tanganku, beliau menangis. Sama seperti Lais, tante Carol juga memiliki rasa takutnya sendiri. Bahkan ketika mencoba untuk mengelus lengannya, tatapan kecewa begitu jelas terlihat.

Aku terenyuh. Baru pertama kali melihat dan berhadapan dengan seseorang yang tengah bersedih, atau bahkan amat sedih. Aku tidak pandai menghibur, tapi yang dapat kulakukan saat itu adalah balas menggenggam tangannya, tersenyum, dan memeluknya. Aku membagi kekuatan dan keberanian yang aku punya, meski tidak seberani dan sekuat Lais.

Mungkin, tante Carol juga tidak ingin semuanya terjadi. Sama seperti keluarga kami yang kacau, tante Carol juga pasti ingin memperbaikinya. Terlebih dengan kondisi Lais yang sakit. Sebagai seorang ibu, tante Carol tampak keras dan kuat agar anak-anaknya tidak dapat mengetahui sisi yang ini. Sisi yang rapuh.

Aku jadi berpikir, apa ibuku juga bisa menangis seperti ini? Hal apa yang tidak aku ketahui tentang ibuku?

Tepat pukul delapan malam, aku sampai di apartemen. Nenek menunggu di luar dengan gelisah, ternyata tante Carol sudah mengabari Nenek kalau aku ada bersamanya. Jadi Nenek tidak lagi mencari, beliau hanya menunggu sambil mondar-mandir.

Begitu turun dari mobil, Nenek memelukku, beliau juga berterima kasih pada tante Carol karena mengantarku pulang.

Akhirnya, kami pun berpamitan. Aku masuk ke dalam apartemen dengan Nenek, sedangkan tante Carol kembali ke rumah sakit.

Melihat mobil tante Carol yang menjauh di jendela, aku diam-diam berdoa, semoga kami bisa sama-sama memperbaiki keadaan, semoga kami sama-sama bisa menjalani rintangan apa pun yang akan datang seperti kejutan.

***

Aku belum tidur.

Ini jam setengah sebelas malam, dan aku belum dapat menarik rasa kantuk agar aku bisa segera terlelap. Tadi setelah masuk ke dalam apartemen, Nenek tidak menanyakan apa-apa yang menyinggung soal Ibu dan Ayah, atau ke mana aku pergi. Beliau hanya menyuruhku untuk berganti baju, makan jika mau, dan segera beristirahat. Mungkin, Nenek tidak ingin aku tambah bersedih.

[END] Happiness is About What Make Us SmileWhere stories live. Discover now