Obrolan Tengah Malam

54 20 4
                                    

"Mbak Nika! Mbak Nika! Helep dong, itu gimana nyalain kompornya." Ina sudah memanggil nama Nika dengan benar. Itu pun setelah melihat name tag tempat temannya itu bekerja.

Nika mendesah keras. Baru saja menutup mata, suara Ina terdengar nyaring menggedor gendang telinganya. Dia meraih bantal, lalu membekap kupingnya untuk meredam panggilan itu. Dia juga berharap gadis itu berhenti mengetuk pintu kamar setelah diabaikan. Alih-alih menyerah, Ina semakin keras memanggil namanya.

Nika telentang menatap langit-langit, bermaksud mengumpulkan sabar sebelum menghadapi Ina. Dia melirik jam weker di atas meja oshin yang diletakkan di samping pembaringan. Pukul 02.15, itu artinya dia telah menghabiskan waktu tiga jam lima belas menit memikirkan pria itu lagi. Ternyata tak mudah melupakan kisah yang tercipta dua tahun lamanya. Padahal dia sudah membuang semua potret sang pria, tetapi tak tahu caranya menghapus kenangan yang melekat di tempurung kepala.

"Mbak Nika! Bangun, dong. Ini emergency!"

Lagi, panggilan Ina membuyarkan lamunan Nika. Bibirnya membentuk senyum tipis. Hal emergency apa yang membuat gadis manis bertubuh subur itu niat banget membangunkannya.

"Astaga! Ngapain itu muka kayak ditempelin kertas gitu?!" tanya Nika setelah pintu terbuka. Nyaris saja dia mengira yang berdiri di depan pintu kamar sebangsa kuntilanak.

"Ish, Mbak Nika enggak tau perawatan, ya? Ini namanya masker. Baik untuk wajah karna mengandung kolagen dan pemutih alami. Bisa bikin wajah glowing plus halus kayak pantat bayi." Ina menjelaskan seperti ahli kecantikan profesional.

"Ya udah, tempelin aja pantat bayi di muka. Lebih praktis," balas Nika acuh tak acuh.

Bibir Ina mengerucut. "Aiih, Mbak Nika sadis. Nanti Mak yang punya bayi marah lho."

Nika mengangkat bahu tak peduli.

"Mbak, bantuin nyalain kompornya dong. Kompor yang dikasih Mami lili gasnya abis. Makanya aku pakai kompor Mbak, tapi enggak mau nyala."

"Mau bikin apa tengah malam gini? Mau makan bareng kunti?"

"Ish, Mbak Nika becandanya jelek. Enggak boleh bilang kayak gitu. Ntar beneran datang lho."

"Biarin, kan lumayan bisa temenin kamu."

Langsung Ina bergidik ngeri. "Mbak jahat banget! Masak Ina yang cantik ini disuruh temenan ma kunti."

Nika tertawa melihat ekspresi Ina. Dia ragu kalau umur gadis tersebut sudah dua puluh satu tahun, kelakuannya masih kayak abege labil.

"Lagian kamu, malam-malam gini mau masak apa?" Nika akhirnya berjalan menuju dapur.

"Laper Mbak, mau bikin mie rebus," jawab Ina ngintilin Nika dari belakang.

"Bukannya mau diet?" Nika menoleh sebentar. Baru beberapa jam yang lalu dia menawari Ina nasi goreng, tetapi ditolak oleh gadis itu, sambil berkata dia sedang program diet.

Ina cengengesan ditanya seperti itu, tapi bukan Kinar Haiqia namanya kalau enggak pinter ngeles.

"Ini bagian dari diet Mbak." Ina memperhatikan Nika memutar kompor gasnya.

"Hoaks! Mana ada makan tengah malam diet. Kecuali besoknya kamu puasa."

"Ya, kan, besok aku rencananya enggak sarapan, makan siang dikit,  malam makan buah aja." Ina tersenyum melihat kompor sudah menyala. Bergegas dia mengambil panci dan mengisi dengan air, lalu meletakkan di atas kompor.

"Yakin besok enggak tergoda makan atau ngemil?" Nika terlihat tidak yakin dengan pernyataan Ina.

"Mbak harus yakin. Ina itu kalau udah niat pasti jadi."

Nika tak menjawab lagi. Dia menarik kursi yang menempel di meja makan, lalu memperhatikan Ina yang mulai sibuk mempersiapkan bumbu-bumbu untuk membuat mie rebus. Dari gerakan tangannya saja, dia yakin, gadis tersebut sangat ahli memasak. Tidak seperti dirinya, ngiris bawang aja pake alat. Semua peralatan memasaknya lengkap, sayangnya tidak pernah digunakan. Niat, sih, mau belajar memasak, tetapi dia terlalu sibuk masuk ke dapur. Masih untung bisa masak telur ceplok, itu pun pakai tutup panci sebagai tameng agar tak terkena cipratan minyak.

Sejak kecil Nika tak pernah kesusahan. Mau apa saja tinggal minta atau memesan lewat aplikasi online. Berasal dari keluarga kaya raya, membuatnya bisa bersantai ria seumur hidup. Apalagi dengan deposito yang diwariskan sang ayah. Bekerja baginya hanya untuk perintang waktu, Nika tak tahu bagaimana menikmati hidup. Karena semua terlalu gampang diraihnya hingga semua terasa membosankan.

"Nah, ini dia mie rebus ala Chef Kinar Haiqia." Ina menyuguhkan dua mangkok yang berisi mie rebus.

Nika menelan liurnya. Dari penampakannya saja mie yang di sajikan Ina sangat enak. Aroma khas indomie rasa kari ayam, plus bawang daun, dan telur membuat cacing di perutnya terbangun.

"Ayuk, Mbak. Kita makan." Ina meletakkan dua gelas air putih ke atas meja. "Jangan lupa, berdoa dulu."

Nika tersenyum, lalu mencicipi hasil karya Ina. "Wah, enak banget. Aku enggak pernah makan mie seenak ini."

Ina tersenyum mendengar pujian itu. "Ah, bikin mie itu kecil, Mbak." Dia menjentikkan jarinya dan memasang wajah songong. "Mbak tinggal bilang aja. Mau di masakin apa, nanti--"

"Nanti kamu masakin?" sela Nika, sambil meniup-niup mienya.

Ina menelan terlebih dahulu makanannya. "Ya, enggaklah. Mbak masak sendiri, aku yang ajarin."

Mendengar itu Nika melengos. "Kirain ..."

Ina terkekeh pelan melihat ekpresi temannya kosnya itu. Secantik-cantiknya Nika, punya kebiasaan yang bikin Ina ketawa. Lubang hidungnya bakal gede kalau lagi melengos.

"Taruhan, Ina yakin Mbak enggak bisa masak."

"Emang, aku cuma bisa ceplokin telur. Ngapain repot-repot. Masak nasi tinggal colok, air ada dispenser, mau lauk tinggal beli."

"Ya, kali beli. Ina mahasiswi gini bisa tekor kalau beli lauk mlu."

"Ya kerja dong. Kan, ada, tuh, kerja yang ada part time-nya." Nika menyuap sisa mie terakhir, lalu berdecak nikmat.

Wajah Ina seketika murung. "Ina udah coba, Mbak. Tetapi, selalu ditolak. Alasannya Ina terlalu gemuk." Suara gadis itu melemah. Dia ingat seminggu yang lalu ditolak di sebuah restoran hanya karena bentuk tubuhnya yang subur.

Nika diam. Otaknya berpikir, masih ada body shaming  di jaman sekarang. Kalau dilihat-lihat, Ina sangat manis. Bibir sensualnya sangat seksi. Apalagi cekungan di kedua pipi tembennya saat tersenyum. Kalau gadis itu menurunkan berat badannya menjadi ideal, mungkin dia bisa jadi model.

"Ya udah, jangan sedih gitu. Nanti aku tanya-tanya ke teman aku, barangkali mereka butuh karyawan tambahan.

Senyum Ina seketika terbit. "Beneran mbak."

"Ada syaratnya."

Dahi Ina berkerut. "Apa Mbak?"

"Kamu masakin apa aja yang aku mau. Lumayan, bisa irit duit belanja."

Ina meletakkan tangan ke kening, persis sikap saat upacara.

"Siap, Mbak. Lumayan juga itu. Ina dapat kerjaan, dapat makan gratis juga."

Giliran Nika yang mengernyit.

"Lah, iya. Mbak beli aja bahan-bahan untuk dimasak, trus masukin kulkas. Jadi Ina juga bisa nebeng makan sama Mbak. Enggak perlu keluar duit lagi," jawab Ina enteng, sambil berdiri. "Yang selesai terakhir cuci piring."

Sontak Nika ikut berdiri dan berteriak memanggil Ina yang sudah lebih dahulu masuk ke kamar. Kelakuan gadis itu membuatnya ingin menguras Selat Karimata.

Perempuan Tanpa NarasiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt