Pesan Menyembilu

9 1 0
                                    

"Kamu udah baikan?" sapa Saras mendapati Nika termenung di dapur, sementara air di dalam panci sudah mendidih.

Nika berjengit. Dia melirik Saras sebentar, lalu mematikan kompor. Aroma wangi kapucino menguar saat gadis blasteran itu menyeduh dengan air panas.

"Mbak mau bikin kopi juga?" Nika menenteng cangkir bergambar teddy bear ke meja makan.

Saras menggeleng. "Aku enggak suka kopi." Dia mengambil gelas dari dalam lemari makan, lalu memencet air hangat dari dispenser.

"Kalau aku enggak bisa hidup tanpa kafein. Ya, walau enggak terlalu tinggi. Tapi, ya, itu, kapucino ini bikin nagih."

Saras tersenyum, lalu melenggang mendekati Nika. Dia menarik kursi untuk duduk bergabung dengan gadis tersebut.

"Yang tadi itu siapa? Saudara kamu?" tanya Saras, sambil meraih toples yang berisi kue buatan Ina kemarin sore. Gadis itu sedang giat-giatnya belajar membuat kue. Dia mengatakan, ingin membuat kejutan spesial untuk seseorang.

"Bukan Mbak. Yang perempuan namanya Mbak Mirna, dia yang punya kos-san lama aku."

Dahi Saras berkerut, bukan karena mendengar jawaban Nika, tetapi kue kering Ina terasa aneh di lidahnya.

"Kayaknya kamu akrab sama dia," ujar Saras mengambil serbet, lalu melepehkan kue buatan Ina. Rasanya amat sangat tidak enak.

"Iya, Mbak Mirna orangnya baik. Anak-anaknya dekat sama aku." Nika tersenyum, membayangkan si kembar.

"Termasuk dengan suaminya?" tanya Saras acuh tak acuh.

Gerakan tangan Nika yang memutar-mutar ujung jari telunjuknya di atas bibir gelas, mendadak berhenti. Dia menatap Saras dengan dahi mengernyit.

"Maksudnya?"

Saras meneguk lebih dulu air minumnya sebelum menjawab. "Enggak, kamu bilang akrab sama Mirna juga anaknya. Jadi, kupikir kamu akrab juga sama suaminya."

Nika berdehem. Dia menyesap kapucino yang mulai mendingin. Mungkin Saras tak bermaksud apa-apa. Lagi pula, mana mungkin wanita itu tahu masalah yang sedang membelitnya. Dia saja yang terlalu curiga karena merasa bersalah.

"Aku enggak terlalu akrab sama suami Mbak Mirna. Cuma pernah ngobrol, sih."

"Baguslah. Aku cuma enggak respek aja liat suaminya. Enggak tahu kenapa?" ujar Saras blak-blakan.

Giliran Nika yang dibuat bingung oleh pernyataan Saras.

"Gini, lho ...." Saras menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi saat melihat tatapan bertanya dari Nika. "Aku sering dampingin wanita-wanita yang meminta penyelesaian konflik rumah tangga mereka. Rerata suami mereka itu selingkuh. Dan kebanyakkan selingkuhan itu bukan orang lain, tapi orang-orang terdekat mereka. Nah, kenapa bisa terjadi?"

Saras menjeda kata-katanya, "karena faktor kedekatan dan pertemuan yang intens, sehingga timbullah perasaan nyaman. Lama-lama berkembang menjadi sesuatu yang terlarang. Biasanya kedekatan mereka enggak akan dicurigai karna udah dianggap biasa. Dengan dalih, 'ah, enggak mungkinlah mereka berkhianat.' Tapi, kenyataan di lapangan banyak hal kayak gitu yang terjadi."

Wajah Nika memerah mendengar penjelasan Saras. Meski tahu Saras hanya menjelaskan, tetapi dia merasa tertampar karena apa yang diucapkan wanita berambut sebahu itu benar adanya. Perbedaannya hanyalah, hubungan dengan Ibra berawal dari ketidaktahuannya. Salahnya, dia tidak mundur saat mengetahui pria itu sudah menikah. Rasa cinta telah membutakan mata hatinya.

"Aku sangat benci perempuan-perempuan yang merendahkan diri menjadi orang ketiga dalam pernikahan seseorang. Apalagi kalau sebenarnya dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik. Perempuan itu seperti merendahkan nilai mereka sendiri. Gimana menurut kamu?" Lagi, Saras meracau.

Nika tersenyum canggung, lalu meneguk minumannya sampai tandas. "I-iya, Mbak. Kayak enggak ada aja pria lain di dunia." Dia mencoba tertawa, tetapi sadar terdengar hambar. Nika merasa menertawakan diri sendiri. "Aku ke kamar dulu, Mbak. Ngantuk."

Saras mengangguk saat Nika berjalan meninggalkan ruang makan. Dia meraih gelas yang berisi setengah air mineral, lalu bergumam. 'Aku harap kamu bukan bagian dari perempuan-perempuan itu, Nik.'

*

"Eh, kirain siapa!" Nika terlonjak saat membuka pintu kamar dan melihat Ina sudah duduk di atas tempat tidurnya. Wajah gadis itu ditutupi masker berwarna hitam. Entah apa namanya, Nika tak paham.

"Aku lagi galon, Mbak. Makanya ke sini," balas Ina pelan.

"Ada apa, sih? Kayaknya sedih banget." Nika ikut duduk di sebelah Ina, sambil meraih telepon genggamnya.

Ina menggeleng. Dia menatap Nika lekat, memperhatikan setiap jengkal wajah temannya, membuat Nika jengah.

"Ada apa, sih? Liatin aku kayak gitu banget?"

"Mbak, makan apa, sih? Kok, bisa cantik banget?"

Mata Nika membesar mendengar pertanyaan polos Ina. Mau tidak mau tawa keluar juga dari bibirnya.

"Samalah kayak kamu. Nasi, lauk, buah, sayur. Enggak ada yang aneh."

"Kok, bisa putih banget. Aku udah luluran tiga kali seminggu, pake masker rutin, belom perawatan lainnya, masih aja coklat kayak gini." Ina mengeluh, seraya memperhatikan kulit tangannya.

Nika menghela napas panjang. Sepertinya Ina mengalami krisis kepercayaan diri, hingga membandingkan dirinya dengan orang lain.

"Dengar, aku putih karna Papaku asli Rusia. Sementara Mama orang Indo yang kebetulan ada darah chinese-nya. Jadi, emang genetiknya udah putih. Mau panas-panasin di bawah matahari, bukannya coklat malah merah."

Bibir Ina mengerucut. Dia menopang dagunya dengan tangan. "Enak, ya, punya bapak bule. Coba kalau Bapak Ina bule, mungkin bisa putih kayak Mbak juga."

Nika menggeleng pelan mendengar celutukan Ina. Ada yang berbeda dengan gadis itu. Tadi siang dia terlihat ceria, bahkan mampu menjadi pawang si kembar yang terkenal sangat aktif.

"Kenapa, sih, tiba-tiba kamu masalahin putih atau enggak? Kan, kemarin udah kita omongin. Enggak perlu insecure sama diri kita sendiri. Toh, kalau orang suka bakal tetap suka."

"Iya, sih, Mbak." Ina menatap ragu ke arah Nika. Dia ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal hati. Namun, kesulitan mencari kalimat yang tepat agar Nika tak salah paham. "Mbak, aku mau cerita ...."

Nika lebih dulu merebahkan badannya. Meletakkan telepon genggamnya di atas meja oshin, lalu menutup mata dengan tangan yang diletakkan di atas wajah.

"Besok aja, ya, aku pusing. Mau tidur."

Ina terdiam mendengar reaksi Nika. Tadinya dia berharap gadis blasteran itu mau mendengarkan curhatannya. Tidak terlalu panjang sebenarnya, tetapi dia memilih memahami Nika. Mungkin memang temannya itu belum sembuh benar.

Ina menatap pesan yang terkirim ke telepon genggamnya lima belas menit yang lalu. Melihat siapa pengirim pesan, dadanya nyaris meledak bahagia. Dari mana Alvian tahu nomor WA-nya. Namun, dentuman itu berganti dengan geletar pilu, saat membaca pesan dari sang pria. Dia tersenyum getir. Mungkin dia yang merangkai angan terlalu tinggi. Seperti pungguk merindukan bulan, seperti ingin melihat bulan di siang hari.

Alvian sekarang adalah kemustahilan baginya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Perempuan Tanpa NarasiWhere stories live. Discover now