𖠾20𖠾

6 2 1
                                    

Enam belas siswa yang tengah menatap layar komputer berukuran dua puluh tiga koma delapan inchi itu sesekali mengerutkan dahi mereka. Suara mouse yang terus ditekan-tekan mengisi keheningan awal yang melanda ruangan. Sesekali mereka mengganti software yang digunakan, atau bahkan mengeluh ketika asesor mendekati mereka. Terkadang juga tertawa saat asesor sedang mengomentari karya yang lain, namun dibalas dengan kalimat yang cukup lucu.

"Kan, pas di cetak diganti ke cmyk, lah, Pak. Tak mungkin di rgb-in. Sekarang iya di rgbin dulu, biar gampang liatnya," balas salah satu siswa saat asesor menanyakan perihal warna yang ia gunakan.

Teman-teman sekelas Jullia hanya tertawa, termasuk dirinya. Berada di kelas yang dipenuhi dengan murid yang hobi menjawab. Bukan perbuatan yang baik sebenarnya.

Jullia memang membawa template yang sudah ia salin tadi malam, tapi ia melupakan jika ujian ini termasuk dalam ujian desain. Di mana ia harus membuat sendiri desain yang akan dicetak. Dimulai dari menggambar sendiri. Ia memilih simple sketch yang nantinya hanya akan di coloring sketch dengan pewarnaan dan shading simple. Ia tidak mau menyusahkan dirinya.

Ketika ia mendapatkan email tadi malam, ia menghentikan kegiatan menggambarnya dan menuju atas kasur kembali. Ia berusaha mencerna kalimat demi kalimat berbahasa inggris itu, sesekali mencoba menerjemahkan bahasanya.

"Pertukaran pelajar, ya..."

Beberapa waktu, tepat sebelum bekerja bersama Evan sebagai asisten pewarnaan, Jullia mendaftarkan dirinya untuk pertukaran pelajar. Dengan tujuan untuk keluar dari rumah, hanya untuk itu. Namun setelah banyak hal yang terjadi sejak ia menjadi bagian dalam pembuatan komik Another Life ia jadi ingin mengurungkan niatnya.

"Waktunya bentar lagi, ya! Yang belum nyetak cepat!"

Jullia tersadar, ia menatap gelas mug nya yang sudah mengeluarkan suara dan sedikit asap pada bagian tengahnya. Tangannya dengan cepat menarik tuas dan mengeluarkan gelasnya.

Jullia kembali ke mejanya, menunggu gelasnya dingin dan menatap dua benda kecil lain yang ada di mejanya.

"Nggak usah deh. Ngurusnya juga ribet. Harus belajar bahasa asing lagi."

Jullia mengeluarkan ponsel pintarnya, dan mengirim pesan pada Evan bahwa ia akan datang telat. Ia tidak melihat Evan sebelumnya, entah anak laki-laki itu sudah ujian duluan atau belum.

"Yang sudah selesai, masukkan gelas, pin, sama gancinya ke dalam kotak yang sebelumnya dikasih. Terus kasih nama, letak di atas meja depan. Boleh langsung pulang. Langsung pulang, bukan keluyuran nongkrong gak jelas!" Guru yang sedang berada di belakang kelas itu menatap keseluruhan siswanya dengan senyuman tipis.

Jullia menatap gelasnya. Jari-jarinya mulai melepaskan perekat pada kertas yang menempel pada gelasnya, kemudian memasukkan gelas tersebut ke dalam kotak, tidak lupa dengan printilan lainnya. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya, menyandang tasnya dan berpamitan pada asesornya. Ia meletakkan kotaknya di atas meja guru, kemudian keluar dari kelas.

Banyak hal yang sudah membuatnya berpikir lebih luas. Mungkin sebelumnya, dirinya hanya terjebak pada dunia musik, komik atau bahkan anime. Namun setelah menjadi bagian dari pembuatnya, Jullia merubah pikirannya sendiri.

𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾

Ruangan dingin dengan keheningan membuat remaja laki-laki yang ada di dalam sana terus mengusap wajahnya. Ia merasakan kantuk yang sangat berat, sampai-sampai barang sedikit saja ia langsung menimpa keyboard dan gambar yang ada di layar komputernya menghilang.

"Evan, tidur dulu, lah." Suara yang sangat berat menghampiri pendengaran Evan, membuka pintu studio, sehingga membuat udara perlahan keluar.

Laki-laki itu menatap sosok yang masuk. "Bentar lagi, Yah."

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang