7. Malam panjang

107 22 3
                                    

Dimalam yang sama, tempat yang berbeda, Gajah Lembong mengumpulkan para Sorengpati nya. Di dalam tenda itu Lembong berdiskusi panjang mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi esok hari.

"Apapun yang terjadi, kalian harus tetap meneguhkan hati untuk pergi ke Maetala," kata Gajah Lembong. "Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk perang tanding esok."

"Semoga hajat kita besok dilancarkan Sang Hyang," ucap Bhre Demong.

"Bagaimana dengan persiapan perjalanan kita?" tanya Gajah Lembong

"Kita sudah mempersiapkan semua kebutuhan pasukan menuju samudra selatan yang dingin Gusti," seru Bhre Lancap. "Perbekalan dan baju hangat sudah siap."

"Kapal cadik kita juga sudah siap Gusti," timpal Bhre Tandes.

"Bagus kalau begitu."

Suasana malam itu begitu hening diliputi ketegangan. Uleng Tepu dan Bhre Demong saling pandang. Dari sorot matanya ada hal yang sepertinya ingin mereka sampaikan.

"Ada yang ingin kalian sampaikan?" tanya Gajah Lembong, matanya menatap tajam ke Uleng Tepu dan Bhre Demong.

"Gusti..." ucap Bhre Demong dengan nada lirih. "Bagaimana bila esok kita mengalami kekalahan?"

"Kalau aku kalah, kalian tau harus berbuat apa." Gajah Lembong tersenyum. "Aku lebih senang berperang dengan bangsa lain ketimbang harus menghabisi orang-orang dari bangsa sendiri. Itulah yang terjadi sebelum kita berangkat bukan? Perang Paregreg benar-benar melemahkan kewibawaan kita."

"Sebenarnya beberapa malam ini, saya banyak berfikir. Jangan-jangan titah Bagianda Wikramawardhana kepada kita hanyalah sebuah akal-akalannya supaya kita tidak memihak salah satu pihak?" celetuk Uleng Tepu.

"Huss..." Bhre Tandes mengingatkan Uleng Tepu. "Bukanlah sudah jelas jika kita diutus untuk mendapatkan kejayaan di selatan. Dengan begitu kita bisa membayar hutang Majapahit kepada Dinasti Ming di utara."

"Ah.. itu memang kesalahan prajurit kita di Wirabhumi. Mengapa sampai membunuh para pasukan Laksamana Ceng ho yang membawa misi perdamaian," timpal Uleng Tepu.

"Aku mengerti, kalian mulai mempertanyakan tujuan misi ini. Namun jelas bagi ku bahwa, perjalanan ini bertujuan untuk memperpanjang umur dari Majapahit. Setelah mendapatkan emas dan persahabatan di Maetala, kita akan mengabarkan kepada Baginda Wikramawardhana. Kemudian aku mengharapkan para keluarga kerajaan akan berfokus pada pelebaran kekuasaan di selatan, bukan lagi perebutan kekuasaan."

Diskusi mereka terhenti sejenak. Dari luar terdengar suara prajurit berbicara dengan seorang tamu.

"Gusti,... Adipati Tenri meminta ijin untuk menghadap," ucap seorang prajurit.

"Biarkan dia masuk," perintah Gajah Lembong

Sesaat kemudian Adipati Tenri masuk kedalam tenda. Dia membawa satu ikat kain berwarna coklat dengan tergopoh-gopoh.

"Gusti, saya membawakan hadiah berupa perisai untuk besok," ujar Tenri. Dia menunjukan sebuah perisai berbentuk bulat dengan lambang Wilwatika ditengahnya. "Persai ini dibuat dari kayu dan besi yang ditempa dari Tegerak, saya harap Gusti sudi menerimanya."

"Terimakasih Tenri." Gajah Lembong menerima perisai itu dan menyerahkannya kepada Uleng Tepu untuk disimpan.

"Bagaimana dengan kondisi Gusti untuk menghadapi perang tanding besok?" tanya Tenri.

"Aku dalam kondisi yang prima."

"Gusti, mohon maaf bila saya lancang. Saya hanya mengingatkan bahwa Gilitua memiliki kemampuan yang lebih dari manusia."

"Maksudmu, manusia tidak sebanding dengan Gilitua?"

"Dalam perkelahian, saya katakan iya Gusti. Barangkali satu Gilitua baru akan sebanding bila melawan tiga orang manusia."

"Apa saran mu Tenri?"

"Satu hal yang pasti Gusti. Mardukh adalah satu-satunya Gilitua yang datang ke Tegerak. Melihat gelagatnya, dia tak akan mungkin membunuh manusia." Tenri berhenti sesaat, memastikan reaksi Gajah Lembong dan para Sorengpati. "Besok kalian berdua akan melakukan perang tanding berupa perlombaan mengambil kalung dari leher lawan. Menurut Sugil, hal ini sudah menjadi tradisi Gilitua untuk menyelesaikan persoalan yang tidak memiliki jalan keluar. Biasanya kalung ini diambil setelah lawan terbunuh. Namun seperti yang sudah saya katakan, Mardukh tidak mungkin membunuh manusia."

"Jadi, apa yang kau usulkan Tenri?" tanya Uleng Tepu.

"Mundurlah satu langkah untuk maju dua langkah," jawab Tenri. "Mengalahlah diawal-awal pemainan, sampai kemudian Mardukh lengah. Disaat itu Gusti bisa dengan mudah mengambil kalung Mardukh."

Para Sorengpati mengangguk mendengar usulan Tenri. 

Diskusi panjang mereka terhenti sesaat ketika ada seorang prajurit datang memohon untuk masuk.

"Permisi Gusti. Pesanan Gusti sudah selesai kami warangi." Seorang prajurit menyerahkan bungkusan kain berwarna putih.

"Terimakasih prajurit," jawab Gajah Lembong. Kini dia membuka bungkusannya. Diperlihatkannya isi dari bungkusan itu kepada para Sorengpati dan Tenri. "Ini adalah keris Nogososro berkinatah emas. Aku meminta prajurit untuk membersihkan dan mengasahnya."

"Apakah keris ini akan Gusti pakai besok."

"Iya benar... keris Majapahit untuk kejayaan Majapahit," seru Gajah Lembong. "Senjata apa yang akan Mardukh gunakan Tenri?"

"Mardukh hanya menggunakan tongkat kayu Gusti," jawab Tenri. "Namun begitu, tongkat itu terbuat dari kayu ek Maetala. Bahannya lebih ringan namun dengan  kekuatan seperti baja."

"Iya Tenri, aku pun tidak mengganggap enteng senjata dari musuh-musuhku," ujar Gajah Lembong. "Apakah dalam perang tanding besok ada batasan untuk penggunaan senjata?"

"Semua senjata diperbolehkan Gusti, begitu keterangan yang saya dapat dari Sugil."

Lampu lilin di dalam tenda itu menemani  diskusi panjang mengenai strategi kemenangan esok hari. Gajah Lembong sangat optimis mampu mengalahkan Mardukh, apalagi dengan dukungan Sorengpatinya serta dukungan Tenri.

Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now