"Terus aja lo belain dia bang!" tukas Laura sengit.

"Oh iyalah pasti gue belain dia. Gue kan membela yang benar, bukan yang membela yang salah tapi dibenarkan, iya nggak ma?" Jerome menyeringai sembari menatap sang mama yang terlihat sudah kesal setengah mati.

"Pengaruh Khansa memang udah benar-benar buruk buat kamu!" desis mama.

"No. Bukan pengaruh dari Khansa, tapi pengaruh dari mama. Jangan suka nyalahin orang lain kalau diri sendiri aja masih sering bikin kesalahan. Introspeksi diri coba ma, sholat, sujud sama Allah biar dosa-dosanya diampuni, sekalian minta dikasih hidayah juga biar aku nggak perlu durhaka terus sama mama."

Tanpa menunggu balasan dari mama, Jerome langsung menarik Khansa untuk keluar dari rumah. Di dalam mobil, Jerome berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol amarah nya sedangkan Khansa terus mengusap-usap dadanya untuk memberinya sedikit ketenangan.

"Istighfar, Jei. Jangan marah lagi ya." pinta Khansa dengan nada yang begitu halus dan lembut sementara Jerome mencengkram setir mobilnya berusaha setengah mati menahan emosinya agar tidak meledak. "Jerromy, calm down."

"Dosa aku ke mama nambah lagi," tutur Jerome sendu. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil sambil terus membiarkan Khansa mengusap-usap dadanya. Dan seperti biasa, sentuhan itu selalu berhasil membuat Jerome kembali mendapatkan ketenangannya. "I'll probably rot in hell once i got in."

"Sst nggak boleh ngomong gitu! inget loh, semua omongan itu bisa jadi doa!" Khansa meraih tangan Jerome dan mengecupnya. "Aku tau kamu ngelakuin itu untuk membela dan melindungi aku, tapi lain kali kamu coba untuk kontrol emosi kamu lagi ya? jangan terlalu keras ngomong sama mama."

"Aku nggak tau cara ngontrol emosi itu kayak gimana," Jerome menundukan kepalanya. "When I got triggered, it's just exploding."

"Itu karena kamu udah nyimpen semua emosi kamu dari dulu. kamu nggak punya tempat untuk mengeluarkan itu semua makanya pas kamu udah nggak tahan lagi dan momen nya juga pas banget bikin kamu ke-trigger, akhirnya itu semua meledak begitu aja tanpa bisa kamu tahan apalagi kontrol," Khansa menghela nafas seraya menarik Jerome ke dalam dekapannya. "Pelan-pelan aja ya. aku yakin kamu pasti bisa kontrol emosi kamu."

Jerome menghela nafas dan balas memeluk Khansa. "Maaf Kei..."

Khansa menggelengkan kepalanya sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar itu. Dia tidak bisa membenarkan ucapan Jerome kepada sang mama tadi, tapi dia juga tidak ingin membuat suaminya itu merasa semakin bersalah. Dan rasa bersalah itu juga turut muncul di dalam hatinya sendiri. Entah kenapa Khansa merasa bahwa dia lah penyebab kenapa semakin kacaunya hubungan antara ibu dan anak itu.

"Kamu pasti lagi nyalahin diri kamu sendiri lagi ya?" tanya Jerome tiba-tiba membuat Khansa tersentak kaget. Bagaimana pria ini bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya?

"Nggak kok. sok tau ih kamu." Khansa melepaskan pelukannya seraya menjulurkan lidahnya berniat untuk mengajak Jerome bercanda, tapi raut pria itu tetap terlihat mendung. "Jei, serius. Aku nggak mikir yang macem-macem kok, beneran deh."

"You're not good at lying, you know?"

Khansa mengerucutkan bibirnya sebal. "Iya, aku emang sempet mikir yang nggak-nggak tadi, tapi aku nggak akan baper kok!"

Jerome tersenyum tipis seraya mengecup tangan Khansa. "Apapun yang terjadi kedepannya nanti, kamu sama sekali nggak salah, oke? Jangan mikir yang aneh-aneh, mendingan juga kamu mikirin aku aja sampe gumoh."

"Kayaknya aku mikirin kamu tiap waktu deh. kamu kan orang nya suka bikin khawatir. Suka lupa makan, lupa istirahat, lupa tidur. Kalau nggak dicubit dulu pasti nggak akan sadar-sadar."

AVENGEMENT ( ✔ )Место, где живут истории. Откройте их для себя