𖠾21𖠾

7 2 2
                                    

Studio Evan tidak sesunyi biasanya. Sejak Jullia datang dengan Nana, studio itu seperti tempat untuk bertanya-tanya baginya. Yang sibuk menjawab adalah Andi. Ia tidak tahan dengan keributan itu.

"Kenapa lu bawa dia ke sini?" Tora berbisik di sebelah Jullia.

Jullia tertawa sejenak. "Biar ada yang temenin aja si."

Alasan sebenarnya adalah karena Nana bisa membangun suasana di mana pun dan dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang tidak ia kenal. Jullia merasakan hal yang buruk dan ia hanya bisa bergantung pada Nana.

Tidak terlalu mengganggu untuk Evan, karena dirinya langsung menyumpal telinganya saat Nana bertanya-tanya tentang bagaimana diringa mengerjakan sketsa.

Mereka semua memang lebih santai, tapi bukan karena kedatangan Nana atau bahkan ujian kejuruan yang telah usai.

"Kita udah nabung sampe delapan bab, memang tidak ada salahnya beristirahat."

Saat Jullia dan Nana baru saja memasuki ruangan, Evan nengatakan hal tersebut. Bahkan sebenarnya kalimat itu juga tidak membuat mereka sedikit lebih santai.

Semua pandangan menuju pada Evan. Mereka mendengarkan helaan napas yang cukup panjang. Namun laki-laki yang sedang dilihat oleh banyak orang itu tidak sedikit pun sadar.

"Kalian bikin komik gini, apa udah ada kepikiran buat kedepannya mau ngapain? Kayak abis lulus dan semacamnya?"

Pandangan kini tertuju pada Nana yang sudah duduk manis di sebelah Andi. Ia menatap tablet laki-laki yang ada di sebelahnya itu, memperhatikan tiap garis tipis yang tengah menutupi sketsa kasar di belakangnya.

"Mau langsung kerja aja. Adik adik gue banyak, kasian ama orang tua kudu bayarin uang kuliah. Lagian juga, biaya kuliah perfilman mahal," jawab Tora santai. Ia meletakkan stylus pen-nya, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kerja juga. Nggak minat kuliah." Andi ikut menjawab. Ia kemudian meletakkan stylus pen-nya, dan membalas tatapan Nana. "Lu? Kuliah, kerja, nganggur, atau apa?"

"Pengen kuliah sih, tapi gue juga pengen jadi animator. Cuman ya, biaya. Gue tinggal sama nenek, jadi nggak enak juga mau kuliah karena kebutuhan alat bakal lebih banyak. Kemungkinan dapat beasiswa juga dikit," balas Nana.

"Dipikir-pikir, hidup ngalir kayak air itu beneran enggak ada, ya? Semuanya butuh persiapan matang. Kalau nggak siap, bakal tertinggal jauh, kemudian jatuh dan susah buat bangkit. Masih lumayan kalau ga ditimpa lagi, kalau ditimpa makin susah buat bangun." Evan menarik kursinya, lantas duduk di sebelah Andi.

Nana menyengir. "Lu sendiri, Van?"

Evan menatap Nana sekilas, lantas mengalihkan pandangannya. "Kalau bisa sih gue cuman mau jadi komikus aja. Gue gamau berkutat ama buku atau bahkan di kampus. Walau sebenarnya karena pandemi ini kuliah masih daring."

"Dari dulu gue mengikuti aliran air yang selama ini menuntun gue. Tapi gue sadar, kalau selama ini cuma mengikuti, kapan gue bisa melihat hal yang lebih indah duluan daripada yang menuntun gue?" Evan melanjutkan kalimatnya, ia menatap seluruh orang yang ada di studionya, tatapan yang sangat yakin atas ucapannya.

𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾

Ruang makan hening ketika Jullia memutuskan membuka topik ia ingin kuliah di mana. Ayahnya menatap dirinya dengan sangat serius, dan Gio tetap menyantap makan malamnya.

"Itu sangat jauh, tidak ada saudara kita di sana," ibunya membalas. Wanita paruh baya itu meletakkan sendoknya, kemudian menatap Jullia dengan sangat serius.

"Ada. Ada, kan, Yah? Tante Nina ada di sana." Jullia menekan kalimatnya.

"Memang ada, tapi apa perlu sejauh itu? Apa nggak bisa di sini aja? Atau jurusan lain?" Ayahnya membalas, ia menatap putrinya sedikit kebingungan.

"Nggak ada jurusan yang berhubungan sama multimedia di sini, om. Selain informatika sama ilmu komunikasi." Gio membantu menjawab.

Jullia sedikit kecewa. Ia merasa ayahnya tidak mendukungnya untuk mengambil jurusan desain komunikasi visual yang berada di luar kota. Ia memang tidak pernah membahas apa pun mengenai ia ingin bersekolah di mana atau bahkan menjadi apa.

"Kita akan membahasnya lain kali."

Kalimat tersebut menutup topik pembicaraan mereka. Menit berikutnya, makanan di piring-piring selesai di santap dan air kini membasuh bersih piring-piring yang digunakan itu.

Jullia berulang kali menghela napas panjang seolah-olah ia sangat jenuh. Tentu saja demikian. Ia sudah mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan keinginannya, tapi ia sama sekali tidak mendapatkan respon yang ia inginkan.

Seusai mencuci piring, Jullia kembali ke kamarnya dan duduk di kursi. Tangannya menyentuh tablet dan membuka file dari gambar yang ia kerjakan di rumah Evan sebelumnya. Masih ada puluhan panel lagi sampai ia menyelesaikan bab ke sembilan itu.

Jullia pernah bertanya pada Evan saat mereka pertama kali saling mengetahui rahasia satu sama lain.

"Kenapa lu mau gue ngerjain komik ini di rumah lu?" tanya Jullia saat itu.

Evan menatapnya tajam. "Tidak ada hal khusus, tapi gue mau mulut kecil itu tetap tertutup. Atau bahkan jari-jari itu tidak mengetik apa pun di laman mana pun."

Jullia bisa menutup mulutnya sendiri. Ia tidak perlu pengawasan. Tapi komik. Hanya karena sang pembuat komik itu terus memperhatikannya, ia mulai berubah.

Dalam waktu singkat, ia mengetahui banyak hal. Tentang kaitannya Evan dengan OSIS, partner Evan sebelumnya, dan juga perbedaan antara dirinya dengan Evan.

Evan sangat berbakat, tidak seperti dirinya. Evan memiliki keluarga yang hangat, tidak seperti dirinya. Evan memang dingin di sekolah, tapi ia terlihat sangat hangat pada adik-adiknya. Jullia menyadari celah yang ia peroleh dari hubungannya dengan Evan. Ia bukan siapa-siapa selain asisten pewarnaan dari komikus Ethanios.

"Mungkin emang gak bakal bisa. Kalau nggak dikasih kuliah, untuk sementara bersihin diri dulu aja. Buka komisi ... Atau .... Haaah. Menata apanya, bertahan hidup sekarang aja udah susah."

Jullia menyenderkan tubuhnya pada kursi. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari kapur dan diukir pada sisi pinggirnya. Ia menggerakkan tangannya ke atas, seolah-olah sedang menangkap bintang di atas sana.

"Kalau kehidupan itu sesulit ini, lantas bagaimana orang-orang bisa menikmati hidup?" Jullia bersuara, sangat kecil.

Ia tidak bercanda pada kehidupannya, tapi ia juga tidak serius. Ia tidak memikirkan apa pun dengan sangat serius ketika ia mulai menyukai Evan di tahun pertamanya sebagai siswa di SMK.

Evan dan Ethanios adalah dua orang yang berbeda, tapi ia menyukai kedua orang itu. Jullia menyukai Evan ketika ia bisa tersenyum sangat ramah. Ia juga menyukai Ethanios yang membuat karya yang luar biasa. Namun dua orang itu telah merubah hidupnya.

Jullia sangat menyukai seni menggambar, ia juga sangat suka menonton anime atau bahkan membaca komik. Jullia sadar, bahwa selama ini ia tidak menyukai Evan secara verba. Ia menyukai Evan karena Evan satu-satunya yang mengerti kehidupan sebagai seorang illustrator yang terus bersembunyi.

 Ia menyukai Evan karena Evan satu-satunya yang mengerti kehidupan sebagai seorang illustrator yang terus bersembunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang