Winter/10

1.1K 171 1
                                    


Sudah dua jam, dua jam ku biarkan Karina menangis di makam saudariku.

Segala kekesalan, teriakan, bahkan makian Karina lontarkan begitu saja. Aku tau itu salah, Karina tak boleh melakukan itu.

Tapi Karina juga pasti sangat syok mendengar kabar tentang mendingan saudariku yang telah tiada, kekasihnya yang sebenarnya.

Ku pandang jam tanganku dan kembali menatap Karina yang sedang termenung lebih memandang kosong ke arah makam Winter.

Aku menghela nafas berat, tak bisa ku biarkan Karina semakin lama disini. Hidung gadis itu bahkan wajahnya telah memerah dan bengkak karena udara dingin ini.

Ku bersihkan diriku dari salju karena payungku, ku berikan ke Karina. Aku berjalan pelan ke arahnya.

Memegang bahunya dari belakang, dia tak berniat ingin menoleh kepadaku.

Aku menelan salivaku dan beralih berdiri di hadapannya, "Karin?".

Dia perlahan menoleh ke arahku, menatapku dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

Aku tersenyum dan menepuk beberapa kali bahunya tapi gerakan cepat itu mendorong diriku hingga terjatuh di tanah.

Karina memelukku, tangisannya kali ini lebih keras. Tangisannya yang kencang membuat mataku berkaca-kaca. Hatiku teriris mendengar betapa pilunya jeritan Karina.

"Tidak apa apa, Karin. Tidak apa apa." Aku menepuk nepuk pelan punggungnya.

"Winterku. . Kenapa dia harus berbohong. . aku tak bisa kehilangannya." Sela Karina dari tangisan pilunya.

Aku menelan salivaku dengan susah payah, "Winter bilang, Karina adalah gadis yang baik, dia adalah sosok yang cantik dan memiliki senyum yang menawan. Aku tak bisa melihat dia harus kehilangan." Kata Winter waktu itu, ku beritahu Karina bagaimana Winter memberitahuku dulunya dengan tatapan sendu namun penuh cinta untuk Karina.

Tangisan Karina semakin kencang, aku memeluknya semakin erat.

"Winter, apa yang harus ku lakukan?" Aku beradu argumen dengan diriku sendiri. Aku bingung, setelah ini apa yang akan terjadi? Bisa saja Karina membenciku karena tak memberitahunya tentang Winter.

~

"Nak Minjeong?" Aku menoleh dan berdiri ketika ibu Karina datang.

Ibu Karina menggeleng pelan padaku. Aku tersenyum tipis dan mengangguk, kembali terduduk.

Sudah dua hari, Karina tak berani bertemu denganku kata ibunya.

Aku dapat memahaminya, dia mungkin tak suka akan kehadiranku.

"Nak?" Aku tersadar dari lamunanku, ku lihat ibu Karina.

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya, "Ibu, aku harus pergi ke Busan sekarang. Nenek sendiri, aku takut terjadi apa apa." Aku harus pulang, aku sudah cukup merepotkan temanku di sana untuk merawat nenekku walaupun dia selalu berkata tidak apa apa.

Ibu Karina mengangguk padaku dan mengelus pipiku, "Hati hati, nak."

Aku tersenyum dan mengambil sebuah amplop hitam, memberikannya pada Ibu Karina.

"Ibu kali ini tolong paksa Karina, maaf. Tapi suruh dia membaca suratku." Ku genggam tangan ibu Karina dengan erat beserta amplop yang telah ku berikan padanya.

"Nak Minjeong tidak perlu khawatir. Karina akan membacanya." Ucapnya dan aku mengangguk percaya.

Aku pamit dan keluar dari rumah Karina. Aku mendongak, tirai kamarnya Karina tertutup.

Aku menghela nafas berat dan segera menuju stasiun untuk ke Busan.



[To be continued]

Winter✔Where stories live. Discover now