Tikaman Rasa Bersalah

85 23 1
                                    

Nika Oksana, gadis yang memiliki postur tubuh langsing bak model, tersenyum melihat dua anak kembar berlarian keluar kamarnya, sambil memegang coklat Neuhaus--hadiah dari salah seorang temannya yang pulang berlibur dari Belgia--salah satu coklat terenak di dunia, yang diproduksi perusahaan cokelat dari Belgia dan sudah berdiri sejak tahun 1857. Pendirinya adalah Neuhaus yang awalnya lebih terkenal dengan cokelat buatan tangan. Produk andalan perusahaan tersebut yaitu chocolate milk.

Selepas anak-anak itu hilang dari pandangan, Nika kembali mengemasi semua pakaian yang terserak di atas pembaringan. Beberapa koleksi boneka teddy bear dan perabotan penting, sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam kardus.

"Jadi pindah hari ini?" Seorang wanita menyapa, seraya memperhatikan kardus-kardus yang tersusun rapi di dekat pintu masuk.

Nika menoleh, lalu mengulas senyum melihat siapa yang sedang berdiri di ambang pintu.

"Jadi, Mbak. Kemarin udah dapat kosannya." Nika menjawab sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper.

Wanita bernama Mirna yang merupakan pemilik kosan yang sekarang ditempati Nika mendekat, lalu duduk di pinggir pembaringan. Matanya terus mengamati gerakan gadis yang sudah dianggap adik sendiri.

"Mbak enggak ngerti kenapa kamu mesti pindah ngekos. Apa ada yang bikin kamu enggak betah?"

Nika menggeleng pelan. "Enggak Mbak, kosan aku yang sekarang lebih dekat ke kantor. Jadi enggak bakal kejebak macet lagi."

Mirna mendesah pelan. "Si kembar pasti sedih banget kamu pindah. Enggak ada lagi, 'sweet aunty'. Enggak ada lagi yang dipalakin coklat."

Tawa kecil keluar dari bibir Nika mendengar keluhan Mirna. Namun, tak lama berubah menjadi senyum getir. Andai Mirna mengetahui alasan kepindahannya, tentu wanita cantik berwajah oriental itu tak akan sebaik ini. Nika mengusir rasa bersalah yang bertandang ke dada. Dia semakin cepat memasukkan pakaian yang tersisa. Setelah memastikan lemari dan laci-laci kosong, gadis itu menarik resleting koper, lalu menyeret ke dekat pintu masuk, menyatukan dengan barang-barang yang hendak diangkut.

"Kak, mana, nih, barang-barang yang mau dimasukin ke mobil?" Salah seorang dari tiga pemuda yang entah kapan datang, bertanya kepada Nika.

Nika menunjuk ke arah tumpukan barang-barangnya. "Tolongin dimasukin ke mobil, ya. Kalau enggak muat di bagasi, tarok di jok mobil belakang sama tengah aja."

"Beres, Kak!" Ketiga pemuda yang berdiri di ambang pintu, bergegas mengangkat barang Nika satu per satu.

"Liat, saking sayangnya sama kamu, dimintai tolong sekali aja mereka langsung kumpul. Enggak berat, ya, ninggalin kami semua di sini?"

Mirna mencoba menggoyahkan pendirian Nika. Gadis blasteran Rusia-Jawa itu tinggal bersamanya sejak dua tahun yang lalu. Pertemuan keduanya tidak sengaja. Kala itu mereka sama-sama mengantri di praktek dokter umum yang tak lain suami Mirna. Sambil menunggu, Mirna mengajak Nika mengobrol dan memperkenalkan diri sebagai istri sang dokter. Mengetahui teman barunya itu baru saja pindah ke Indonesia dan mencari tempat tinggal, Mirna menawari untuk tinggal di paviliun di sebelah rumahnya. Wanita yang juga berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak itu sangat susah terbuka dengan orang lain, tetapi dengan Nika, dia bisa bicara apa saja.

"Nanti aku sering-sering main ke mari, Mbak." Nika memeluk Mirna erat, seraya memejamkan mata. Dia berharap kepindahannya bisa mengurangi rasa bersalah yang terus-menerus menikam dadanya.

Mirna membalas pelukan Nika lebih erat. "Mbak nanti juga bakal sering-sering main ke kos-anmu, sambil bawa si kembar. Nanti kalau enggak nyaman di sana, balik lagi ke sini, ya."

Nika mengurai pelukannya. Lalu bangkit, seraya menyandang tas selempangnya. Dia tersenyum kepada Mirna. "Aku minta maaf kalau selama ini aku banyak nyakitin Mbak. Baik secara sadar atau enggak. Aku berharap bisa punya Kakak seperti Mbak."

"Kamu udah Mbak anggap adik. Jadi, kapan saja kamu mau, mampirlah ke sini. Rumah ini selalu terbuka untukmu."

"Makasih, Mbak." Nika berdiri, seraya mengitari kamar yang dia tempati dengan matanya. Terlalu banyak kenangan di tempat itu. Baik suka, duka, maupun dosa. Dia memejamkan mata ketika bayangan dosa itu melintas di mata. Penyesalan bertubi-tubi menghantam benaknya. Namun, dia bisa apa? Semua telah terjadi, yang harus dilakukan kini, menghapus semua kenangan dan memulai hidup baru tanpa mengingat masa lalu.

*

Mobil Xenia berwarna silver milik Nika melaju sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hati si gadis berada di balik kemudi. Sejak tadi jantungnya tak berhenti berdebar. Dering telepon dengan ID pemanggil yang sama, terus saja berbunyi nyaring. Nika sudah mematikan nada deringnya, tetapi layarnya tetap menyala menandakan si penelepon belum menyerah dengan aksinya.

Mata Nika memanas mengingat semua hal manis yang pernah dia reguk. Rasanya tak ingin mengakhiri segalanya, tetapi setelah perenungan panjang, dia seketika jijik pada dirinya sendiri. Menangis setiap malam dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Namun, esoknya saat bertemu dan mendengar suara seseorang yang dia cintai, hatinya luluh dan  menyerah jatuh kembali ke dalam genangan dosa.

Perlahan pandangan gadis beriris coklat itu memburam. Rasa panas di mata menggenangkan cairan bening di kelopaknya. Nika menganjur napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Dia ingin mengurai pilinan rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada. Andai saja pertemuan itu tak pernah terjadi, andai saja rasa terlarang itu dia biarkan mati, tentu hidupnya tak serumit ini.

Nika mengedipkan kelopak matanya dengan cepat, mencegah linangan di mata tak jatuh ke pipi. Kali ini dia tak boleh lemah. Bukankah semua sudah dipikirkan dengan matang? Dia yakin cepat atau lambat rasa itu akan menghilang. Bukankah dia sudah akrab dengan kata kehilangan? Nika meraih telepon pintarnya. Mengambil satu nama kontak  kemudian menekan tombol blokir.

Baru saja hendak meletakkan telepon kembali, benda pintar itu kembali berdering. Nika melihat ID pemanggil dengan nama, 'Ina nge-bug'. Refleks bibirnya mengulas senyum. Hampir saja lupa pada teman barunya itu. Gadis bertubuh subur, berwajah imut,  dan lucu. Nika pikir hidupnya akan lebih berwarna berteman dengan Ina.

"Hallo, Ina, udah beres belum? Ntar lagi aku nyampe."

"Udah dong Mbak cantik." Terdengar tawa cempreng Ina di ujung telepon. "Eh, Mbak namanya siapa? Masa Ina manggilnya Mbak cantik? Ntar lama-lama idung Mbak gede dipuji terus."

Terang saja tawa Nika pecah mendengar racauan Ina. Feeling dia benar  gadis itu bisa menjadi goodbosternya.

"Kalau gitu enggak jadi jemput, ah. Masak nama aku aja enggak tau? Kan, kurang akhlak bener."

Nika tertawa membayangkan bibir Ina mengecut ke depan mirip ikan mas koki.

"Ih, salah Mbak enggak kasih tau. Lagian, jangan bawa si akhlak, Mbak, kasian, dia enggak tau jalan. Ntar nyasar, Mbak mau tanggung jawab?"

Lagi-lagi tawa Nika pecah. Sepertinya Ina cocok bergabung di grup lawak srimulat atau jadi stand up comedy.

"Iya, iya, tunggu aku. Ini mau nyampe." Nika segera memutus pembicaraan ketika mobil memasuki gang sempit.

Tinggal Ina yang terbegong syahdu, sambil menatap teleponnya dengan raut seimut mungkin dan bergumam, 'kan, enggak tau lagi siapa nama Mbaknya ....'

Perempuan Tanpa NarasiWhere stories live. Discover now