Dia berselingkuh

10 1 2
                                    

"Mbak, liat siapa yang datang!"

seruan Ina membuat Nika membuka kelopak matanya. Dua orang bocah lelaki berlarian masuk ke dalam kamarnya. Mau tidak mau Nika mendudukan diri. Kepalanya tidak sepusing semalam karena Ina telaten menyuapi obat setiap habis makan.

"Eh, ponakan Aunty, datang sama siapa?" tanya Nika memaksakan bibirnya tersenyum.

"Sama siapa lagi kalau bukan sama Mamanya." Suara Mirna membuat pandangan Nika terangkat ke ambang pintu. Tampak Mirna berjalan sambil tersenyum dan menenteng buah tangan.

"Kamu sakit, kok, enggak kasih tau Mbak?" Mirna meletakkan buah tangannya di atas meja oshin, lalu menelisik wajah Nika. "Kamu keliatan pucat banget."

Nika menggeleng pelan, seraya mengulas senyum canggung. Perhatian Mirna semakin menikamkan perasaan bersalah ke dadanya. Ingin rasanya dia meledak, meminta maaf dan mengakui semua khilafnya. Namun, dia takut pada reaksi wanita itu nanti.

"Ditanya malah bengong. Kamu udah berobat?" tanya mirna lagi.

"Udah Mbak." Ina menyela, "semalam Mbak Nika udah kita bawa berobat. Tau tuh, masak hujan-hujanan. Dahal udah dijemput pake mobil. Eh, malah--"

"Ina!" Nika memotong ucapan temannya, dia tak mau Mirna mengetahui jika Ibra datang menemui kemarin sore. "Bisa bikinin bubur kacang ijo? Aku tiba-tiba kepengen."

"Kecil itu Mbak." Ina menjentikkan jari, lalu melirik ke arah dua bocah lelaki yang mengubek-ubek lemari pajang Nika. "Bocil, Mbak Ina ada puding susu, mau?"

Si kembar mengangguk, lalu berlari menyongsong Ina. Gadis itu mengembangkan kedua tangan untuk menyambut uluran tangan kedua anak Mirna. Ketiganya keluar dari kamar Nika sambil berceloteh, menanyakan banyak pertanyaan kepada Ina.

Mirna tersenyum melihat interaksi ketiganya. "Teman kamu itu lucu. Siapa namanya? Ina, ya?"

"Iya, Mbak," jawab Nika singkat. Dia lega Ina mau menuruti keinginannya.

"Kenapa hujan-hujan? Kamu, kan, enggak bisa kena hujan, udara dingin, apalagi es."

Lagi-lagi Nika tak bisa menahan hantaman sesal ke jantungnya. Sedetail itu Mirna mengetahui alerginya, tetapi dia malah menikam wanita baik itu dari belakang. Mungkin awalnya dia tak tahu, tetapi setelah tahu dia bahkan tak berniat menghentikan perselingkuhan itu.

"Ada keperluan Mbak. Lagi malas bawa mobil. Naik ojek kehujanan."

Mirna mengangguk. Dia meraih buah apel yang ada di atas meja, lalu mengupasnya pelan-pelan.

"Mbak ada masalah?" tanya Nika. Dua tahun tinggal bersama, dia kenal gestur tubuh Mirna. Wanita itu menunduk seolah-olah berkonsentrasi dengan pekerjaannya, tetapi sinar matanya terlihat kosong.

"Enggak ada apa-apa." Mirna memotong-motong buah apel dan menyerahkan kepada Nika.

"Mata Mbak enggak bisa boong. Kita itu kenal bukan sehari dua hari," ucap Nika mendesak.

Benar saja. Saat Mirna mengangkat pandangan, mata wanita itu terlihat berembun. Ada sedikit genangan cairan bening di kelopak matanya. Mirna menganjur napas panjang, lalu mengembuskan perlahan.

"Aku ngerasa Mas Ibra punya wanita lain," ujarnya sambil tersenyum getir.

Tubuh Nika seketika membeku, rasanya Benua Antartika sudah berpindah ke kamarnya. Tangan gadis blasteran itu gemetar menyuap buah apel ke mulutnya.

"Maksud, Mbak?"

Mirna menggeleng lemah. "Entahlah. Sebenarnya aku sudah lama menangkap hal yang tidak beres dari Mas Ibra. Sejak anak-anak masih kecil. Dia selalu sibuk dengan telepon genggamnya. Kadang tersenyum dan tertawa. Sepertinya ada seseorang di sana. Tapi, aku selalu menekan rasa curiga karena dia tak pernah pulang larut. Apalagi sejak anak-anak mulai bisa berjalan. Dia malah semakin sering di rumah. Kamu, sering liat, kan, kalau Mas Ibra enggak pernah keluar rumah?"

Nika mengangguk canggung, sementara dia merasa jantungnya sedang berparade di dalam sana.

"Makanya aku berusaha mikir positif. Mas Ibra bukan tipe pria yang mudah tebar pesona. Di rumah aja, dia jarang, kan, ngobrol sama kamu?"

Lagi dada Nika seperti ditabuh dengan godam besi mendengar pertanyaan Mirna. Bagaimana seandainya wanita itu tahu kalau setiap ada kesempatan Ibra selalu menyusup ke kamarnya? Mengingat itu kepala Nika kembali diserang rasa sakit.

"Aku harus gimana, Nik? Aku enggak mau rumah tanggaku sama Mas Ibra hancur begitu saja. Kasian anak-anak. Kami memulai semuanya dari nol."

Lalu meluncurlah cerita Mirna tentang kisah cintanya dengan Ibra. Keduanya menjalin hubungan sejak mereka masih berseragam abu-abu. Keduanya bersahabat sejak kecil. Persahabatan yang membuat keduanya takut keluar dari friend zone. Barulah setelah sama-sama diwisuda, Ibra memberanikan diri melamar Mirna.

Meski Mirna anak tunggal dan berasal dari keluarga kaya raya, dia rela diajak tinggal di kos-an kecil dan kumuh. Dari tempat yang sempit itu mereka membangun istana hingga sekarang ekonomi keduanya sangat mapan.

Nika menunduk mendengar cerita Mirna. Dia menyeka air mata yang keluar begitu saja dari pipi. Jangan sampai Mirna melihat dan curiga. Dia tak tahu begitu berliku kisah cinta keduanya. Lalu siapa dia yang datang ke tengah-tengah mereka. Bahkan, sempat berpikir untuk merebut Ibra dan kedua putranya.

"Aku mau minta tolong sama kamu," pinta Mirna, seraya menggengam tangan Nika erat.

Nika menatap Mirna dan memaksakan bibirnya tersenyum. "Apa yang bisa kubantu, Mbak?"

"Kamu punya teman IT enggak? Aku mau cari tahu nomor yang sering dihubungi Ibra." Mirna meraih telepon genggam di dalam saku celananya. "Ini nomornya."

Tangan Nika gemetar menerima telepon Mirna. Bagaimana dia tidak tahu, itu nomor teleponnya sendiri. Dia memang memiliki dua nomor, sengaja agar Mirna tak curiga saat dia menelpon Ibra.

"I-iya, Mbak. Aku akan coba."

Mirna tersenyum, dia semakin mengeratkan genggamannya tangannya. "Aku beruntung kita ketemu. Kamu itu baik banget. Enggak salah aku percaya sama kamu."

Nika tersenyum tipis mendengar pujian Mirna. Alih-alih dadanya semakin sesak oleh rasa bersalah. Dia bertekad untuk mengakhiri semua sampai tuntas. Dia berjanji tak akan pernah lagi masuk ke dalam rumah tangga Mirna.

Cukup lama keduanya berbicara, sampai kedua anak Mirna pun sempat tertidur di kamar Ina. Tak terasa sore pun menjelang. Baru saja Mirna dan Nika menuruni tangga kos-an hendak pulang, pagar kos-an terbuka dan menampilkan sosok Ibra berdiri di depan pagar.

"Lho, Mas, kok, tau aku ke sini?" tanya Mirna menyongsong Ibra dengan wajah ceria.

Wajah Ibra seketika memucat. Dia tak mengira bertemu sang istri di sana. Nika yang melihat situasi genting segera menyela.

"Aku yang beritahu Mas Ibra Mbak di sini. Biar dijemput, udah sore."

Dahi Mirna berkerut. Sejak kapan Nika tahu nomor Ibra? Tetapi wanita itu terlalu senang dan percaya kepada Nika sehingga mengabaikan alarm di kepalanya.

"Iya, kebetulan aku ada kunjungan pasien dekat sini. Jadi mampir jemput kamu sama anak-anak." Ibra menjawab sedikit kikuk.

"Oh, iya. Makasih, ya." Mirna beralih menatap Nika. "Mbak pulang dulu. Cepat sembuh, ya. Kapan-kapan main ke rumah."

Nika mengangguk, lalu mengantar mereka sampai pagar, tepat saat Saraswati masuk dengan sepeda motor maticnya. Dahi wanita itu berkerut melihat interaksi Nika dengan Ibra, meski tanpa kata, tetapi instingnya berkata bahwa ada yang tak beres dengan keduanya.

Perempuan Tanpa NarasiWhere stories live. Discover now