28. Penjara

68 8 10
                                    

Mardukh, Enil, dan Bansir masih mendekam di balik jeruji penjara. Hari-hari dilewati dengan diskusi mengenai berbagai macam hal, mulai dari silsilah Clan Mardukh hingga kemungkinan Clan Zababa yang akan berbalik membantu revolusi di Maetala.

"Kalau memang tuan adalah Mardukh terakhir, mengapa tidak tuan menikah dan melanjutkan keturunan?" tanya Bansir dengan polosnya.

Mardukh tersenyum mendengar pertanyaan itu.

"Apa kau tidak paham Bansir!" sela Enil dengan nada sedikit emosi. "Akan butuh ratusan tahun lagi supaya kita memiliki Mardukh yang bukan hanya mampu membuka portal ke Kertala namun juga memahami perjuangan manusia."

"Maksudnya?"

"Aku akan kehilangan kemampuan sihir ku bila telah memiliki anak. Kemampuan ini berpindah dari satu generasi ke generasi lainnya. Dan anakku akan mematangkan kemampuannya setelah berumur minimal 100 tahun," jawab Mardukh dengan santainya.

Bansir terdiam sesaat. "Kini saya mengerti tuan. Saya pikir itu semua hanya desas desus," kata Bansir sembari terkikik. "Satu lagi yang ingin saya tanyakan. Saya paham, kedatangan saya kemari justru sebagai penyampai lidah bahwa Enil dan Tuan Mardukh harus tetap mengikuti skenario kerajaan. Sehingga memberi waktu kawan kawan kita di Samur untuk menyatukan kekuatan. Tapi bukankah seharusnya kita bisa bebas dari penjara ini menggunakan ilmu sihir yang tuan miliki?"

"Kau tahu Bansir. Aku adalah keturunan dari wanita Mardukh dan ayah seorang Gilitua campuran. Kemampuanku tak sehebat Mardukh pendahulu ku. Aku membutuhkan pemantik untuk mengaktifkan kekuatanku. Dan kayu pohon eek adalah pemantik dan penyalur energi Chi terbaik. Maka dari itu aku selalu membawa tongkat kayu eek," Jawab Mardukh. "Dan lihatlah aku sekarang. Tanpa tongkat itu, aku hanyalah gilitua biasa."

Enil mendekati Mardukh dan mengisyaratkan akan memeriksa luka pada tubuh Mardukh.

"Bagaimana kondisi lukanya?" tanya Mardukh.

"Mengering. Aku fikir luka ini akan segera sembuh beberapa hari lagi," jawab Enil. Tangannya dengan cekatan menutup kembali luka milik Mardukh.

"Bansir... Bagaimana keadaan Meso? Apakah Aslaug cukup baik memainkan perannya?" tanya Mardukh lirih.

"Kehidupan menjadi lebih lancar Tuan. Kebijakan Aslaug untuk tidak memungut pajak dari para petani dan tuan tanah membuat harga kebutuhan pokok dapat ditekan. Bahkan Meso mengalami surplus bahan pangan. Meso tidak lagi tergantung kepada impor pangan dari Naradur." jawab Bansir. "Namun dibidang pertambangan Meso sedikit terhambat. Hal ini karena pungutan pajak yang diambil naik lebih tinggi dari masa Raja Aslan. Maka dari itu banyak para penambang besi dan tembaga beralih menjadi petani. Untuk memenuhi kebutuhan komoditas tambang, Meso mengimpor nya dari Muradmur."

Mardukh berpikir sejenak. Sedari awal, Mardukh memahami bahwa Raja Aslaug sangat ingin berperang dengan Maetala. Keputusannya untuk berswasembada memenuhi kebutuhan makanan dalam kerajaan sudah sangat tepat. Namun dalam peperangan persenjataan mutlak menjadi nomor satu. Untuk itulah Mardukh berkelana menggunakan seluruh sumber daya untuk dapat menemukan Borazon sebagai bahan pembuat senjata.

Enil memandang Mardukh sesaat. "Apakah sudah ada mobilisasi pasukan Meso saat kau berangkat Bansir?"

"Untuk itu belum ada. Namun yang jelas, kami semua di Meso paham akan adanya potensi pecah perang dengan Maetala. Hal semacam ini sudah menjadi topik bahasan oleh manusia maupun gilitua yang ada di Meso, bahkan sejak hari pertama Pangeran Aslaug dinobatkan sebagai raja."

"Iya benar. Aku masih ingat tahun pertama Raja Aslaug dinobatkan. Dia memerintahkan revitalisasi benteng di Meso. Kebijakan yang menuai banyak kritik, karena buat apa membangun benteng di masa damai? Bukankah itu usulan Tuan Mardukh kepada Raja Aslan sebelum beliau mangkat?" timpal Enil sembari tersenyum. 

"Ya, kurang lebihnya begitu." jawab Mardukh. "Aslan adalah sosok yang terlalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Bahkan saat dia muda pun jiwa nya sudah seperti orang tua. Berbeda dengan bapaknya, Aslaug lebih berani bersikap. Saat pertama dia dinobatkan, aku hadir di sana. Dia menginginkan ku sebagai penasihat Raja. Namun aku menolaknya. Aku ingin melihat dahulu sejauh apa dia bisa membawa Meso dan ingin mengerti pikirannya terhadap Maetala. Beberapa tahun lalu aku sempat berkunjung ke Meso, Aslaug dengan terbuka menjamu ku. Berbagai hal kita bahas, sepertinya kami memang memiliki banyak kesamaan terutama dalam memandang Maetala sebagai sebuah rezin diktator." Mardukh tersenyum. "Namun satu hal, apakah ditahun-tahun terakhir ini, ada perbaikan di bidang militer Meso?"

"Saya pikir semua aspek di Meso sudah banyak berubah dan diperbaiki Tuan. Dan terkait militer, jumlah pasukan dan persenjataan kami lebih baik dari masa Raja Aslan."

"Baguslah bila begitu."

"Untuk saat ini kita sangat tergantung pada kekuatan aliansi. Akan ada utusan dari Meso yang mengabarkan ke kerajaan-kerajaan di seluruh Samur untuk bisa bergabung dengan Meso. Hamba harap 7 kerjaan itu bisa bergabung." jelas Bansir. 

Mardukh tersenyum. "400 tahun aku berusaha untuk menggalang kekuatan dan meyakinkan  para raja bangsa manusia di Samur agar bergerak atau setidaknya berfikir akan pengertian kebebasan. Aku mengenal watak 1 generasi ke genarasi berikutnya. Untuk menyatukan ke 7 kerajaan itu membutuhkan usaha yang luar biasa." jawab Mardukh. "Tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan?"

Di tempat yang berbeda, Sugil telah mendatangi 4 kerajaan dari 7 kerajaan di Samur. Dari 4 kerajaan itu, hanya Meso dan Naradur yang setuju beraliansi. Sedangkan Dur Sharukkin dan Muradmur masih belum menentukan pilihannya. Ada beban berat yang diemban Sugil sebagai penyampai informasi dan juga telik sandi bagi Raja Aslaug. Apalagi 3 kerajaan lainnya di Samur yaitu Moruga, Tel Barad, dan Kissura memiliki hubungan yang cukup baik dengan Maetala. 

Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now