3. Daratan Tegerak

212 43 9
                                    

Angin hangat berhembus menuju selatan ketempat yang jauh dari rumah. Gajah Lembong hanya bisa membayangkan apa yang akan dia temui di daratan itu. Sebuah daratan yang disebut Maetala dengan penghuni yang belum pernah dilihat oleh orang Majapahit. Apapun resiko yang harus dihadapinya, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa langsung menuju tempat dimana bangsa Gilitua mendapatkan emasnya. Namun pertama-tama mereka harus bisa sampai terlebih dahulu ke Tegerak.

Tegerak adalah daratan luas di Selatan Pulau Jawadwipa. Sekarang kita mengenalnya sebagai Benua Australia. Tegerak dalam bahasa sansekerta artinya tanah kering. Disebut Tegerak karena daratan Australia bagian Barat - dimana pemukim pelaut Bugis berada - sangat tandus. Cuacanya hangat pada musim panas dan menjadi sejuk pada saat musim dingin. Pada pantainya hanya ditemui semak-semak, sampai kemudian para penduduk menanam pohon kelapa sebagai peneduh. Meskipun begitu lautnya sangat kaya akan sumber daya seperti ikan, karena memang terletak diantara arus hangat dan arus dingin.

Orang Bugis yang tinggal di Tegerak bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka berburu ikan konsumsi seperti ikan cakalang, tuna, dan pelagis. Sesekali mereka juga berburu ikan besar seperi Paus untuk memanen minyak didalamnya. Selain dipakai sendiri, minyak itu juga laku dijual kepada suku-suku pedalaman. Mereka menukarnya dengan kulit binatang sebagai baju saat musim dingin. Suku-suku pedalaman inilah yang kini kita kenal sebagai Suku Aborigin.

Sejak beberapa tahun lalu, Bangsa Gilitua datang ke perkampungan Bugis. Mereka menginginkan rempah-rempah yang dibawa oleh orang Bugis dari Jawadwipa. Para Gilitua melakukan barter rempah dengan emas yang mereka miliki. Bangsa Gilitua pada dasarnya adalah ras hominid yang sedikit berbeda dengan manusia. Mereka memiliki tinggi rata-rata 3 meter, dengan kepala lonjong ke atas. Kulit mereka coklat seperti orang Jawadwipa dengan mata biru yang indah. Mereka tinggal di Maetala, daratan yang kaya akan emas.

Berita kemakmuran orang-orang Bugis di Tegerap menyebar ke tanah Jawadwipa dan sampai ke telinga Bagianda Raja Wikramawardhana

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Berita kemakmuran orang-orang Bugis di Tegerap menyebar ke tanah Jawadwipa dan sampai ke telinga Bagianda Raja Wikramawardhana. Sebagai pusat perdagangan rempah, Majapahit merasa perlu menyimpulkan pengaruhnya pada perdagangan rempah dan emas di selatan Jawadwipa. Maka dari itu dikirimlah Tumenggung Gajah Lembong menuju Tegerak.

---------

Siang itu surya bersinar cerah, lautan cukup tenang, dan angin bertiup bersahabat. Uleng Tepu menata rambutnya yang terurai, menggelung ke arah belakang, seperti layaknya rambut pria Majapahit. Ketika dia melongok ke atas, beberapa burung camar terbang melewati kapal. Dia melihat para prajurit di kapal Bhre Demong menunjuk kearah burung-burung itu. Adanya burung camar di lautan menandakan kapal telah dekat dengan daratan.

Uleng Tepu menuju ke kabin untuk memberitahu Gajah Lembong bahwa mereka telah sampai. Dibantu dengan sebuah alat navigasi, Uleng Tepu menunjuk ke sebuah arah dimana daratan Tegerak berada. Dia menggerakan kemudi kapal, dengan sekali gerakan, layar depan dari kapal bercadik berpindah arah. Kapal itu berbelok beberapa derajad mengikuti perintah Uleng Tepu. Samar-samar dari kejauhan terlihat daratan dengan rumah-rumah penduduk di tepi pantai. "Kita sampai di Tegerak," bisik Uleng Tepu.

Kapal-kapal mereka mendarat di daratan Tegerak pada tahun 1343 saka (1421 masehi) dibulan Kartikamasa (Oktober). Artinya telah 3 bulan mereka menempuh perjalanan dari Majapahit hingga Tegerak.

Orang-orang Bugis berjajar di pinggir pantai, penasaran dengan rombongan kapal yang bersandar di pantainya. Mereka bisa melihat panji surya majapahit di layar kapal. Beberapa penduduk membantu menarik kapal untuk ditambatkan.

Uleng Tepu berjabat tangan dengan seorang tetua disana. Berbicara dalam bahasa Bugis dan memberitahu bahwa prajurit Majapahit datang dengan damai. Sesaat kemudian dia membawa tetua menuju ke Gajah Lembong yang berdiri di pantai.

"Perkenalkan saya Tenri, tetua adat di kampung ini Gusti," sapa Tenri kepada Gajah Lembong.

"Saya Tumenggung Gajah Lembong, kepala pasukan dari Majapahit. Mungkin Uleng telah memberikan sedikit informasi tentang kedatangan kami ke kampung ini."

"Benar Gusti. Kami menyambut dengan tangan terbuka pasukan Majapahit. Disana kami menyediakan gubuk untuk Gusti beristirat dan lahan supaya prajurit bisa membuka perkemahan." Tenri menjawab sembari mengajak Gajah Lembong menuju pondok di tepi pantai. Dalam perjalanan singkat itu Tenri menjelaskan dikampungnya ada sekitar 1000 penduduk. Jauh bertambah karena banyaknya eksodus orang-orang Bugis dari Jawadwipa dan Selebes. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk jual beli rempah disini.

"Untuk sementara Tuan Gajah Lembong bisa beristirahat disini." Tenri mempersilahkan duduk Gajah Lembong di gubuknya. "Rumah ini biasanya digunakan untuk transit para pelaut yang belum memiliki rumah di Tegerak".

"Terimakasih Tenri," jawab Gajah Lembong.

Beberapa wanita masuk membawa buah buahan dan makan. Meletakannya di atas meja dan undur diri. Tenri mempersilahkan Gajah Lembong untuk mencicipi makanan dihadapannya dan berpamitan, membiarkan Gajah Lembong dan Uleng Tepu untuk dapat beristirahat.

Sesaat kemudian para Sorengpati yang terdiri dari Bhre Lancap, Bhre Demong, dan Bhre Tandes masuk ke dalam gubuk. Mereka melaporkan bahwa para prajurit sudah memulai membuat perkemahan dilokasi yang tidak jauh dari lokasi gubuk ini.

"Aku merencanakan untuk menjadikan Tegerak bagian dari Majapahit dengan mengangkat Tenri sebagai Adipati di sini," ungkap Gajah Lembong.

"Aku setuju, itu bisa memperkuat posisi kita," sahut Bhre Tandes, diikuti anggukan kepala Bhre Lancap.

"Tapi apakah dia akan menerimanya?" tanya Bhre Demong

"Untuk itu serahkan saja padaku." jawab Uleng Tepu. "Lagi pula dengan dengan sah nya menjadi bagian Majaphit, para perompak tidak akan berani mengganggu pelayaran mereka ke Jawadwipa."

"Baik kalau begitu. Besok kita akan membuat upacara pengangkatannya. Uleng Tepu akan mempersiapkan semuanya," perintah Gajah Lembong. "Bagaimana dengan kondisi prajurit kita?"

"Di kapal saya ada 16 orang termasuk saya. Dua diantaranya wafat dalam perjalanan," jawab Bhre Demong. "Semua dalam kondisi kelelahan"

"Di tempat saya ada 15 orang termasuk saya. Semuanya dalam keadaan selamat, hanya kelelahan," sahut Bhre Tandes

"Di kapal saya ada 15 orang termasuk saya. Tiga diantaranya wafat," sahut Bhre Lancap.

"Di kapal saya ada 16 orang termasuk saya. Satu diantaranya wafat," sahut Uleng Tepu.

"Artinya dalam rombongan kita tersisa 56 prajurit." Gajah Lembong melihat langit-langit untuk berfikir. "Seharusnya ini lebih dari cukup untuk melanjutkan perjalanan ke Maetala."

"Tapi adakah yang sudah melihat Gilitua ?" tanya Bhre Tandes.

"Aku belum," jawab Uleng Tepu

"Aku pun belum." Bhre Tandes setuju

"Kita perlu bergerak mencari informasi mengenai Gilitua sesegera mungkin. Kalian aku perintahkan untuk menyatu bersama penduduk guna mengorek informasi sebanyak dan seakurat mungkin," perintah Gajah Lembong. "Namun sebelum itu, kita akan mengadakan pesta pengangkatan Tenri sebagai Adipati besok." 




Maetala - Ekspedisi PedaksinaOnde histórias criam vida. Descubra agora