𖠾08𖠾

8 7 0
                                    

Evan melenguh panjang di atas kursinya. Pembicaraannya sehari lepas dengan Farel membuatnya sedikit kesal, mengingat ia sudah tidak pernah mengungkit kejadian itu lagi saat bersama dengan Tora atau Andi.

"Apa nantinya gue bisa suka sama orang lain lagi, ya?"

Evan tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Di ruangan yang dipenuhi oleh banyaknya kenangan itu, bahkan tidak bisa membuatnya sadar jika ia masih tenggelam dengan masa lalunya.

Menurut Evan, jika saja ia bersikap lebih baik pada banyak orang, ia pasti menjadi orang yang banyak bicara. Reina adalah salah satu alasan kenapa ia bisa berteman baik dengan Tora dan Andi. Jika ia bertengkar dengan salah satunya, Reina dengan senang hati akan membantu. Reina adalah penyelamat untuknya.

"Pagi, Van!"

Pintu studio terbuka, Andi dan Jullia muncul dari balik pintu itu. Di tangan Andi, sudah ada satu plastik yang ia tenteng. Plastik itu berisi banyak minuman soda dan kafein serta beberapa camilan. Sejak dulu, Andi sangat suka membawa sesuatu saat mendatangi rumah Evan. Terkadang kue bolu, terkadang juga camilan kering.

"Lu gak ke sekolah, Di?" Evan berdiri dari tempatnya, mendekat pada kursi yang sedang digunakan oleh Andi.

"Nggak. Mager. Gue juga belum nyelesain tugas video bahasa Prancis, yang ada kena marah sama monsieur," jawab Andi santai.

Andi membuka minuman kalengnya. "Oh, iya, hampir lupa. Lineart bab selanjutnya udah gue kirim, ya. Jadi gue mau langsung pamit."

"Sekolah yang bener napa, dah. Jangan musik mulu." Evan menatap Andi yang sudah mulai keluar dari studio.

"Nanti gue beliin kaca, ya, Van!" balas Andi dengan tawanya yang cukup keras.

Evan menggeleng keheranan dengan sikap sahabatnya itu. Ia juga sudah terbiasa sebenarnya, terlebih sejak kematian Reina, semuanya mulai mencari pelarian mereka.

"Musik?"

Evan menoleh saat mendengar Jullia bersuara. Ia hampir lupa jika gadis itu datang berbarengan dengan Andi.

Evan mengangguk. "Sejujurnya dari pada gue, Andi jauh lebih sibuk. Dia kerja sampingan sebagai model, kemudian menekuni hobinya yang lain, kayak main musik. Andi masih mau menyempatkan diri buat bantu bantu di sini. Kita give and take, sih."

"Hubungan mutualisme?"

Evan tertawa. "Iya. Gue bantuin dia bikin lirik lagu, dia bantuin gue nge-lineart. Walau sebelumnya dia belum jadi model."

"Hoo." Jullia mulai menyusun barang-barangnya. ia Meletakkan laptop, graphic tablet, dan juga stylus pen-nya.

"Tadi lu ke sini bareng Andi? atau kebetulan sampainya bareng?"

Jullia mengerutkan dahinya. Baginya aneh, kenapa Evan ingin tahu dengan siapa ia datang ke rumah Evan atau semacamnya. "Kebetulan sampainya bareng."

Evan ber-oh ria kemudian kembali ke kursinya. Matanya menatap layar komputer, mengambil stylus pen-nya dan mulai mengerjakan bab baru.

Jullia memperhatikan Evan saat menunggu file yang ia pilih terbuka. "Jujur gue penasaran dari kemarin. Kalau boleh nanya, siapa yang bikin color pallete ini? Karena ini rapi banget. Warna kulit, rambut, mata, background, bisa diurutin secara rapi dan dipisah, nggak digabung. Ah ya, walau gue tau lu udah pro sih."

Evan terdiam. Jarinya yang memegang stylus pen terdiam. "Teman."

"Teman? Tora?"

Evan menggeleng. "Bukan urusan lu, kan? Emangnya ini ngaruh sama proses lu coloring?"

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Where stories live. Discover now