*2*

4.4K 218 23
                                    

*Arva POV*

Jam kantor sudah selesai, tiba saatnya siap-siap untuk pulang. Kebetulan kerjaan hari ini sudah selesai. "Yosh!!!" seruku seraya merenggangkan otot-otot tubuhku setelah menyelesaikan laporan. Aku menutup laptop dan menaruhnya di dalam tas. Tak lupa merapikan meja kerjaku.

"Kau pulang dengan siapa, Ar?" tanya Erka yang sedang merapikan dokumen-dokumen di meja kerjanya.

"Seperti biasa, aku selalu pulang sendiri," jawabku sambil menaruh ATK di dalam laci.

"Ya barang kali kau akan bertemu dengan pria itu lagi di stasiun atau di dalam kereta," kata Erka yang memelankan kata 'pria'.

"Apa-apaan kau ini Erka. Kemungkinan untuk bertemu lagi sepertinya sedikit," akupun menghela nafas. Ya bagaimana tidak, aku bertemu dengannya juga dengan cara kebetulan bukan? Jadi wajar kan kalau aku bilang kemungkinannya sangat sedikit untuk bertemu kembali.

"Arva, percayakan saja pada takdir," kata Erka yang menepuk pundakku dengan memasang tampang sok serius. Aku ingin mual melihatnya.

"Ya terserahlah dengan apa yang kau ucapkan Erka," jawabku seraya menepis tangan Erka di pundakku. "Dan tolong berhentilah memasang wajah-wajah yang tak ingin kulihat darimu," lanjutku.

Dengan menopang tas yang aku bawa, akupun meninggalkan ruangan kerja dan berpamit pada Erka. Se-alay-alaynya Erka, tetap saja sebagai teman yang baik aku harus berpamitan.

"Aku duluan ya Ka, nanti takut ketinggalan kereta," pamitku dengan melambaikan tangan.

"Takut ketinggalan kereta, apa takut gak ketemu pujaan hati?" ledek Erka.

Tch. Sial Erka itu.

Awas saja, aku kutuk dia jadi gay berani-beraninya meledekku. Eh, tapi kan emang dia udah gay ya? Kalau gitu, aku kutuk Erka jadi straight. Wait, wait, wait tapi kalau dia jadi straight, aku sendirian dong. Oke, kali ini kutukan aku pasti benar. Aku kutuk Erka biar tetap menjadi gay. Tidak buruk kan?

Aku duduk di bangku tempat biasa penumpang menunggu. Ya iseng nunggu kereta, aku main Let's Get Rich aja lah. Siapa tau 'kan dapat harta karun sungguhan gitu. Ya kalau gak dapet harta karun dapet hatinya Lana juga tidak apa-apa. Eh? Barusan tadi aku memikirkan apa sih? Coba-coba yang baca jelaskan. Tadi aku memikirkan apa? Dapet hatinya Lana? Demi Homogami, mau banget lah itu.

Ketika sedang seru-serunya main game, tiba-tiba ada suara yang mengintrupsi aku supaya melihat ke arah sumber suara. Handphone tersingkirkan, aku melihat seseorang tepat di depan wajahku.

"Ya! Ternyata benar itu kau, Ar," suara itu lagi.

"Boleh aku duduk di sini kan?" sambungnya.

Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan. Aduh apa-apaan ini tetiba aku jadi bisu begini. Ayo Arva, keluarkan kejantananmu eh maksudnya suaramu.

Sambil berdehem-dehem, aku mencoba bersuara. "Hei, Lana. Sedang apa kau di sini?" Bodoh! Pertanyaan macam apa itu Arva. Jelas-jelas dia menunggu kereta dan mau pulang ke rumah.

"Menunggu kereta, Ar. Kau juga sedang menunggu 'kan?" kalem dia menjawab. Please jangan senyum please. Doaku dalam hati.

Sayangnya doaku tidak dikabulin. Emang jahat nih Author.

Lana tersenyum. Deg! Mati lah! Senyumnya mengalahkan segala sesuatu yang manis di dunia ini. Bodo amat aku lebay, Authornya lebih lebay.

*_*_*_*_*

Tidak sesuai perkiraan, kereta penuh sekali. Tapi untungnya aku berhasil masuk. Itupun berkat dimasukin Lana. Ayo yang baca jangan mesum kayak Author ya.

Posisi kami berdiri, tidak seperti pertemuan pertama kami yang berdiri sebelah-sebelahan, kali ini posisinya sangat menguntungkan buatku. Aku terhimpit di dekat pintu kereta, sedangkan Lana tepat berada di depanku. Kami berhadap-hadapan. Setiap kali ada yang mendorong-dorong, Lana menahan tangannya, aku seperti diselamatkan. Biasanya kan aku ikut-ikut terdorong.

Kali ini dorongannya sangat kuat, sampai-sampai tubuh Lana menghimpit tubuhku. Deg! Jantungku tetiba berdebar gak karuan. Jarak ini terlalu dekat, sungguh. Aku bisa merasakan hembusan nafas Lana di telingaku. Ya Homogami, cobaan macam apa ini?

"Ma.. maaf Arva, aku tidak bisa menahan dorongan orang-orang ini," kata Lana meminta maaf.

"Ti.. ti-dak apa-apa Lana. Aku berterima kasih karena kau menyelamatkanku lagi," jawabku. Tidak tau apa ya doki-doki banget nih. Ini posisi enak banget, tapi tidak enak buat kokoro nih. Aku terus bergerutu dalam hati.

Setelah keadaan agak longgar, akhirnya Lanapun menjauhkan tubuhnya. Aku mengambil kesempatan ini untuk bernafas sebanyak-banyaknya dan menghilangkan rasa doki-doki di kokoro. Aku mengusap-usap dadaku dan menetralkan nafasku.

Beberapa penumpang sudah turun di stasiun tujuannya masing-masing. "Arva, bangku itu kosong. Ayo duduk di sana," ajak Lana duduk pada bangku kosong. Akupun mengangguk tanda setuju. Lana menarik pergelangan tanganku menuju bangku kosong itu.

Akhirnya kami duduk juga.

"A.. a-rva," panggil Lana, akupun mengengok ke arahnya. Kenapa dia gugup? tanyaku dalam hati.

"Iya, Lana? Ada apa?" tanyaku.

"Apa tadi kau merasakan sesuatu?" bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah balik bertanya. Apakah ini yang dinamakan pertanyaan dijawab oleh pertanyaan? Sungguh membingungkan.

"Maksudmu?" aku bingung.

"Ketika aku menghimpit tubuhmu, apa kau merasakan sesuatu?"

Ketika kau menghimpit tubuhku? Apa jangan-jangan dia mendengar detakan jantungku yang tidak beraturan saat itu? Gawat!

Aku belum menjawab pertanyaannya, tapi aku yakin pada saat ini wajahku memerah. Aku menyembunyikan wajahku.

"Arva?" panggilnya, kali ini tidak gugup.

Aku mengangkat wajahku, melihat wajah Lana. Aku harus jawab apa ya Homogami? Masa iya aku harus jujur. Kalau ternyata dia bukan gay bagaimana? Aku sibuk berdebat dalam hati.

"Arva, sebentar lagi aku akan turun. Kau sendiri turun di mana?" tanya Lana membuyarkan perdebatan hati.

"Ah ya, aku turun setelah stasiun yang kau turuni," jawabku, tanpa melihat wajah Lana. Tidak sangguplah kalau aku melihat wajahnya. Nanti dia tersenyum, bisa gawat.


"Baiklah, Ar. Pertanyaanku yang tadi belum kau jawab. Kalau kita bertemu lagi, dijawab ya," kata Lana mengingatkan seraya bangkit dari duduknya dan mengusap rambutku.

Sebelum Lana keluar dari kereta, dia sempat melihat ke arahku, tersenyum dan melambaikan tangan.

Kalau aku bertemu lagi dengannya, aku harus menjawab pertanyaannya. Sebegitu pentingkah jawabanku itu? Terus aku harus jawab apa? Jawab yang sesungguhnya? Kalau dia tidak sama denganku? Elah kokoro aku ittai desu dong.

*

*

*

*

*

To be continue...

*

*

*

Oh no no no!!! Ini berjalan begitu saja.. Tumben banget lancar nih ngetiknya xD

Hayoloh si Arva malah bingung ditanyain kayak gitu. Kira-kira Arva bakal jawab apa ya??? Arva, kita sama lah kokoro ittai desu terus *hagu Arva*

Yo buat semua yang baca, yang mau tau kelanjutan kisah LaRva Couple, jangan lupa Vote dan Komen ya..

Sankyu all~ *lope2 diudara*

Give me your love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang