Bagian 5. Tentang Menerima

39 11 0
                                    

You and I are a team.
There is nothing more important than our friendship.
Mike Danowski, Monsters Inc

Aku kembali pulang ke rumah setelah Lais dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Kondisinya kurang stabil, ada satu alat besar untuk menyuarakan denyut nadinya berbunyi biip... biip... biip di sisi tempat tidurnya. Tangannya dipasang infusan, begitu juga hidung yang dipakaikan alat bantu pernapasan.

Tadi Lais melakukan pemeriksaan elektrokardiografi—EKG, yang bertujuan untuk merekam aktivitas listrik jantung pasien dengan dokter. Dan dari sana, Lais diketahui mengidap penyakit jantung—acute myocardial infarction (AMI)—jantung koroner yang sudah kronis. Tentu aku terkejut, aku bahkan tidak menyangka dia memiliki penyakit jantung. Yang aku tahu, penyakit jantung koroner adalah kondisi ketika pembuluh darah jantung (arteri koroner), yang tersumbat karena tertimbun lemak. Kalau lemak semakin menumpuk, maka arteri akan semakin menyempit, dan membuat aliran darah pada jantung berkurang.

Tapi bagaimana bisa? Tubuh Lais sangat kurus, dan dia mengidap penyakit jantung koroner?

Segera ketika pulang, aku mencari informasi di internet. Ternyata bukan hanya orang gemuk saja yang menjadi indikator utama terkena penyakit jantung—orang yang kurus juga dapat kena. Dalam suatu penelitian yang aku dapat di internet, orang yang kurus memiliki risiko pra-diabetes dan obesitas metabolik. Lemak yang menjadi penyebab obesitas pada orang kurus disebut lemak viscerallemak tubuh yang disimpan di dalam rongga perut di sekitar organ internal; hati, usus, dan pankreas. Lemak visceral disebut juga sebagai "lemak aktif".

Dalam penelitian menunjukkan bahwa jenis lemak visceral berpotensi berbahaya dan memengaruhi fungsi hormon. Menurut WHO, penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian di dunia. Pada tahun 2015, tercatat 7 juta orang meninggal dunia akibat penyakit ini.

Saat aku hendak pulang, aku juga sempat melihat ayah Lais yang bertubuh besar juga mengidap penyakit jantung—tapi tidak separah Lais. Penyakitnya juga diakibatkan faktor keturunan.

Dia tidak menunjukkannya, dia sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia sakit padaku. Sejak kali pertama kami bertemu, dia seperti anak laki-laki biasa yang secara kebetulan memiliki beberapa persamaan denganku.

Malam itu, Nenek datang ke kamarku dan membawakan kue kering dengan susu. Nenek bilang, semuanya akan baik-baik saja jika kita percaya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Malam bergulir menjadi pagi. Dia belum bangun di rumah sakit, membuat seisi kelas sepi. Tidak ada yang menertawakan guyonan guru dengan keras, tidak ada yang mengajakku makan bersama, tidak ada yang mengajakku naik sepeda bersama sepulang sekolah. Seolah semuanya menjadi lengang karena Lais tidak ada.

Sorenya, aku berjalan sendirian di trotoar, di bawah pohon mapel yang rindang. Tukang es gelato terlihat sepi pembeli, tapi jalanan masih seramai saat kami lewat sini menaiki sepeda. Tadinya aku mau pergi ke Tempat Rahasia, sayangnya saat melihat jalanan di gang sepi, aku urung niat.

Saat aku menemukan Lais tergeletak di sana, itu saat dia hendak menuju Tempat Rahasia. Terbukti dari barang bawaannya yang berisikan bibit stroberi, bluberi, dan sawi. Dia juga membawa sekotak berisi surat-surat kosong.

Entah surat-surat itu untuk apa, yang pasti aku akan menanyakannya saat dia siuman.

***

Tiga hari berlalu. Tepat pada tanggal dua belas, saat di taman wilayah Greenwich Village, aku melihat Ibu berjalan dengan laki-laki asing sambil menggendong bayi. Mereka tampak serasi, seolah pasutri. Entah Ibu mengenaliku atau tidak, aku berjalan melewatinya. Dan benar apa kata orang, kalau insting seorang ibu pada anaknya sangatlah kuat. Jadinya Ibu memanggil, tapi aku menghiraukan.

Aku tidak tahu harus sampai kapan marah padanya.

Karena memutar jalan yang agak jauh, aku telat sampai di rumah Nenek. Terlihat kembali Ibu berada di ruang tamu dengan Nenek. Beliau sedang mengobrol, entah soal apa. Aku tidak tahu, aku juga tidak mau tahu.

Allura. Panggilannya masih selembut dulu, tapi beliau sudah berbeda. Aku tidak lagi mengenalinya sebagai ibu yang menyeramkan karena overprotektif pada keluarga kami. Aku tidak lagi mengenalinya sebagai ibu yang tidak dapat mengupas bawang banyak-banyak, aku tidak lagi dapat mengenalinya sebagai ibu dengan tawa yang khas.

Ibuku telah berubah. Terlihat dari pakaiannya yang sekarang modis dan sudah menjadi istri dari laki-laki asing. Meninggalkan aku dengan Ayah.

Saat itu, aku mengerutkan dahi marah lalu membalikan badan, keluar dari apartemen. Ibu memanggil sambil berlari, berusaha menghentikan aku, tapi aku mengelak dan menjauh dari ibu. Terus melangkah menjauh dari apartemen, aku berhenti di depan rumah sakit.

Dadaku terasa sesak, aku butuh seseorang yang seperti Lais di sisiku. Karenanya, aku berjalan masuk ke dalam rumah sakit tanpa memikirkan bagaimana mengatur ekspresi jika bertemu kedua orang tua Lais, apa yang harus aku jawab ketika mereka bertanya, atau mesti berlaku seperti apa pada mereka ketika aku datang tanpa membawa barang bawaan.

Namun, yang aku dapati hanyalah kamar rawat yang sepi. Dia terkulai lemah di atas kasur dengan mata yang terpejam damai. Mesin yang bersuara biip... biip... biip itu masih berada di sisi ranjang, juga seorang gadis yang terduduk bersandar di dinding sambil memeluk lutut. Kedua bahunya bergetar, isakan tangis terdengar.

Aku masuk ke dalam ruangan, gadis itu tampaknya tidak peduli siapa yang masuk. Lalu aku mendekat, berjongkok di hadapannya, dan menyentuh sebelah bahu anak perempuan itu. Dia mendongak, terlihatlah wajah kuyu yang penuh air mata. Mengetahui siapa aku, dia segera memeluk dan menangis lebih kencang.

Kakak ... kakak belum bangun, Kak Lu, katanya, dengan suara tercekat.

Aku mengangguk, mengelus punggungnya. Dia akan segera bangun. Kakakmu bukan orang yang lemah, Alika.

Nanti kalau kak Lais tidak bangun, tidak ada yang menjaga keluarga kami. Ibu akan sibuk bekerja, dan ayah .... Dia terus menangis dan menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa harus kak Lais yang sakit? Kenapa tidak orang lain saja? Kenapa harus kakakku?

Sore menjelang malam itu, aku menggeleng berkali-kali pada Alika—adik perempuan satu-satunya Lais. Aku jawab, aku tidak tahu. Karena bagaimanapun juga, pertanyaanku dengan pertanyaan Alika sama, kenapa harus kami? Kenapa kami dipertemukan dengan kondisi seperti ini?

Aku sama kesepiannya dengan Alika. Keluarga kami sama-sama berantakan, sama-sama tidak utuh. Kepingan hati kami juga tidak lagi rata, semuanya hancur seolah membentuk rubik dengan warna acak.

Aku butuh Ayah sekarang, tapi aku juga meninggalkan beliau sendirian. Aku ingin mengadu pada Nenek, tapi ada Ibu di sana.

Kamu tahu, Lu? Sebenarnya tidak apa-apa jika kita menerima semuanya, teringat Lais berkata demikian saat di Tempat Rahasia. Tapi bagaimana aku bisa menerima semuanya, La? Sedangkan segala hal yang aku punya mulai lepas satu-persatu. Mulai hilang, kembali menjatuhkan aku pada gelap.

Lantas hal apa yang harus aku terima?

Setelah menangis, Alika jatuh tertidur dan aku memindahkannya di atas sofa. Kini beralih aku yang duduk sebentar menemani Lais, sebelum kemudian pulang dan mendapati Nenek menunggu di depan rumah sakit. Beliau membawakan aku jaket, air mukanya khawatir.

"Nenek tahu Lu pasti ada di sini." Nenek tersenyum. "Kita pulang, ya?"

Aku tidak mengangguk, aku juga tidak menggeleng. Adanya Nenek di sampingku sekarang membuat aku sedih. Bagaimana jika Nenek juga pergi meninggalkan aku sendirian? Jika itu terjadi, apa yang harus aku lakukan?

Lagi-lagi aku tidak menemukan jawabannya.

Aku pikir, musim semi kali ini akan jauh lebih hangat dibandingkan musim semi tahun lalu. Tapi ternyata, tidak sehangat yang aku bayangkan. Aku justru ketakutan, kalau semuanya akan menjadi lebih buruk dari yang aku kira sekarang.

***

1.164

bougenvilleap_bekasi
AulRin_09
AraaaaKyuddd
LintangPansavialysan

[END] Happiness is About What Make Us SmileWhere stories live. Discover now