𖠾23𖠾

6 2 0
                                    

"Lomba?" Evan mengerutkan dahinya saat Tora baru saja duduk di kursi.

Tora kembali menangguk untuk kedua kalinya. "Iya lomba fotografi. Kata Bu Rini pas libur kenaikan kelas. Masih ada dua bulan lagi, tapi kudu mikirin konsep dari sekarang," jelas Tora dengan tangannya yang sibuk mengeluarkan barang-barangnya.

"Kira-kira kita terkejar deadline, gak, tuh? Bisa sih gue ngerjain background, cuman ya itu, mepet, gak, ya?" Evan terdiam sejenak, memikirkan rencananya. Untung baginya karena Tora memberitahu duluan sehingga ia bisa memikirkan rencana ketika ia harus kejar tenggat.

"Cuman dua harian Van di sana. Entar pengumumannya lewat fax atau ntar disampaikan ke sekolah langsung paling." Tora tertawa renyah. "Lagian kita udah nabung banyak, nggak ada salahnya refreshing di waktu itu, kan?"

"Iye, sih."

Pintu studio kembali terbuka, menampilkan sosok laki-laki berbaju biru dengan celana jeans serta rambut yang acak-acakan. Andi terlihat sangat lelah saat ia meletakkan tas-nya di atas meja. Hal yang bisa disimpulkan oleh keduanya saat Andi tidak membawa kantong belanjaan atau camilan saat mampir ke rumah Evan.

"Berapa sesi?"

"Empat. Mana suit-nya nyesek anjir". Andi mengeluh kesal, ia menyenderkan kepalanya di atas meja masih merasa lelah walau hanya mengangkat kepalanya.

"Sabar. Istirahat aja dulu buat hari ini, ntar gue yang nge-lineart," balas Evan.

Tentu ia akan mengatakannya karena ia merasa sedikit tidak enak sebab Andi harus langsung mendatangi rumahnya ketika ia selesai bekerja sebagai model.

"Oh, iya, kan tadi pembimbing ekskul model ngasih info bakal ada lomba, lu ikut, Tor?" Andi memutar arah kepalanya ke kiri, menatap Tor dari samping.

"Iya ikut. Anak model siapa yang ikut?'

"Si anak jurusan kecantikan, gak ingat siapa namanya. Untung sih bukan gue. Pasti ribet banget itu entar. Mana yang bimbing ke sana wakil kesiswaan. Banyak mau bener ntar tu guru." Andi kembali berceloteh mengeluarkan keluh kesah yang seolah-olah sudah dipendam sejak lama.

"Muncung, Ndi. Besok-besok lu malah butuh itu guru. Dah, tidur aja situ." Evan membalas dengan sedikit tawa yang menyertainya, mengingat wakil kesiswaan merupakan ketua jurusannya dan Andi membutuhkan tanda tangan guru itu saat ia hendak berangkat magang.

"Oh, iye, Jullia mana? Tumben telat doi."

"Katanya ada yang mau diurus," jawab Evan pelan. Ia duduk di kursinya, memperhatikan layar computer dan membuat kanvas baru.

"Ooo. Oh, iya, Van, lu tau gak Jullia suka sama lu?"

Tangan Evan berhenti bergerak. Ia mengerutkan dahinya lantas menoleh menatap Andi yang matanya mulai sayu.

"Dia kalau tiap ngeliat lu selalu beda dengan dia ngeliat Tora atau gue. Apa emang suka, ye?"

"Ngawur aja, lu, tidur sana!"

Suasana menjadi canggung di antara mereka bertiga. Tora menyukai Jullia, sedangkan Jullia menyukai Evan. Tidak ada yang tahu apa yang ada di hati Evan. Entah dia masih terjebak cinta monyet atau bahkan sudah tidak memiliki rasa apa-apa terhadap seseorang. Tapi ucapan Andi barusan membuatnya terus terpikirkan.

Tangannya kembali bergerak di atas graphic tab, matanya tetap tertuju pada layar yang menampilkan dokumen kata dan kanvas gambar, namun dipikirannya tetap ucapan Andi.

"Bikin orang mikir aje sih." pikirnya.

Hingga fokusnya semakin pecah saat pintu studio terbuka dan menampakkan sosok Jullia dan Jeya yang datang bersamaan. Di tangan Jullia sudah ada kantong plastik yang diisi berbagai macam minuman. Sedangkan di tangan Jeya ada piring dengan dua macam jenis kue basah di atasnya.

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Where stories live. Discover now