Cantik Hati Bukan Wajah

12 1 0
                                    

Matahari belum terlihat di langit, meski ayam sudah berkokok sambung menyambung sejak tadi. Mungkin hujan semalam masih menyisakan awan mendung, hingga sang surya pun enggan meninggalkan peraduannya. Akan tetapi, bagi Ina tak ada kata malas bangun. Gadis itu penganut tidur cepat, bangun juga harus cepat. Dia sangat paham, tidur larut bisa membuat tubuhnya tak bisa menghasilkan kolagen alami, yang terbentuk selama tidur. Itu pun hanya dibatasi dari pukul sepuluh malam, sampai terbangun. Hal pertama yang dilihat Ina saat bangun adalah, mengagumi wajahnya yang sehalus pantat bayi. Yah, Ina terobsesi dengan pantat bayi. Kulit pantat bayi maksudnya.

Ina membuka jendela dapur yang menghadap ke jalan. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat jalanan yang basah sisa hujan semalam, karena diterangi lampu yang masih menyala. Dia menghirup udara pagi yang lembab. Membiarkan udara segar itu memenuhi paru-parunya.

Setelah semangatnya terpompa, Ina membuka lemari pendingin. Memeriksa apa yang bisa dimasak pagi ini. Gadis itu bersyukur tinggal dengan dua orang perempuan mandiri yang tidak perhitungan. Nika sangat kaya, tetapi memilih ngekos, selalu memenuhi kulkas dengan bahan makanan. Ina bebas memasak apa pun yang dia mau. Simbiosis mutualisme sebenarnya. Begitu pun Saras, perempuan itu tak kalah mentereng, mempunyai empat  usaha percetakan. Dia juga seorang penyintas untuk korban KDRT. Sehari-hari, Saras bisa ditemui di sebuah lembaga LSM khusus penanganan perempuan korban kekerasan. Saat mengetahui teman kos-annya itu seorang relawan kemanusian, Ina langsung terkagum-kagum. Sosok Saras seperti Srikandi di zaman modern.

Ina tidak hanya seperti kejatuhan durian runtuh, tetapi ketiban sama pohonnya sekalian. Bagaimana tidak, tinggal dengan dua perempuan yang perekonomiannya stabil, membuatnya tak perlu mengeluarkan uang makan. Cukup memasak untuk mereka. Sebenarnya, Saras mau pun Nika tak pernah meminta gadis itu memasak, tetapi karena Ina memang hobi makan dan berkreasi di dapur, mereka mendiamkan. Toh, mereka juga ikut senang.

"Masak apa?" Saras yang sudah rapi menyapa Ina yang sedang menata makanan di atas meja.

"Sarapan Mbak. Aku masak nasi goreng seafood." Ina juga menuangkan teh hangat ke gelas, lalu mengangsurkan ke Saras.

"Wah, kayaknya enak." Saras menarik kursi, lalu duduk di hadapan meja makan. "Enak banget. Kamu udah bisa buka resto kalau kayak gini rasanya," pujinya setelah satu suapan nasi goreng masuk ke mulutnya.

Ina berdecak. "Ah, Mbak mujinya ketinggian."

"Eh, dibilangin enggak percaya. Lidah aku paling sensitif sama rasa makanan. Kalau enggak enak, pasti udah aku lepehin dari tadi."

Senyum Nika mengembang. Dia duduk di sebelah Saras dan menyesap teh hangatnya.

"Kamu enggak makan?" Saras heran melihat Ina hanya memandangi nasi goreng di atas meja.

"Enggak ah, Mbak. Kan, Ina mau diet. Kurangin makan nasi, biar langsing."

"Diet, sih, diet. Tapi caranya harus benar. Kalau enggak kamu termasuk zalim ke diri kamu sendiri." Saras menasehati, sambil mengunyah sarapannya pelan-pelan.

"Aku enggak zalim, kok, Mbak. Cuma ngurangin aja. Nanti siang aku makan nasi dikit, malam makan buah."

Saras mengangguk. "Bantu sama olah raga biar cepat." Dia meraih tehnya, lalu meneguk perlahan. "Tapi, sebenarnya kamu buat apa diet?"

Ina tersenyum. Dia berdiri menyendokkan bubur nasi ke dalam mangkok. "Ada, deh. Dilarang kepo!" sahut Ina lugas. "Ina anterin bubur ke kamar Mbak Nika dulu. Sekalian mastiin dia minum obat."

Saras membalas dengan senyuman tipis. Dia salut dengan cara Ina memperhatikan Nika. Seperti mengurusi saudara sendiri. Andai orang-orang tahu kecantikan paling hakiki adalah kecantikan hati, tentu gadis itu akan menjadi rebutan. Sayangnya, defenisi cantik di mata kebanyakan pria adalah, tinggi, langsing, dan berkulit putih.

*

"Mbak Nika, sarapan, yuk." Ina meletakkan bubur nasi ke atas meja oshin di sebelah tempat tidur Nika.

Tak ada jawaban, Ina membuka jendela kamar terlebih dahulu, agar sirkulasi udara lancar. Dia kembali memeriksa keadaan Nika dengan menyentuh dahinya.

'Masih panas ....' Ina bergumam.

"Mbak, sarapan dulu, yuk. Abis itu minum obat."

Nika menggeleng pelan. "Lidahku pait, aku mau tidur aja," lirih suaranya menjawab. Semalam dia mimpi buruk, membuat tidurnya tak nyenyak. Dia seakan-akan di datangi oleh Mirna sambil menggandeng tangan si kembar. Wanita itu tak bicara apa-apa, tetapi mata mereka penuh luka menyorot padanya. Saat terbangun, Nika hanya bisa menangis, menyesali kekhilafan yang dia lakukan.

"Enggak bisa, Mbak. Kalau gini Mbak lama sembuhnya. Ina udah bikin bubur ini penuh cinta, sedih kalau Mbak enggak makan."

Mendengar Ina merajuk, Nika luluh juga. Dia tahu Ina sangat tulus, meski mereka baru berteman, tetapi dia tahu hati gadis itu sangat baik. Nika duduk dibantu Ina. Bersandar di bantal yang ditumpuk di belakang punggung Nika.

"Kenapa kamu baik banget?" tanya Nika saat satu suapan masuk ke mulutnya.

"Baik gimana, sih, Mbak? Aku cuma masakin bubur," balas Ina sambil meniup-niup bubur agar tak membuat lidah Nika melepuh karena panas.

"Ya, itu. Kamu bolak-balik semalam buat jagain aku, masakin sarapan, jagain aku minum obat. Saudara sendiri belum tentu peduli."

Ina tersenyum. "Ina selalu ingat pesan Mbak Kakung. Kalau mau ditemukan oleh orang baik atau hal baik, maka kita juga harus melakukan kebaikan. Begitu pula sebaliknya. Ina ini terbiasa hidup susah Mbak, tapi enggak mau diakhirat nanti susah. Jadi, mau ngumpulin pahala banyak-banyak."

Mau tidak mau, bibir Nika mengulas senyum tipis. Perkataan Ina membuat hatinya menghangat. Tak pernah dia mendapat perlakuan seperti ini dahulu. Nika pikir, dengan uang dia bisa mendapatkan apa saja. Dia lupa, ketulusan tak bisa dihargai dengan materi karena lahir dari  hati baik.

"Gimana keadaan Nika?" Saras yang sudah selesai sarapan, masuk untuk melihat keduanya.

"Udah mendingan Mbak ...," jawab Nika pelan. "Mbak mau kerja?"

"Aku mau nemuin klien. Dia telpon kalau suaminya berulah lagi, aku mau ke rumahnya."

"Wah, diapain Mbak, istrinya?" Ina bercelutuk.

"KDRT, suaminya main perempuan, tapi enggak bisa kasih nafkah. Malah duit jualan istrinya diambil." Saras melirik jam di pergelangan tangannya, "yodah, aku jalan dulu. Cepat sembuh."

Nika mengganguk lemah.

"Lagi-lagi selingkuh. Ina gemes kalau ada perempuan yang suka godain suami orang. Kayak enggak ada aja perempuan lain." Ina menyuapi Nika kembali, "Mbak jangan jadi pelakor, ya, rugi. Cantik-cantik jadi pelakor."

Nika tersedak mendengar ucapan Ina.  Kata-kata gadis itu kembali mengundang rasa bersalah ke dadanya. Bagaimana reaksi Ina kalau sampai dia tahu, temannya ini pernah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga seseorang?

*

Saras memacu sepeda motor maticnya lebih cepat. Semalam pesan dari salah satu kliennya tak terbaca. Dia terlalu lelah memikirkan pria dari masa lalunya. Belum lagi keadaan Nika yang demam tinggi, membuatnya berkali-kali bangun untuk mengecek suhu tubuh gadis tersebut.

Sepeda motor kesayangan Saras berhenti di sebuah rumah kayu yang atapnya terbuat dari daun rumbia. Rumah yang bisa dikatakan amat sangat sederhana itu, terlihat sepi. Saras mengetuk pintu rumah, sambil sesekali mengintip dari jendela yang kacanya retak di mana-mana. Bahkan, ada yang pecah.

Tak terlihat pergerakan apa pun di dalam rumah. Ini bukan kali pertama Saras datang. Kliennya adalah seorang ibu muda dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Pertama kali bertemu di rumah sakit, saat si wanita harus dirawat karena dipukuli suaminya. Saras geram melihat keadaan wanita tersebut. Dia bermaksud melaporkan, tetapi si korban menolak dan mengatakan suaminya sedang khilaf.

Saras mencoba mengetuk sekali lagi. Alih-alih pintu terbuka sendiri. Sepertinya memang tak dikunci. Saras membuka pintu lebih lebar, menghalau udara pengap yang bersarang di dalam rumah. Dia masuk sambil memanggil sang empunya rumah. Dia menajamkan pendengaran saat mendengar tangisan. Langkah Saras bergegas menuju ke arah suara. Apa yang dilihatnya, membuat dadanya serasa ditindih batu besar. Kliennya telentang di lantai dengan wajah penuh luka dan yang membuat miris, dua orang anak balita sedang menangis memanggil nama ibu mereka.

Perempuan Tanpa NarasiWhere stories live. Discover now